Dua “Penyakit Bawaan” Asuransi Kesehatan, Mampukah Indonesia Mengatasinya?

by | Oct 23, 2025 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Setiap bulan, puluhan juta keluarga di Indonesia menyisihkan pendapatan untuk membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan lebih dari 200 juta peserta, program yang dikelola BPJS Kesehatan ini telah menjelma menjadi salah satu sistem asuransi kesehatan tunggal terbesar di dunia.

Ini adalah wujud nyata dari semangat gotong royong modern yang mulia: yang sehat membantu yang sakit, yang mampu menopang yang kurang mampu. Tujuannya luhur, yaitu agar tidak ada lagi warga negara yang jatuh miskin atau kehilangan harapan hanya karena jatuh sakit.

Namun, di balik semangat solidaritas itu, sistem JKN, layaknya sistem jaminan kesehatan di negara manapun, terus-menerus menghadapi tantangan pendanaan yang pelik.

Pernahkah kita bertanya, mengapa isu defisit atau penyesuaian iuran
seolah tak pernah lekang dari perbincangan? Jawabannya terletak pada dua “penyakit bawaan” yang secara alami mengintai setiap sistem asuransi.

Dua masalah ini bernama Adverse Selection dan Moral Hazard. Keduanya lahir dari satu akar masalah fundamental yang dijelaskan dalam ilmu ekonomi, yaitu informasi asimetris, yaitu sebuah kondisi di mana salah satu pihak dalam transaksi memiliki informasi yang jauh lebih lengkap dibandingkan pihak lainnya.

Dalam konteks ini, kita sebagai calon peserta tahu lebih banyak tentang kondisi riil kesehatan dan gaya hidup kita daripada yang diketahui oleh penyelenggara asuransi. Informasi yang tak seimbang inilah yang membuka pintu bagi perilaku-perilaku yang dapat menggerogoti kesehatan finansial sistem jaminan sosial.

Akar Masalah: Ketika Informasi Tak Seimbang

Konsep informasi asimetris ini pertama kali dipopulerkan oleh ekonom peraih Nobel, George Akerlof, melalui analogi “Pasar Mobil Bekas”. Bayangkan Anda ingin membeli mobil bekas.

Hanya si penjual yang tahu pasti apakah mobil yang dijualnya berkualitas prima atau jelek dan penuh masalah. Karena Anda sebagai pembeli tidak bisa membedakannya, Anda hanya berani menawar dengan harga rata-rata.

Akibatnya?

Para penjual mobil bagus enggan menjual mobilnya karena merasa harganya terlalu rendah. Pasar pun akhirnya dibanjiri oleh mobil-mobil “jelek”, dan kepercayaan publik runtuh.

Prinsip inilah yang menghantui asuransi kesehatan dan memunculkan dua “penyakit” utama.

Penyakit #1: Jebakan Adverse Selection (Seleksi yang Merugikan)

Ini adalah masalah yang terjadi sebelum seseorang membeli polis asuransi. Adverse selection adalah kecenderungan alami di mana orang-orang yang merasa memiliki risiko kesehatan tinggi (misalnya, sudah memiliki penyakit, riwayat genetik, atau gaya hidup berisiko) menjadi kelompok yang paling bersemangat untuk mendaftar asuransi.

Sebaliknya, mereka yang merasa bugar dan sehat seringkali menunda-nunda pendaftaran, berpikir “untuk apa rutin bayar iuran kalau tidak pernah dipakai?”.

Jika dibiarkan, kolam kepesertaan asuransi akan menjadi tidak seimbang. Mayoritas pesertanya adalah mereka yang berisiko tinggi dan sering melakukan klaim.

Padahal, perhitungan premi atau iuran selalu didasarkan pada risiko rata-rata seluruh populasi. Ketika pemasukan dari premi tidak sebanding dengan pengeluaran untuk biaya kesehatan, sistem pun mulai goyah.

Ini dapat memicu “spiral kematian asuransi” (insurance death spiral), sebuah reaksi berantai yang mematikan: Biaya klaim yang tinggi memaksa penyelenggara menaikkan iuran untuk semua peserta. Iuran yang semakin mahal membuat kelompok sehat merasa rugi dan akhirnya memilih keluar.

Kolam peserta menjadi semakin kecil dan semakin berisiko tinggi, karena hanya menyisakan mereka yang benar-benar butuh. Rasio klaim per peserta pun meroket, memaksa iuran dinaikkan lagi, dan siklus ini terus berlanjut hingga sistem kolaps.

Penyakit #2: Godaan Moral Hazard (Bahaya Moral)

Jika adverse selection adalah masalah sebelum bergabung, moral hazard adalah tantangan perilaku yang muncul setelah seseorang terlindungi oleh asuransi. Rasa aman karena biaya pengobatan akan ditanggung dapat memicu perubahan perilaku menjadi kurang hati-hati atau cenderung boros.

