Prolog: Perlukah Etika?
Pertanyaan ini adalah bentuk ketidaksabaran untuk menyatakan sesuatu atau boleh juga sebagai wujud ketergesaan untuk meyakinkan pembaca bahwa etika itu penting. Memang terlalu awal untuk seorang profesional, tapi bisa segera dimaklumi bagi yang awam atau bagi mereka yang tidak punya banyak kesempatan membaca.
Menariknya etika untuk dibincangkan ialah karena ia lahir dari kegelisahan sekaligus kerap menjadi sorotan. Kita pun biasa menyaksikan praktik yang tidak beretika dalam perilaku profesional, sekaligus ada kekhawatiran kalau diri sendiri terlibat di dalamnya.
Memberikan jawaban singkat perlunya etika dalam sebuah profesi, kita bisa menghadirkan pertanyaan tentang peran dramatis yang melahirkan dilema, bertentangan dengan pendapat dan suara hati. Seperti, standar perilaku yang dilanggar tidak segera mendapat sanksi atau penerapannya tidak jelas.
Juga, ketika ditemukan sebuah tradisi atau praktik lokal masyarakat yang berbeda dengan standar etika yang kita pedomani, maka kita tidak dapat menolak atau tidak peka meski terdapat kekeliruan.
Standar etika profesional ‘dipaksa’ dan dikesampingkan jika berhadapan dengan tradisi lokal atau kepentingan otoritas.
Dari sinilah konsep tentang personal ethical philosophy perlu dipahamkan sekaligus menjaga kinerja profesional termasuk para pemangku kebijakan memiliki kesadaran untuk membuka diri.
Etika Birokrasi ‘Yang Memasung’ Tulisan ini merupakan bagian dari tesis yang saya pertahankan di depan para penguji 5 tahun silam. Saya bersyukur mendapat kesempatan mengembangkan pikiran, gagasan, dan lebih banyak kritik atas praktik yang bertentangan dengan standar etika profesi. Khususnya, profesi yang saat ini saya tekuni yaitu di bidang pengawasan/audit.
Kalau menghitung lama waktu sejak tahun 2010 saya mengenal lingkup pengawasan di pemerintah daerah, tentu masih terbilang sangat muda. Namun, yang membuat saya percaya diri menempatkan etika pada tugas profesional untuk tidak tabu ‘dihidangkan’ adalah karena tulisan ini lahir dari hasil penelitian etika melalui kajian fenomenologi Edmund Husserl sebagai alat analisisnya.
Wajah birokrasi mengungkapkan secara umum birokrasi di Indonesia mirip dengan pola dominasi patrimonial yang menurut Weber (1864-1920) tidak lepas dari dominasi jabatan dan perilaku individu/golongan yang memiliki kekuasaan mengontrol kepentingan ekonomi dan politik.
Hasilnya, pejabat-pejabat disaring atas kinerja ‘kedekatan’ karena jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaan. Kekhawatiran kemudian menjelma jadi kenyataan bahwa pelayanan publik sulit mendapat kepercayaan masyarakat karena birokrasi cenderung mengabdi pada penguasa untuk kepentingan kekuasaan.
Di sekitar ruang kerja kita pun sering menjumpai kenyataan bahwa kesetiaan dan pengabdian banyak disalahartikan. Kesetiaan yang dimunculkan adalah kesetiaan ‘buta’, ‘vulgar’ atau abai terhadap nilai kritis. Di depan pejabat atasan, pengabdian ditampakkan atas nama loyalitas, lebih dominan dari pada komitmen organsiasi dan pengabdian kepada masyarakat.
Senada dengan penelitian Rusli (2014), mengungkapkan bahwa aspek budaya paternalistik yang terwariskan dalam tradisi birokrasi (patron-klien) menjadikan ketergantungan yang condong memperlakukan atasan atau peran jabatan secara berlebihan.
Realitanya, birokrasi bawahan cenderung memberikan laporan yang menyenangkan dengan menciptakan distorsi informasi. Alhasil, pelanggaran terhadap aturan dan prosedur banyak terjadi, responsivitas birokrasi dan pejabatnya terhadap dinamika lingkungannya menjadi sangat rendah.
