Suatu hari di pertengahan tahun 2020, kepada saya diberikan waktu sangat terbatas untuk menyampaikan gagasan inovasi yang telah saya buat. Waktu yang diberikan hanya 15 menit dan itulah satu-satunya kesempatan saya men-deliver gagasan di kepala saya ke benak para pendengar. Dalam dunia bisnis, kesempatan ini seringkali disebut dengan pitching. Yaitu suatu kesempatan mempresentasikan ide bisnis dalam waktu singkat di hadapan para calon investor dengan harapan mencuri perhatian mereka dan mendapatkan pendanaan modal. Tujuannya, untuk memulai atau meningkatkan kinerja perusahaan.
Di keseharian kita pun, kesempatan ini seringkali tiba-tiba muncul. Kita dihadapkan pada situasi serba cepat dan mendadak untuk menyampaikan gagasan yang ada di kepala kita agar mudah dimengerti oleh lawan komunikasi kita.
Lantas Bagaimana Caranya?
Dalam buku Made to Stick karya duo penulis dari Harvard University dan Stanford University, disebutkan setidaknya ada enam prinsip utama yang harus kita penuhi agar gagasan kita dapat ditangkap dan melekat di benak orang lain. Penulisnya, Chip Heath dan Dan Heath, kemudian menjabarkan keenam prinsip dalam buku tersebut.
Saya akan mengelaborasi keenam prinsip tersebut satu per satu secara singkat, disertai contoh konkret. Saya pun telah mempraktikkannya dalam kompetisi pemilihan Pegawai Berprestasi Nasional di instansi tempat saya bekerja. Sebagai gambaran, instansi tersebut merupakan salah satu Instansi Pemerintah Pusat dengan jumlah pegawai lebih dari 6000 orang. Kompetisi itupun semakin menantang ketika saya berhasil melaju dari 15 besar menjadi 5 besar.
Oleh karena itu, saya berharap penjelasan ini akan lebih mudah dipahami, sebab prinsip di atas sangat penting dalam menunjang karir profesionalitas kita – baik di birokrasi maupun di luarnya.
Sederhana
“Jika Anda mengatakan tiga hal, berarti Anda tidak mengatakan apa-apa!”
Sederhana yang dimaksud adalah poin utama gagasan yang harus dikemas secara padat. Kita harus memilih dan memformulasikan gagasan besar kita, yang jika dijabarkan dapat menjadi berhalaman-halaman naskah narasi, menjadi hanya satu kalimat inti. Penyederhanaan ini membuatnya lebih mudah disampaikan.
Di masa overload information seperti sekarang ini, orang ‘tidak punya cukup waktu dan space’ di benak mereka untuk menyimak keseluruhan paparan panjang gagasan kita. Jika kita dihadapkan pada sepuluh pesan, benak kita akan susah menangkap semuanya dalam waktu singkat. Satu pesan terkuatlah yang melekat di benak kita dan meninggalkan kesan setelahnya.
Sebagai contoh, saya memiliki sebuah gagasan inovasi proses bisnis dan teknologi yang dapat mengumpulkan semua data penting terkait kegiatan penanggulangan COVID-19 oleh pemerintah. Aktivitas ini tersebar di berbagai instansi dan lokasi. Sehingga, kehadiran inovasi bertujuan untuk kemudian menampilkan rangkuman kinerja dalam sebuah tampilan informatif dan sederhana.
Harapannya, dengan menampilkan data secara realtime dalam sebuah dashboard, para pemimpin daerah dan pengambil kebijakan dapat memutuskan dengan cepat, lalu mengalokasikan sumber daya yang dimiliki secara tepat di tengah situasi yang tidak menentu dan mudah berubah. Saya kemudian memformulasikan gagasan yang diberi nama MRRP itu menjadi sebuah kalimat:
“MRRP adalah aplikasi online yang mampu menyingkap kabut gelap penanggulangan COVID-19 dengan biaya murah, cepat, dan memudahkan pengguna.”
