Evaluasi Penanganan Stunting di Indonesia: Tantangan Anggaran dan Otonomi Daerah

by Emmanuel Ariananto Waluyo Adi ◆ Professional Writer | Dec 16, 2024 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Stunting masih menjadi tantangan serius di Indonesia, terutama bagi masa depan pembangunan sumber daya manusia. Menurut data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6%. Meskipun telah menurun dari 24,4% pada tahun 2021, capaian ini masih di bawah target.

Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14% pada 2024 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun, target ambisius ini dihadapkan pada kendala yang kompleks, termasuk permasalahan anggaran dan dinamika otonomi daerah.

Permasalahan Anggaran dalam Penanganan Stunting

Dalam konteks otonomi daerah, tanggung jawab penanganan stunting sebagian besar berada di tangan pemerintah daerah (Pemda). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menempatkan sektor kesehatan, termasuk penanganan stunting, sebagai urusan wajib.

Namun, tantangan muncul ketika alokasi anggaran tidak sebanding dengan kebutuhan di daerah. Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2022, rata-rata alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Non-Fisik untuk sektor kesehatan di beberapa daerah masih sangat terbatas.

Di Kabupaten Maluku Tenggara, misalnya, hanya sekitar 5% dari APBD
dialokasikan untuk sektor kesehatan, termasuk penanganan stunting. Padahal, daerah tersebut memiliki prevalensi stunting yang tinggi, mencapai 29,8% pada 2022.

Selain itu, mekanisme pencairan dana sering kali terhambat oleh birokrasi yang rumit. Beberapa daerah, seperti Kabupaten Nagekeo di Nusa Tenggara Timur (NTT), melaporkan keterlambatan dalam pencairan DAK Fisik, yang berdampak langsung pada pelaksanaan program pemberian makanan tambahan dan pendampingan keluarga berisiko stunting.

Tantangan Otonomi Daerah dalam Penanganan Stunting

Otonomi daerah memberikan kewenangan besar kepada Pemda untuk merancang kebijakan lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Namun, disparitas kapasitas daerah menjadi masalah utama dalam penanganan stunting.

Daerah dengan anggaran besar dan sumber daya manusia yang memadai, seperti Provinsi Jawa Barat, mampu menurunkan prevalensi stunting dari 24,5% pada 2021 menjadi 20,2% pada 2023. Di sisi lain, Provinsi Papua dan NTT menghadapi tantangan besar, dengan prevalensi stunting masing-masing sebesar 34% dan 35%.

Kendala lainnya adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting sebenarnya sudah memberikan panduan yang jelas, termasuk pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di tingkat pusat hingga desa.

Namun, pelaksanaannya belum optimal di banyak daerah. Sebagai contoh, di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, koordinasi antar sektor masih terbatas, sehingga program intervensi gizi spesifik dan sensitif berjalan secara parsial.

Rekomendasi Percepatan Penanganan Stunting

  • Penguatan Mekanisme Penganggaran

Pemerintah perlu memastikan alokasi anggaran yang lebih proporsional untuk daerah dengan prevalensi stunting tinggi. Selain itu, mekanisme pencairan dana perlu disederhanakan agar program intervensi dapat berjalan tepat waktu. Pemanfaatan Dana Desa untuk program gizi di tingkat komunitas juga perlu diawasi lebih ketat untuk menghindari penyalahgunaan.

  • Harmonisasi Kebijakan Pusat dan Daerah

Pemerintah pusat harus memperkuat mekanisme koordinasi dengan daerah, terutama dalam implementasi Perpres No. 72 Tahun 2021. Pendampingan teknis kepada daerah dengan kapasitas rendah sangat diperlukan, misalnya melalui pembentukan kluster daerah prioritas yang melibatkan mitra internasional seperti UNICEF.

  • Peningkatan Kapasitas Pemda

Pemda perlu diberikan pelatihan terkait manajemen anggaran dan implementasi program penanganan stunting. Sebagai contoh, pelatihan penyusunan anggaran berbasis kinerja dapat membantu daerah seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang menghadapi keterbatasan anggaran meskipun memiliki prevalensi stunting yang tinggi (40% pada 2022).

  • Penguatan Peran Masyarakat dan Lembaga Lokal

Program penanganan stunting harus melibatkan masyarakat secara aktif, khususnya melalui pemberdayaan Posyandu dan kader kesehatan. Inovasi seperti aplikasi pemantauan gizi berbasis digital yang diterapkan di Kota Surabaya dapat direplikasi di daerah lain.

Pendekatan holistik untuk Masalah Multidimensi

Stunting bukan sekadar isu kesehatan, melainkan masalah multidimensi yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pendekatan holistik diperlukan untuk memastikan target penurunan prevalensi stunting dapat tercapai.

Dengan penguatan anggaran, optimalisasi otonomi daerah, dan harmonisasi kebijakan pusat-daerah, Indonesia dapat bergerak lebih cepat menuju generasi emas yang sehat dan produktif.

Referensi:
1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
3. Data SSGI 2023, Kementerian Kesehatan RI.
4. Laporan Bappenas 2022: Evaluasi Penganggaran Kesehatan Daerah.
5. UNICEF Indonesia Report on Stunting, 2023.

0
0
Emmanuel Ariananto Waluyo Adi ◆ Professional Writer

Emmanuel Ariananto Waluyo Adi ◆ Professional Writer

Author

Alumni dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2018, yang telah disumpah sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2019. Saat ini bekerja sebagai Analis Hukum bidang Lingkungan Hidup pada Deputi bidang Kemaritiman dan Investasi Sekretariat Kabinet RI. Penulis dapat dihubungi melalui Email: [[email protected]]

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post