Sebagai sebuah negara dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia membutuhkan struktur pemerintahan yang masif dan inklusif. Tantangan bukan hanya ada pada jumlah penduduk, melainkan juga pada perbedaan penduduk tersebut.
Indonesia terdiri dari ribuan suku yang mendiami ribuan pulau, semua dengan karakteristik sosial dan geografinya masing-masing. Mengeksekusi tanggung jawab ini bukanlah hal sederhana, paling tidak jika dilakukan lewat satu otoritas terpusat.
Pembagian Fungsi K/L dan Miskoordinasi
Layaknya pemerintah negara lain, pemerintah Republik Indonesia berusaha menunaikan tanggung jawab tersebut lewat pembentukan berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) yang menangani fungsi spesifik masing-masing. Pembagian fungsi ini tentunya diniatkan untuk menciptakan kejelasan posisi, tugas, dan wewenang suatu entitas yang harapannya berujung pada efisiensi dan efektivitas.
Sayangnya, kenyataaan lapangan berkata hal yang berbeda. Pembagian fungsi ini seringkali berujung miskoordinasi antar K/L. Berhubung tiap K/L ditugasi masalah spesifik, kebijakan yang mereka keluarkan terkadang tidak mempertimbangkan sisi masalah lain yang dibebankan ke K/L lain.
Fenomena ini memberikan kesan bahwa pemerintah hanya “menambal” tanpa menuntaskan keseluruhan masalah. Polemik pembatasan perjalanan di masa Covid-19 belakangan merupakan contoh tepat fenomena ini.
Masalah ini tak ayal menjadikan publik geram dan menuntut perbaikan birokrasi. Salah satu solusi yang sering digaungkan adalah pemusatan fungsi dan wewenang, sehingga semua kebijakan akan keluar lewat satu pintu. Konsep satu pintu ini diharapkan mampu menjadikan policy-making process sebuah mekanisme total dan menyeluruh sehingga semua sisi masalah dapat di-cover.
Melihat miskoordinasi dan dampak yang ditimbulkannya, solusi ini tentu terdengar menarik. Penerapan konsep ini berarti tidak akan ada lagi adu pendapat antar pejabat di media dan kepastian hukum yang lebih baik.
Masyarakat seluruh kalangan pasti tertarik dengan hal ini. Tapi, apakah konsep ini hanya menelurkan dampak positif tanpa dampak negatif sama sekali?
Risiko Pemusatan Wewenang
Walau terdengar menarik, konsep ini berisiko bagi struktur pemerintahan dalam jangka panjang. Pemusatan wewenang memang berarti kebijakan yang lebih rapi tanpa miskoordinasi. Tapi perlu kita ingat bahwa miskoordinasi adalah buah dari pemisahan kebijakan yang berfungsi untuk memastikan tiap-tiap sektor diperjuangkan di ruang rapat pemerintah.
Wewenang terpusat berarti tidak ada entitas spesifik yang bertanggung jawab atas sektor spesifik, sehingga nasib sektor tersebut akan sepenuhnya bergantung pada level prioritas di mata sang otoritas pusat.
Contohnya, Kementerian Perdagangan yang membawahi sektor perdagangan harusnya berfokus pada kepentingan sektor perdagangan. Lantas, apakah kepentingan sektor lain, seperti pertanian misalnya, yang punya irisan dalam urusan keamanan pangan impor, tidak perlu dipedulikan?
Tentu tidak.
Memprioritaskan tanggung jawab utama dan mempertimbangkan kepentingan sektor lain bukanlah hal yang mutually exclusive. Tapi tetap, kepentingan perdagangan adalah prioritas utama dan Kementerian Perdagangan harusnya memosisikan diri sebagai pihak terlantang dalam urusan ini.
Hal ini mungkin terlihat seperti sesuatu yang sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Tapi sebenarnya ada permasalahan yang lebih dalam pada pembagian tugas, tidak sebatas aksi pemerintah dalam rangka memikul beban bersama.
Fat-Tail Event
Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Antifragile menjelaskan sebuah konsep bernama fat-tail event yang bermakna kejadian dengan kemungkinan kecil tapi berdampak besar. Pandemi merupakan contohnya, di mana intensitasnya sangat rendah tapi berimplikasi destruktif.
Intensitas rendah ini seringkali menjadikan sektor privat tidak mempertimbangkannya sehingga cenderung terekspos risiko. Jikapun diperhitungkan, tidak ada jaminan bahwa perhitungan itu tepat karena acuan kejadian tersebut di masa lalu juga sangat terbatas.
