Sore itu, warung kopi pinggir jalan masih ramai dengan obrolan santai. Aroma kopi tubruk bercampur asap rokok melayang di udara. Di sudut ruangan, dua orang tampak asyik berdebat di meja kayu panjang.
“Lu percaya omongan pejabat soal efisiensi anggaran, Lus?” Ammar mengaduk kopinya, matanya menyipit menatap lawan bicaranya. “Gue sih skeptis. Jangan-jangan itu cuma pemotongan yang dikasih nama keren.”
Tulus mendengus, “Lu ini terlalu sinis, Mar. Pemerintah berusaha biar anggaran enggak boros, itu salah?”
Ammar mengangkat bahu. “Salah kalau cuma fokus di angka. Oke lah, pengeluaran berkurang, tapi dampaknya gimana? Banyak proyek nggak jalan, layanan publik terganggu, pegawai kontrak dirumahkan. Itu sih bukan efisiensi, tapi ngirit.”
Tulus tertawa kecil, lalu menyeruput kopinya. “Lu terlalu dramatis. Kalau ada penghematan di satu sektor, dananya bisa dialihkan buat yang lebih prioritas. Itu baru namanya efisiensi.”
“Yakin?” Ammar menyilangkan tangan.
“Gue kasih contoh simpel. Misal kantor lu biasa pakai kertas bagus buat laporan. Terus, demi efisiensi, diganti jadi kertas buram. Emang lebih murah, tapi kalau bikin laporan jadi susah dibaca, itu efisien apa cuma irit?”
Tulus terdiam sejenak, tapi senyum kecil masih di wajahnya. “Itu soal manajemen prioritas. Gue sih tetap yakin efisiensi bukan sekadar irit, tapi memastikan tujuan tetap tercapai dengan sumber daya yang lebih sedikit.”
Ammar menggeleng. “Nah, itu dia. Kata kuncinya: tujuan tetap tercapai. Kalau cuma lebih hemat tapi target enggak kesampaian, masih bisa dibilang efisiensi?”
Tulus meletakkan gelasnya, lalu menyeringai. “Gimana kalau kita bahas definisi efisiensi dulu? Biar kita ngomongnya enggak muter-muter.”
Ammar tersenyum miring. “Boleh. Tapi kalau ujungnya ternyata gue yang benar, lo yang traktir kopi gue.”
Tulus tertawa lepas. “Deal. Sekarang kita cari tahu, efisiensi itu sebenarnya apa sih?”
Membedah Definisi Efisiensi
Tulus mengetik cepat di layar ponselnya, mencari definisi efisiensi yang paling pas. “Menurut teori ekonomi,” Tulus mulai membaca, “efisiensi adalah kondisi di mana kita bisa mencapai hasil maksimal dengan penggunaan sumber daya seminimal mungkin.” Ia menatap Ammar. “Artinya, bukan sekadar ngurangin anggaran, tapi juga memastikan hasilnya tetap optimal.”
Ammar mencibir. “Bacaan bagus. Tapi itu teori, Lus. Di dunia nyata, seringnya bukan gitu.”
Tulus mengernyit. “Maksud lo?”
“Lo tahu nggak,
ada kementerian yang katanya melakukan efisiensi perjalanan dinas?
Biaya dinas dipangkas, tiket ekonomi menggantikan bisnis, uang harian dikurangi.
Tapi efeknya?
Banyak pejabat yang akhirnya males turun ke lapangan. Pengawasan jadi kurang, kebijakan dibuat asal-asalan karena kurang data dari lapangan. Ini efisiensi atau malah bikin masalah baru?”
Tulus membuka mulut, lalu menutupnya lagi. “Hmm… Tapi kalau nggak dipangkas, kan boros namanya?”
“Bukan itu poinnya,” kata Ammar, “Kalau sekadar lebih hemat, tapi ujungnya kualitas kerja turun, apa masih bisa dibilang efisiensi?”
Tulus menghela napas, berpikir keras. “Jadi menurut lo, efisiensi itu harus diukur dari hasil akhirnya, bukan sekadar dari seberapa banyak anggaran yang berhasil dipotong?”
Ammar tersenyum puas. “Tepat. Gue kasih paham pakai yang ringan.”
Tulus melipat tangannya. “Oke, gue dengerin. Coba lo jelasin pakai contoh yang lebih konkret.”
Efisiensi atau Sekadar Irit?
Ammar menyeringai. “Gampang. Bayangin lo mau ke Bandara Soekarno-Hatta. Lo udah anggarkan ongkos taksi 300 ribu. Tapi jalan tol banjir, semua mobil enggak bisa lewat. Puter balik dah. Akhirnya, itu duit taksi cuma kepake 200 ribu. Ngirit sih, tapi lo enggak nyampe bandara. Menurut lo, itu efisiensi?”
