“Apa ini, gak jelas yang diomongkannya.”
Sambil menyeruput jahe instan kegemarannya, Bapak menatap televisi dengan heran. Di layar televisi, seorang vokalis dengan topi kupluk dan kacamata hitam menyanyikan lagu tentang kekasihnya yang menjadi keminggris.
Terlepas dari kegemaran sang vokalis mengubah huruf ‘i’ menjadi ‘e’, Jamrud bukanlah kategori band dengan musik yang terlampau sulit dicerna, dibandingkan dengan band-band dengan aliran rock atau metal pada masa itu. Tapi bagi bapak, Jamrud tampak tidak jelas, “Kok ada yang dengarkan ini.”
Teknologi, Resistensi, dan Perubahan Zaman
Zaman bergerak. Begitu cepat. Dan seringkali kita tertinggal. Perubahan lazimnya ditandai oleh penemuan manusia akan teknologi, yang menciptakan kebaruan bagi cara dan gaya hidup. Hanya, dalam setiap perubahan pasti ada resistensi.
Saya tidak hanya akan menjadikan generasi boomers sebagai contoh, karena saya kok cukup yakin, pada masanya pasti ada sebagian manusia yang tidak dapat menerima perubahan dari berburu menjadi bercocok tanam.
“Halah, apa itu nanem-nanem, nggak manly. Pithecanthropus ya berburu lah, menghadapi ketidakpastian dengan tajamnya tombak dan keras nya kapak.”
Sepekan lalu, jagat Twitter diramaikan oleh seorang pemuda siswa SMK bernama Rafi (akun Twitter @rafilsafat). Saya tidak akan mengomentari nama akunnya yang “unik”, karena saat seusianya saya pun menamai akun Friendster saya D’nastarboy, semata karena dibuat menjelang lebaran.
Nah, salah satu pendapat Rafi dalam video diskusi bersama Okky Madasari, yang menjadi perhatian adalah pandangannya terkait disiplin sekolah. Ia menganggap itu hanya ilusi yang dibangun dengan hukuman yang mengintai bila dilanggar.
Sama seperti halnya menonton konten kontroversial di Youtube, yang paling menarik adalah menyimak komentar-komentar netizen. Memang sedikit intermezzo, tapi serius, komentar masyarakat di media sosial akan sebuah isu selalu menarik, bahkan kadang bisa memberikan pemahaman yang lebih tajam dibanding kontennya sendiri.
Meskipun begitu, memang jarum selalu lebih sedikit dari jerami. Beragam pendapat berserakan di timeline Twitter, selalu dengan semangat yang sama: pro, kontra, dan tidak jelas.
Rafi: Beda Generasi, Beda Cara Pandang
Kembali soal pendapat Rafi, disiplin adalah sebuah nilai yang sulit dibakukan, banyak variabel yang menjadi penentu. Seorang anak bisa setiap hari terlambat ke sekolah (tempat diterapkannya disiplin dengan hukuman bila dilanggar). Namun, bisa jadi dia paling pertama sampai di rental PlyaStation (PS) untuk urusan bolos.
Orang Indonesia bisa tidak membuang sampah dan meludah sembarangan di Singapore (tempat diterapkannya disiplin dengan hukuman bila dilanggar), tapi bisa seenaknya merokok sambil motoran di Depok.
Dalam perdebatan di lini masa, netizen (yang lebih banyak didominasi oleh range umur di atas Rafi) banyak mengarahkannya ke disiplin datang pagi ke sekolah dan menganggap Rafi hanya malas.
Disiplin bangun pagi tentu relevan untuk cara hidup masyarakat komuter, yang umumnya pegawai dengan jam kantor di pagi hari. Belum lagi bila jarak rumah ke kantor yang kalau diakumulasi sebulan, bisa menyaingi panjangnya rute tour de France.
Di generasi Rafi, mungkin disiplin bangun pagi ini layak untuk dipertanyakan. Buat apa? Persiapan menghadapi dunia kerja?
Toh, sekarang sudah lazim dilakukan WFH. Pekerjaan juga banyak yang bersifat remote, di mana penilaiannya dari output yang dihasilkan, bukan dari apakah pekerjaan tersebut dilakukan mulai pukul 08.00, sejadwal dengan dimulainya acara infotaintment pagi. Nah, tidak bangun pagi tapi pekerjaan tetap selesai on time, bisa aja toh?
Melihat itu saya jadi terpikir juga tentang kedisiplinan seragam, yang mungkin sudah tidak relevan lagi karena trend saat ini adalah semakin sederhana busana, semakin tinggi kelas nya. CEO sekaliber Ellon Musk saja, bertemu Pak Luhut menggunakan kaos oblong.
Bila sadar gelanggang, alih-alih menggunakan setelan jas lengkap, semestinya Pak Luhut dan jajarannya mengunjungi markas Space-X menggunakan kaos pembagian acara 17-an di Kemenko Marves sambil mencangkruk goodie bag hasil souvenir kegiatan bimbingan teknis dengan tulisan ‘BERAHLAK’.
Tampak sederhana, nasionalis dan edgy dalam satu hembusan nafas.
Roy: Menolak Beasiswa demi Konten
Belum lagi, dari generasi yang sama-sama mudanya dengan Rafi, ada Roy (tanpa Martin – aduh, ini klasik sekali), pemuda Citayam yang menolak beasiswa dari Sandiaga Uno karena mau fokus bikin konten.
Ya, memang sekarang dunia perkontenan sedang ramai kok, easy money. Namun, apakah akan berkelanjutan atau tidak, itu rasanya bukan hal yang dapat diprediksi secara tepat oleh orang-orang dewasa dengan pemahaman akan dunia saat satu dekade lalu.
Dunia sudah berubah, banyak pemikiran-pemikiran dari generasi muda yang menyesuaikan diri dengan zaman. Kita cukup membantu dengan memberikan sentilan-sentilan kecil sebagai antitesis, agar mereka bisa mendapat gambaran secara lebih luas, tanpa harus menghakimi dengan pernyataan menyudutkan.
Hanya saja, ada hal yang mengganggu pikiran saya terkait fenomena ini. Keterkejutan kita terhadap sikap generasi muda macam Rafi dan Roy, jangan-jangan sama dengan herannya bapak saya terhadap Jamrud. Padahal, di luar sana, masih banyak yang jauh lebih mbingungi.
Keliling Indonesia bermodalkan meteran.
Sangat menggugah, menggelitik dan menarik tulisna ini, membangun pola pikir dan kritisme pada zaman yang mengetuk ngetuk gaya hidup generasi
Terimakaaih Mas Yusuf
@edridapulungan