Tak Terduga
Gagasan yang tak terduga lebih mungkin untuk diingat karena kejutan membuat kita memerhatikan dan benak kita berpikir. Efek kejut ini juga yang membuat sebuah gagasan terpatri di benak pendengar.
Dalam kasus saya, saya mengajukan kombinasi “Murah, Cepat, Berkualitas” sebagai efek kejut. Kondisi umum meyakini bahwa tiga indikator tersebut tak bisa disandingkan secara bersamaan.
Jika murah dan cepat, maka tidak mungkin berkualitas. Jika murah dan berkualitas, maka tidak bisa dikerjakan dengan cepat. Dan jika cepat dan berkualitas, pasti harganya tidak murah.
Efek kejut ini yang kita manfaatkan untuk mencuri perhatian pendengar dan ‘memaksa’ mereka untuk terus memerhatikan penjelasan lanjutan atas gagasan kita.
Konkret
Ini salah satu jebakan banyak orang saat menyampaikan gagasan. Kita selalu terseret pada formulasi abstrak atas gagasan kita. Memang benar, semua gagasan bermula dari kondisi abstrak di pikiran kita. Namun, di sanalah tantangannya. Kita dituntut untuk menjadikannya konkret dan dapat dirasakan oleh panca indera lawan bicara kita. Sebab, konkret itu mudah diingat.
Gagasan di awang-awang menjadikan apa yang ingin kita sampaikan berisiko ditangkap berbeda oleh yang menerimanya. Membuatnya konkret, menjadikan suatu gagasan tampak lebih objektif untuk siapapun. Konkret adalah menjadikan sesuatu yang abstrak menjadi sebuah objek.
Mana yang lebih Anda ingat antara definisi “kebenaran” dengan definisi “buah semangka”? Apapun definisi kita, orang hampir mudah sepakat mengatakan sesuatu adalah buah semangka daripada sesuatu hal masuk kategori kebenaran atau tidak. Benar, kan?
Dalam kasus saya, konsep, proses bisnis, benefit, dan kerangka kerja saya sederhakan dan konkretkan menjadi sebuah aplikasi yang siapapun bisa dengan mudah memahami apa yang saya maksud.
Kredibel
Apa yang membuat orang mempercayai suatu gagasan? Jawaban singkatnya adalah karena yang menyampaikannya memiliki kredibilitas terkait gagasan tersebut.
Sebagai contoh, kita akan lebih mudah percaya bahwa sebuah restoran memiliki masakan yang enak jika Pak Bondan sudah pernah mengatakannya maknyus. Akan berbeda jika Mas Ahmad Dhani yang mengatakannya ueenaak. Sebaliknya, kita lebih percaya bahwa suatu lagu itu bermutu saat Mas Ahmad Dhani sudah memberikan jempol pada lagu tersebut, tetapi kita mungkin masih akan skeptis dengan penilaian Pak Bondan.
Kredibilitas ini dapat dibangun dengan kredibilitas diri sendiri. Maka kita perlu untuk menjaga dan mengelola kepercayaan dan kompetensi kita pribadi. Bagaimana jika belum memiliki?
Ada strategi yang disebut dengan social proofing. Yaitu, testimoni positif atas suatu ide kita, yang akan menambah kredibilitas suatu gagasan.
Saya sendiri memanfaatkan betul strategi ini. Saya mengumpulkan apresiasi dan testimoni dari berbagai pihak yang lebih berkompeten untuk menilai gagasan saya. Ini tentu dapat menjadikan kredibilitas gagasan yang saya sampaikan semakin baik.
Emosional
Peneliti dari Carnegie Mellon University pernah melakukan riset kepada responden saat dihadapkan atas dua peristiwa berbeda, yakni:
a) Lebih dari 11 juta orang di Ethiopia mengalami kelaparan dan memerlukan bantuan dengan segera; dan
b) Seorang anak bernama Rokia di Mali mengalami ancaman dan kelaparan yang luar biasa. Dengan bantuan finansial Anda, nasib Rokia akan menjadi lebih baik dan membantu pembiayaan pendidikan Rokia.