Tulus menatap Ammar, lalu menggeleng pelan. “Ya nggak lah. Percuma hemat kalau nggak sampai tujuan. Buang-buang duit 200 ribu sama tiket pesawat yang gak jadi berangkat dong. Belom lagi waktunya kebuang sia-sia.”
Ammar menepuk meja. “Nah! Itu dia poin gue.”
Tulus masih menatap Ammar dengan dahi berkerut, mencoba mencerna logika baru yang terlontar.
“Jadi menurut lo,” kata Tulus akhirnya, “kalau kita berhasil mengurangi biaya, tapi tujuan akhirnya enggak tercapai, itu bukan efisiensi?”
Ammar mengangguk mantap. “Persis! Contoh tadi kan jelas. Lo punya anggaran 300 ribu buat ke bandara, tapi karena kena macet, akhirnya cuma habis 200 ribu tapi tetap ketinggalan pesawat. Irit sih, efisien??”
Tulus menghela napas, mulai melihat celah dalam argumennya tadi. “Ya enggak. Karena intinya gue harus sampai dulu, baru bisa ngomong soal efisiensi.”
“Betul,” Ammar menyeringai. “Efisiensi itu bukan soal seberapa banyak duit yang dihemat, tapi apakah target tetap tercapai dengan cara yang lebih optimal.”
Tulus mengangguk pelan. “Jadi kalau dalam kebijakan anggaran, efisiensi itu harus dilihat dari apakah output dan outcome-nya tetap sesuai target, bukan cuma dari berapa banyak anggaran yang berhasil ditekan?”
“Nahhh, paham juga akhirnya,” kata Ammar sambil tersenyum.
“Sekarang, kalau lo lihat pemerintah mengklaim efisiensi anggaran, lo harus tanya: apa tujuan akhirnya masih tercapai? Kalau enggak, itu bukan efisiensi.”
“Jadi kalau pakai logika lo,” kata Tulus, “sebelum sesuatu bisa disebut efisien, syarat mutlaknya adalah tujuan harus tercapai dulu?”
Ammar mengangguk mantap. “Iya. Efektif adalah prasyarat untuk bisa klaim kalau lu efisien. Kalau misalnya ada proyek jalan tol yang tadinya dianggarkan 5 triliun, tapi ternyata bisa dibangun dengan kualitas yang sama hanya dengan 4,5 triliun, itu efisiensi. Tapi kalau anggarannya dipangkas jadi 3 triliun dan akhirnya kualitasnya turun atau mangkrak, itu bukan efisiensi, jatuhnya malah pemborosan.”
Tulus tertawa kecil. “Berarti kalau ada pejabat ngomong efisiensi anggaran, pertanyaan pertama yang harus kita tanyakan adalah: tujuan akhirnya masih sama atau ada yang dikorbankan?”
Ammar mengangkat gelasnya, tersenyum puas. “Nah, sekarang lo paham. Efisiensi bukan cuma soal lebih hemat, tapi juga soal memastikan enggak ada tujuan yang dikorbankan.”
Tulus menyeringai. “Kalau begitu, sekarang tinggal satu pertanyaan terakhir: yang selama ini disebut efisiensi anggaran oleh pemerintah, beneran efisiensi atau cuma sekadar pemotongan yang dibungkus istilah keren?”
Efisiensi atau Sekadar Pemotongan Paksa?
Tulus masih menatap Ammar dengan ekspresi berpikir. Namun sebelum ia sempat berkata lagi, ponselnya bergetar. Ia mengangkatnya, membaca sebuah berita di layar, lalu mengangkat alis.
“Eh, lo tau enggak?” kata Tulus sambil menyodorkan layar ponselnya ke Ammar. “Ternyata target efisiensi anggaran kita lebih dari 300 triliun.”
Ammar membaca berita itu sekilas. “Gue udah dengar soal itu. Yang menarik, targetnya udah ditetapkan dari awal. Gimana caranya efisiensi bisa ditarget? Harusnya efisiensi itu hasil dari evaluasi, bukan dipatok duluan.”
Tulus bersandar ke kursinya. “Iya juga. Berarti ini bukan soal memastikan anggaran digunakan lebih baik, tapi sekadar memenuhi target pemotongan.”
“Persis!”
Ammar menunjuk Tulus dengan sendok kopinya.
