Etnosentrisme vs Xenosentrisme: Dampaknya Terhadap Korupsi di Indonesia

by Guido Andreas Eko ♥ Associate Writer | Mar 9, 2025 | Birokrasi Bersih | 0 comments

Dewasa ini, banalitas kejahatan korupsi semakin marak terjadi, baik pada ranah pemerintah daerah maupun nasional di Indonesia. Perlu diakui bahwa korupsi merupakan suatu praktik penyimpangan yang acap kali ditemukan dalam realitas kehidupan sosial-politik pada umumnya, khususnya dalam pemerintahan atau di antara orang-orang yang memiliki kekuasaan tertentu.

Korupsi telah dianggap sebagai suatu budaya baru dalam realitas politik di Indonesia. Hal tersebut tampak dari semakin meningkatnya praktik korupsi setiap tahun. Dilansir dari Suara.com (19/05/2024), seorang peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, mengatakan bahwa dalam lima tahun terakhir (2019 hingga 2023), tindakan korupsi semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Lebih lanjut, dalam media dan tanggal yang sama, Diky memaparkan data yang konsisten setiap tahun terkait tingkat signifikansi kasus korupsi tersebut.

  • Pada 2019 terdapat 271 kasus dengan 580 tersangka,
  • Tahun 2020 ditemukan 444 kasus dengan 875 tersangka,
  • Tahun 2021 tercatat 533 kasus dengan 1.173 tersangka,
  • Tahun 2022 ada 579 kasus dengan 1.396 tersangka, dan
  • pada Tahun 2023 sebanyak 791 kasus dengan 1.695 tersangka.

Bertolak dari data di atas, hemat penulis, mayoritas orang yang terpilih menjadi pemimpin “selalu saja” melakukan praktik korupsi. Selain itu, data tersebut juga mengindikasikan bahwa saat mencalonkan diri, para calon pemimpin tidak hanya bertujuan untuk menjadi pemimpin, tetapi juga sekaligus mencalonkan diri sebagai koruptor.

Salah satu penyebab utama adalah proses untuk menjadi pemimpin itu sendiri. Artinya, kesuksesan seorang pemimpin bukan semata-mata atas kemampuan pribadi, melainkan atas dorongan dari berbagai pihak yang berkepentingan.

Tipologi keberhasilan seperti ini
dapat menimbulkan politik patronase (budi balas jasa),
baik dalam bentuk finansial maupun kedudukan tertentu dalam pemerintahan.
Sikap ini akan menimbulkan keadaan yang etnosentris atau memprioritaskan kelompok etnis tertentu, seperti nepotisme, oligarki, dan lain sebagainya. Kebiasaan seperti ini acap kali mengabaikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat secara komunal.

Lebih miris lagi, korupsi tidak lagi sekadar menjadi perilaku destruktif, tetapi telah berkembang menjadi budaya baru di Indonesia yang diwariskan dari satu pemimpin kepada pemimpin lainnya dan dari satu dekade ke dekade berikutnya.

Selain itu, korupsi ibarat sebuah endemi dalam ranah pemerintahan yang menyebar akibat ‘virus’ dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya atau ‘tertempel’ pada takhta kekuasaan yang sulit dimusnahkan.

Kenyataan yang paling memprihatinkan adalah sikap rakyat yang menganggap budaya baru tersebut sebagai sesuatu yang biasa atau normatif. Artinya, sikap penerimaan total terhadap budaya baru tersebut tanpa pertimbangan rasional yang mendalam mengenai dampak atau nilai yang dikandung merupakan problem yang krusial dan bersifat destruktif.

Apa Itu Etnosentrisme dan Xenosentrisme?

Secara singkat, etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat kelompok budaya sendiri sebagai yang paling unggul, sering disertai dengan pandangan pesimistis terhadap budaya lain. Kelompok ini menganggap budaya luar tidak memiliki nilai sebaik budaya yang mereka anut.