Anomali Birokrasi pada APIP
Di lingkungan pengawasan intern juga demikian. Doktrin etika birokrasi menggambarkan fenomena anomali (penyimpangan) birokrasi yang menunjukkan pengabdian pasif, ‘terpasung’. Anomali birokrasi bertentangan dengan nilai positif etika yang mengandung unsur rasionalitas, menghargai kebebasan setiap pelaku moral dan universalitas.
Konsekuensi logis yang harus dihadapi oleh aparat pengawasan intern ketika dihadapkan berbagai realitas kepentingan, gangguan independensi, rasionalitas, persepsi etis, komitmen pimpinan dan organisasi. Semuanya sering mementingkan otoritas, memberi tekanan (intervensi) untuk memilih atau berpihak pada pengaruh dan kepentingan ketimbang menuntut auditor intern mempertahankan sikap independensinya.
Padahal, lingkungan pengawasan intern sarat dengan budaya etis, dituntut mengedapankan standar etika yang sudah dibuat (lihat Permenpan No. 4. Tahun 2008 tentang Kode Etik APIP). Informan penelitian ini menegaskan bahwa lingkungan birokrasi menjadikan alasan tidak efektifnya fungsi dan mekanisme pengawasan, sehingga dibutuhkan penataan ulang sistem pengawasan atau reformasi kelembagaan.
Pendapat tersebut sangatlah beralasan, mengingat doktrin birokrasi menunjukkan bahwa posisi aparat pengawasan intern masih sangat bergantung pada kebijakan hukum birokrasi tingkat atas.
Belajar dari beberapa kasus, pertama, pada proses pengangkatan, mutasi atau pemberhentian dilakukan oleh otoritas birokrasi sebagai pejabat pembina kepegawaian. Tentu kondisi yang demikian menyulitkan para aparatnya menjalankan tugas secara objektif, transparan, dan akuntabel, terutama jika objek pengawasan terkait dengan kepentingan pejabat birokrasi.
Kasus kedua, pemberian penugasan yang ruang lingkupnya dibatasi karena adanya hubungan kekerabatan, politis, pengaruh, atau intervensi antara pemberi tugas dan obyek pemeriksaan, sehingga kualitas pemeriksaan tidak menunjukkan keadaan sebenarnya.
Kasus ketiga, mendapat ‘ancaman’ atau ‘pemberian’ sehingga mudah dikendalikan bahkan bertindak tidak etis dan mengesampingkan kepentingan publik.
Temuan menunjukkan bahwa individu memiliki kecenderungan bertindak kurang etis ketika dalam tekanan yang risikonya berhubungan dengan kebutuhan pribadi, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, atau penurunan pangkat (Pelletier dan Bligh, 2006).
Mengubah Culture dan *Mindset*
Fenomena ini memanfaatkan kekuasaan sebagai label legalitas praktek-praktik penyimpangan kewenangan dalam proses penyelenggaraan birokrasi. Wajar, ketika peran pelayanan publik belum dapat mengakomodir kepentingan dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat.
Kendalanya, berangkat dari kekeliruan memahami (mind set) posisi jabatan dan arah kebijakan birokrasi yang profesional dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan.
Penjelasan Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, mengemukakan hal yang sama bahwa salah satu permasalahan utama birokrasi dewasa ini adalah lemahnya pola pikir dan budaya kerja sebagai fondasi awal mewujudkan kinerja maksimal.
Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) birokrasi belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif, dan profesional. Selain itu, birokrasi belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes).
Organisasi sebagai sebuah struktur hubungan antar manusia dan antar kelompok tentu saja memiliki nilai-nilai tertentu yang menjadi kode etik atau pola perilaku anggota organisasi. Paling tidak ada satu nilai yang menjadi slogan, selalu disematkan dalam membentengi perilaku yaitu ‘menjaga nama baik organisasi’ (Fernanda, 2006:26).
Hasil serupa diungkapkan The World Competitiveness Yearbook yang dikeluarkan oleh Institute for Management Develompment (IMD) yang menggolongkan indeks kompetitif birokrasi di Indonesia berada di kelompok terendah sebelum India dan Vietnam.
Selain menjadi sebuah slogan nilai juga merupakan doktrin etika birokrasi yang mengedepankan pengabdian dan kesetiaan. Namun, tren birokrasi kekinian lebih baik menjaga nama baik pimpinan ketimbang organisasi itu sendiri.