Ada dua “godaan” utama dari moral hazard:

  1. Godaan sebelum sakit (ex-ante):
    Seseorang menjadi kurang termotivasi untuk menjaga kesehatannya. Muncul pemikiran, “Buat apa capek-capek menjaga pola makan atau berhenti merokok? Kalau nanti sakit, tinggal berobat pakai JKN.”
    Perilaku ini secara tidak langsung justru meningkatkan kemungkinan seseorang jatuh sakit dan membebani sistem.
  2. Godaan saat sakit (ex-post):
    Muncul perilaku “aji mumpung” atau pemanfaatan layanan secara berlebihan (over-utilization). Misalnya, untuk keluhan ringan yang bisa ditangani di rumah, pasien langsung meminta dirujuk ke dokter spesialis.
    Perilaku ini juga bisa datang dari sisi penyedia layanan. Fenomena supplier-induced demand terjadi ketika rumah sakit atau dokter, yang juga memiliki insentif finansial, mungkin memberikan tes atau tindakan medis lebih banyak dari yang benar-benar dibutuhkan karena tahu pasien memiliki asuransi yang akan membayar tagihannya.
    Ini bukan melulu soal keserakahan, melainkan masalah desain sistem yang perlu dikelola.

Dampak dari moral hazard sangat jelas: biaya klaim membengkak drastis akibat pemborosan, yang pada akhirnya memaksa iuran dinaikkan untuk semua peserta, termasuk mereka yang selama ini menggunakan layanan secara bijak.

Jurus Jitu Indonesia Melawan Dua ‘Penyakit’ Ini

Sebagai sebuah sistem yang dirancang dengan pertimbangan matang, JKN tidak tinggal diam. Program ini memiliki mekanisme pertahanan yang secara sadar dibangun untuk “menjinakkan” dua masalah ekonomi ini.

  • Jurus Melawan Adverse Selection:
    Senjata pamungkasnya adalah KEPESERTAAN WAJIB (Mandatory Enrollment). Dengan mewajibkan seluruh penduduk Indonesia untuk menjadi peserta, JKN memastikan kolam risikonya besar dan beragam.
    Orang sehat “dipaksa” ikut bergotong-royong, sehingga iuran mereka yang jarang terpakai bisa mensubsidi biaya pengobatan mereka yang sakit. Ini adalah satu-satunya cara paling efektif untuk menciptakan keseimbangan dan memutus potensi “spiral kematian”.
  • Jurus Melawan Moral Hazard:
    Senjata andalannya adalah SISTEM RUJUKAN BERJENJANG. Pasien tidak bisa langsung pergi ke dokter spesialis di rumah sakit untuk setiap keluhan. Mereka wajib mengakses Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas atau klinik terlebih dahulu.
    Sistem ini berfungsi sebagai “penjaga gerbang” (gatekeeping) yang efektif. FKTP akan menyaring kasus-kasus yang memang bisa ditangani di tingkat primer, dan hanya merujuk kasus yang benar-benar membutuhkan penanganan spesialis.
    Ini adalah cara cerdas untuk memastikan layanan digunakan secara tepat guna dan menekan pemborosan. Selain itu, instrumen lain seperti manajemen utilisasi dan potensi pembagian biaya (cost sharing) juga menjadi bagian dari strategi untuk mendorong perilaku yang bertanggung jawab.

Kesimpulan: Gotong Royong Butuh Kesadaran

Memahami adverse selection dan moral hazard bukan lagi sekadar urusan para ahli ekonomi atau birokrat di pemerintahan. Sebagai peserta JKN, kesadaran ini penting untuk kita miliki. Kelangsungan sistem jaminan kesehatan yang kita banggakan ini tidak hanya bergantung pada suntikan dana dari negara, tetapi juga pada perilaku kolektif kita sebagai penggunanya.

Menjaga JKN bukan sekadar urusan rutin membayar iuran. Ini adalah tentang merawat sebuah cita-cita besar: memastikan tak ada satupun anak bangsa yang harus kehilangan masa depannya karena tidak mampu berobat.

Gotong royong ini butuh kesadaran, bukan hanya iuran. Mendaftar saat masih sehat, secara aktif menjaga pola hidup sehat, dan menggunakan fasilitas kesehatan secara bijak dan bertanggung jawab adalah kontribusi paling nyata yang bisa kita berikan untuk menjaga rumah besar kesehatan ini agar tetap kokoh berdiri untuk generasi-generasi mendatang.

2
0
Surdi Sudiana ◆ Active Writer

Surdi Sudiana ◆ Active Writer

Author

Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK) pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post