Sebaliknya, xenosentrisme adalah antonim dari etnosentrisme. Xenosentrisme mengandung makna pesimistis terhadap budaya sendiri dan optimisme berlebihan terhadap budaya luar.

Bertolak dari definisi tersebut, baik etnosentrisme maupun xenosentrisme dapat memengaruhi pola perilaku yang berkaitan dengan korupsi. Namun, efeknya tergantung pada nilai-nilai budaya, struktur sosial, dan norma yang berlaku di masyarakat tertentu.

Memahami hubungan ini dapat membantu merancang kebijakan antikorupsi yang lebih sensitif terhadap dinamika budaya. Realitas korupsi di Indonesia tidak menutup kemungkinan merupakan dampak dari dua sikap budaya tersebut, tetapi yang lebih dominan adalah etnosentrisme.

Korupsi di Indonesia sebagai Budaya Baru

Di Indonesia, korupsi telah berkembang menjadi suatu bentuk “budaya baru” yang kerap terjadi secara sistematis dan masif, hingga menjadi bagian dari mekanisme kerja yang diwariskan lintas generasi.

Pejabat publik, pelaku usaha, dan bahkan masyarakat acap kali terlibat dalam pola-pola korupsi, mulai dari tindakan kecil seperti pungutan liar (pungli) hingga skandal besar yang merugikan negara.

Dalam konsep banalitas kejahatan yang digagas Hannah Arendt, kejahatan seperti korupsi dilakukan tanpa kesadaran moral yang mendalam karena sudah dianggap biasa dan diterima dalam norma sosial.

Misalnya, kasus korupsi yang memilukan sekaligus memalukan, yakni korupsi pertambangan timah yang dilakukan oleh Harvey Moeis. Dalam kasus tersebut, Harvey Moeis dikabarkan menggelapkan uang milik negara sebesar Rp300 triliun.

Dilansir dari Kompas.com (26/12/2024), disebutkan bahwa Harvey Moeis yang telah mencuri uang negara sebanyak Rp300 triliun ingin mendapatkan remisi masa hukuman, dari 12 tahun penjara menjadi 6,5 tahun penjara, dengan denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp210 miliar. Menanggapi hal ini, Mahfud MD mengatakan, “Saya merasa itu menusuk rasa keadilan masyarakat.”

Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan, tetapi hampir menjadi standar operasional dalam berbagai institusi.

Dengan kata lain, tindakan mementingkan diri sendiri (etnis tertentu, keluarga tertentu, dan orang-orang yang dekat dengan pemimpin), meskipun menyingkirkan kepentingan orang lain, mencerminkan model kepemimpinan yang fanatik terhadap kepentingan pribadi dan gaya hidup hedonis.

Pengambilan hak bersama merupakan bentuk amnesia terhadap segala kebaikan yang telah diberikan negara. Berhubungan dengan hal ini, John F. Kennedy pernah menyatakan dalam pidatonya, “Don’t ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country.

Siklus yang Sulit Diputus

Sebagai “budaya baru,” korupsi di Indonesia menciptakan siklus yang sulit diputus. Sistem yang korup membuat individu merasa terpaksa berpartisipasi untuk bertahan atau mendapatkan akses.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan hukuman yang tidak sebanding dengan kerugian memperkuat persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan yang “tidak berisiko tinggi.”

Akibatnya, tindakan korupsi menjadi hal yang lumrah, dan masyarakat sering kali menunjukkan sikap permisif bahkan menganggapnya sebagai strategi untuk mencapai tujuan dalam sistem yang sudah rusak.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan perubahan mendasar melalui edukasi antikorupsi, penguatan integritas individu, dan transformasi struktural agar norma-norma korup tidak lagi diterima sebagai bagian dari budaya kerja dalam kehidupan sehari-hari.

5
0
Guido Andreas Eko ♥ Associate Writer

Guido Andreas Eko ♥ Associate Writer

Author

Seorang mahasiswa aktif pada Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post