Para peneliti memberikan surat berisi salah satu cerita tersebut ke dalam amplop dan meninggalkan mereka untuk kemudian mengisi dengan donasi yang mereka inginkan.
Hasilnya, amplop dengan isi cerita Rokia mendapatkan rata-rata donasi lebih banyak daripada amplop berisi informasi 11 juta orang di Ethiopia sedang mengalami kelaparan.
PR-nya, bagaimanakah cara menciptakan gagasan yang emosional agar melekat di benak pendengar? Cara termudah adalah menggunakan teknik asosiasi.
Kita harus mengidentifikasi isu apa yang paling penting di benak pendengar gagasan kita dan kemudian mencari hubungannya – mengasosiasikan dengan gagasan yang ingin kita sampaikan. Kita harus menyampaikan ide kita dengan perspektif apa yang penting buat pendengar, bukan apa yang penting buat kita.
Saat terjadi asosiasi atas apa gagasan yang ingin kita sampaikan dengan sesuatu yang penting menurut perspektif pendengar kita, maka akan muncul pengaruh emosional yang membuat mereka memberikan atensi pada gagasan kita.
Dalam kasus saya, saya menyampaikan bahwa gagasan yang saya bawa ini benar-benar sesuai dengan apa yang tengah menjadi isu utama instansi yang menjadi panitia pemilihan pegawai berprestasi. Saya memformulasikan asosiasi penuh dengan kebutuhan organisasi sehingga gagasan saya lebih mudah melekat di benak pendengar.
Cerita
Tak bisa dipungkiri, kita lebih senang mendengarkan cerita daripada mendengarkan teori-teori tanpa konteks. Sebuah cerita dapat membangkitkan imajinasi mental dan lebih membuat orang larut daripada hanya potongan-potongan informasi.
Steve Jobs pun menggunakan teknik bercerita saat menyampaikan presentasi peluncuran iPhone pertama kali, dalam hampir keseluruhan sesi. Suatu presentasi mendapatkan banyak pujian dan menjadi rujukan bagaimana seharusnya mempresentasikan sesuatu dengan baik. Kuncinya adalah story telling.
Sejak kecil kita sudah terlatih mendengarkan dongeng dan senang mendengarkan cerita. Saat bergosip pun, kita mendengarkan cerita yang membuat larut.
Epilog
Dalam menyampaikan gagasan, lima prinsip awal di atas harus mampu kita ramu menjadi suatu cerita pendek untuk disampaikan kepada pendengar. Unsur sederhana, tak terduga, konkret, kredibel, dan emosional harus menjadi suatu rangkaian cerita utuh yang kemudian disampaikan kepada pendengar. Sekali lagi, agar gagasan kita melekat di benak orang lain.
Bukankah tulisan ini pun saya awali dengan cerita, dan saya bungkus dengan cerita, sehingga Anda membaca sampai akhir sini? Dan dengan menggunakan strategi ini juga, sehingga pada akhir kompetisi, saya terpilih menjadi Juara 2 Pemilihan Pegawai Berprestasi tingkat Nasional. Alhamdulillah… Segala puji bagi Allah SWT.
Untuk memudahkan, silakan gunakan Idea Hacks Canvas yang telah saya susun hasil dari formulasi teori yang dikemukakan dalam buku Made to Stick ini. Dengan canvas ini, Anda akan semakin mudah memetakan gagasan, untuk kemudian menjadikannya cerita utuh yang melekat di benak pendengar Anda.
Auditor pada salah satu Instansi Pemerintah Pusat. Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Jenderal Soedirman. Pengembang aplikasi monitoring pengawasan MRRP COVID-19. Online and Digital Enthusiast. Penikmat Buku dan Kopi. Suka bersepeda. Professional blogger at PinterIM.com
Bermanfaat!!! sempet baca bukunya tapi lebih mudah dimengerti intinya di artikel ini daripada baca bukunya, hahaha