Begitupun, bukan berarti sektor privat tidak akan mampu belajar. Semakin tinggi intensitas dan dampak, maka semakin besar pula kebutuhan masyarakat untuk membebaskan ―atau paling tidak meminimalisir― dirinya dari risiko tersebut. Tapi hal ini butuh waktu dan tentunya paparan atas keterjadian risiko tersebut sebagai dasar mitigasi.
Masalahnya, dampak fat-tail event bersifat masif dan kemungkinan besar irreversible, seperti perubahan iklim. Masyarakat mungkin saja akan mencapai titik di mana pemahamannya memungkinkan pengelolaan risiko yang jauh lebih baik, tapi di titik ini juga the harm has been done.
Hal ini ―mitigasi fat-tail event― mungkin merupakan justifikasi terkuat atas eksistensi sebuah pemerintahan. Pemerintahan memungkinkan masyarakat untuk mengatasi public goods problem, di mana fat-tail event bisa dikategorikan sebagai salah satunya karena dampaknya yang non-excludable (semua orang akan terkena dampaknya) dan non-exhaustible (dampak pada satu orang tidak mengurangi dampak pada orang lainnya).
Oleh karena itu, sebelum menanggung tanggung jawab lain, mitigasi risiko kerusakan, terlebih yang berdampak luas dan menyeluruh, adalah amanah utama pemerintah.
Ego Sektoral dan Kerjasama Lintas Sektor
Inilah mengapa ego struktural adalah hal vital dalam dunia kebijakan publik. Seperti yang dijelaskan di atas, tiap kepentingan haruslah memiliki otoritas spefisik yang menyokongnya.
Hal ini dikarenakan, dalam ranah kebijakan publik, isu yang diangkat seringkali merupakan ―atau menyerupai― fat-tail event sehingga kekosongan pihak yang benar-benar memperjuangkan dan rela pasang badan untuk isu tertentu adalah hal yang sangat berisiko.
Absennya pihak spesifik yang menangani kepentingan spesifik tidak berarti kepentingan tersebut akan dilepas begitu saja. Hal yang paling mungkin terjadi ialah pengalihan tanggung jawab tersebut ke otoritas terpusat.
Masalahnya, makin banyak kepentingan berlawanan di satu otoritas, maka nasib kepentingan akan makin bergantung pada level prioritasnya di mata si pemegang kuasa. Begitupun, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa pembagian tugas memerlukan koordinasi.
Penjelasan di atas tidak dimaksudkan sebagai dukungan agar tiap-tiap otoritas bertindak sendiri tanpa pertimbangan sektor lainnya. Apa yang dimaksud adalah semua otoritas haruslah mampu memperjuangkan kepentingannya sembari bernegosiasi dengan pihak lain.
Otoritas yang membutuhkan bantuan otoritas lain harus mampu menunjukkan bahwa kepentingan yang dibawa berdampak luas dan butuh kerjasama lintas sektor.
Rekomendasi Solusi: Desentralisasi
Dalam tataran teknis, ini bukan hal mudah. Walaupun terdapat pembagian tugas, skala besar pemerintahan merupakan tantangan berikutnya. Negara dengan diversitas tinggi seperti Indonesia bahkan menghadapi kondisi yang lebih pelik. Maka, salah satu solusi adalah desentralisasi wewenang ke otoritas lokal.
Desentralisasi berarti pemecahan masalah ―beserta wewenang penyelesaiannya― menjadi bagian-bagian kecil. Hal ini berarti tiap-tiap masalah akan memiliki karateristik lokal dengan jumlah pihak terlibat yang lebih sedikit. Dampaknya, pencarian konsensus akan lebih mudah dan lebih cepat dicapai.
Di samping kemudahan pembentukan konsensus, desentralisasi berarti membatasi dampak ―positif maupun negatif― pada skala kecil. Mengingat perannya yang seringkali mengurusi isu-isu kritis, ditambah anggaran dan kapasitas yang terbatas, mitigasi dampak negatif adalah pendekatan yang layak diambil dari perspektif pemerintah.
Terakhir, pembagian fungsi ―di mana ego sektoral merupakan sifat inheren― memiliki irisan dengan desentralisasi di mana dampak tindakan dibatasi pada otoritas tertentu saja. Mengabaikan pembagian fungsi dan beralih ke pemusatan sama dengan memperbesar risiko lewat penggantungan nasib pada keputusan satu aktor tunggal.
Lahir di Sumatera Utara pada 13 Februari 1998. Saat ini berstatus sebagai ASN di lingkungan Kementerian Keuangan.
Enggak jelas arah tulisan ini masa kembali ke tempo dulu disentralisasi yang benar aja