“Kalau dari awal pemerintah udah bilang ‘kita harus hemat 300 triliun,’ terus mereka cari-cari pos yang bisa dikurangi, itu bukan efisiensi. Itu cuma penghematan paksa. Efisiensi yang bener itu harusnya evaluasi dulu, lihat mana yang bisa ditingkatkan, baru tentuin angkanya.”
Tulus terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Jadi ini semua bukan soal optimalisasi anggaran, tapi lebih ke soal cari cara supaya angka 300 triliun itu terpenuhi? Kalau gitu, kira-kira ada dampak yang bakal terjadi gara-gara kebijakan ini?”
Ammar meletakkan sendoknya, lalu bersandar dengan tangan menyilang di dada. “Itu pertanyaan yang menarik. Dan kalau lo mau tahu jawabannya, kita harus lihat ke lapangan.”
Tulus masih merenung ketika ponselnya kembali bergetar. Ia mengernyit saat melihat nama yang muncul di layar: Nathan, teman lamanya yang bekerja di sebuah dinas pemerintahan.
“Bentar, gue angkat dulu,” katanya ke Ammar sebelum menempelkan ponsel ke telinganya. “Halo, Nat? Ada apa?”
Di seberang, suara Nathan terdengar berat. “Bro, masih di warung kopi? Gue butuh curhat. Kacau ini efisiensi. Banyak yang dirumahkan. Gue aman sih, tapi beberapa teman udah kena. Dan program-program yang kita kerjain banyak yang terancam bubar.”
Tulus menegakkan punggungnya. “Serius? Secepat itu dampaknya kelihatan?”
“Iya,” sahutnya,”Perjadin dipotong, pengadaan dihentikan, kegiatan sosial ditunda, dibilang cuma seremonial. Padahal yang kita pegang itu proyek-proyek pelayanan masyarakat.”
Tulus melirik Ammar, yang sekarang menatapnya penuh arti, “Gila…” Tulus menghela napas. “Jadi lo sekarang gimana?”
“Masih bertahan, tapi enggak tahu sampai kapan,” kata Nathan. “Gue cuma heran, kok angkanya seakan udah dipatok dari awal? Bukannya harusnya lihat dulu mana yang beneran bisa dipangkas tanpa ganggu kerjaan?”
Tulus terdiam. Ia ingat diskusinya barusan dengan Ammar. Semua ini semakin masuk akal—bukan efisiensi, melainkan sekadar pemotongan anggaran tanpa pertimbangan matang.
“Lo bisa ke sini nggak?” tanya Tulus. “Kita lagi bahas soal ini juga. Mungkin lo bisa kasih perspektif lebih jelas.”
“Oke, gue otw,”
Ammar menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum tipis. “Gimana? Sekarang lo makin yakin ini efisiensi atau sekadar pemotongan paksa?”
Tulus mengusap wajahnya. “Gue nggak bisa menyangkal lagi. Yang kena bukan cuma angka di kertas, tapi juga orang-orang di lapangan.”
“Dan pertanyaan besarnya,” tambah Ammar, “kalau semua ini bikin layanan publik kacau, proyek-proyek mandek, terus siapa yang diuntungkan dari efisiensi ini?”
Tak lama, Nathan tiba di warung kopi dengan wajah letih. Ia memesan kopi hitam, lalu duduk di sebelah Tulus. “Gue udah dengar semua berita buruknya. Sekarang gue mau tahu, ada cara buat ngadepin ini enggak?”
Ammar dan Tulus saling berpandangan.
Sejenak, tidak ada yang berbicara. Sampai akhirnya Ammar menghela napas dan berkata, “Kalau sejarah mengajarkan sesuatu, semua ini sementara.
Kebijakan berubah, pemerintah berganti, ekonomi naik turun. Yang penting kita jangan berhenti kritis dan tetap nyari cara buat bertahan.”
Raka tersenyum kecil. “Jadi kita cuma bisa bertahan aja?”
Tulus menggeleng. “Enggak. Kita bisa suarakan ini, kasih masukan, kasih perspektif yang lebih masuk akal. Kalau banyak yang sadar kalau ini bukan efisiensi tapi sekadar pemangkasan paksa, tekanan buat perbaikan bakal muncul.”
Ammar menepuk bahu Tulus. “Nah, sekarang lo mulai mikir kayak gue.”
Tulus tertawa kecil. “Ya, kadang gue harus kalah buat lihat sisi lain. Tapi satu hal yang pasti, Rak.”
“Apa?” tanya Raka.
“Badai pasti berlalu,” kata Tulus, tersenyum.
“Kita cuma harus bertahan sampai saat itu tiba.”
Ammar mengangkat gelas kopinya, begitu pula Tulus dan Raka.
“Untuk tetap bertahan. Mumpung dibayarin Tulus”
0 Comments