Etika Kritis ‘Yang Membebaskan’
Belasan tahun yang lalu Political and Economic Risk Consultancy merilis hasil survei bahwa kualitas birokrasi di Indonesia termasuk yang terburuk bersama Vietnam dan India.
Boleh dikatakan, Indonesia telah mengalami krisis birokrasi sehingga membutuhkan ketegasan agenda reformasi birokrasi untuk menciptakan clean and good governance (Gie, 2003:2-3).
Sampai hari ini pun tampak tidak banyak berubah, gambaran birokrasi yang kerap dihinggapi ‘anomali atau krisis birokrasi’ telah jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip etika dan nilai-nilai moral yang berlaku umum (six great ideas), meliputi; nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice).
Aliran teologi utilitarianisme sebagai pandangan etika banyak digunakan dalam perumusan kebijakan pembangunan di era otonomi daerah menerangkan tentang adanya kebebasan positif (positive freedom) yang mengharuskan pemberian kebebasan individu, tidak terganggu kepentingan eksternal maupun internalnya untuk meraih tujuan.
Manusia sebagai pemeran dalam birokrasi tidak hanya dilahirkan dan dikaruniai potensi individualitas dan sosialitas, melainkan terdapat potensi yang kuat di antara keduanya yakni moralitas dan kesusilaan. Artinya, di dalam diri manusia dituntun berbuat baik yang didasari oleh kejujuran dan keadilan (Siska, 2015:32).
Dinamika birokrasi khususnya pengawasan internal begitu kompleks, dibutuhkan pemikiran holistik, pola pikir yang sehat mengedepankan nilai-nilai rasionalitas dengan pendekatan kritis, sehingga memahami kondisi disesuaikan konteks permasalahannya.
Kini terdapat aspek yang tidak menguntungkan dari pengawasan internal yakni aktivitas yang umumnya dipaksakan termasuk pada pengambilan keputusan etis/tidak etis.
Melihat murungnya realitas dalam lingkup pengawasan, Courtemanche (1997:176) menyarankan agar sikap kritis tidak ditempatkan pada posisi menjaga jarak, tetapi ditunjukkan dengan menjalin hubungan, kesediaan bekerjasama di semua tingkatan.
Epilog: Etika ‘Kesetiaan’
Mengedepankan nilai-nilai etika sebagai benteng moral aparat birokrasi ditanamkan melalui berbagai pertimbangan hukum, aturan, atau kebijakan yang menekankan kesetiaan dan pengabdian.
Ciri khas penyelenggaraan pemerintahan yang mengutamakan kesetiaan dan pengabdian menjamin bahwa semua tugas didistribusikan oleh atasan yang berfungsi sebagai wakil negara dalam birokrasi, dan dilaksanakan oleh bawahan dengan sebaik-baiknya.
Tindakan baik itu dipilih dan diputuskan sendiri berdasarkan kriteria yang rasional dan bukan sekedar mengikuti tradisi atau perintah. Tindakan yang baik bukan hanya mendatangkan manfaat bagi orang yang melakukannya, melainkan karena tindakan itu bermanfaat bagi kebanyakan orang, karena kebaikan pada dasarnya memiliki nilai universal (Keraf, 1998).
Negara membutuhkan keberadaan birokrasi sebagai alat dan instrumen ideal untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan (welfare state). Perubahan besar birokrasi di Indonesia dengan diberlakukannya otonomi daerah merupakan manifestasi proyek membangun tata kehidupan bangsa yang semakin demokratis dan partisipatif.
Artinya, wujud peran dan fungsi birokrasi untuk mencapai tujuan bersama, bukan karena kepentingan jabatan atau birokrat itu sendiri. Kemandirian organisasi pemerintahan sebagai tuntutan dewasa ini membutuhkan pejabat publik yang profesional, mampu menciptakan kondusifitas dan mendukung keterpenuhan kebutuhan publik.
Auditor Muda,
Inspektorat Daerah Kota Parepare, Sulawesi Selatan. ‘penikmat kopi dengan segala rasa’
Tulisan yang menarik. Kritis, aktual, dan reflektif.