Prolog
Seperti biasa, ketika sebuah event pemilihan umum menjelang, profesional birokrasi dibombardir dengan aturan tentang netralitas beserta berbagai ancaman sanksi. Namun, seperti biasanya pula, aturan tersebut selalu saja tidak bisa ditegakkan secara an sich karena berbagai faktor (baca juga: Pernyataan Sikap Pergerakan Birokrat Menulis Menyikapi AturanTerkait Netralitas Profesional Birokrasi, dan Netralitas ASN dari Sudut Pandang Seorang ASN).
Mengamati fenomena di atas, maka sebagai ASN yang bekerja di perpustakaan umum sebuah kabupaten, saya terdorong untuk memberikan respon dalam konteks kepustakawanan khususnya terkait peran pustakawan sebagai bagian dari profesional birokrasi dalam proses demokrasi yang berfokus pada hajatan pilkada.
Peran Perpustakaan dalam Sistem Demokrasi
Perpustakaan umum pada dasarnya merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Begitupun sebaliknya, demokrasi memerlukan perpustakaan sebagai ruang bagi siapa saja untuk memperoleh informasi dan pengetahuan. Perpustakaan hadir untuk memenuhi hak dasar masyarakat akan kebutuhan mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan.
Jika diperhatikan lebih seksama, peran perpustakaan sebenarnya tidak sebatas menyediakan informasi sesuai kebutuhan pemustaka melalui bahan bacaan semata. Perpustakaan sebagai institusi sosial juga mempunyai peran sebagai katalisator perubahan atas dinamika sosial yang terjadi di lingkungannya.
Salah satu dinamika sosial yang sedang terjadi saat ini adalah pesta demokrasi dalam pilkada. Respon perpustakaan terhadap agenda pesta demokrasi tersebut ditunjukkan dengan kesiapan layanan informasi yang komprehensif dan berimbang. Di antaranya ialah menyajikan referensi seputar pemahaman demokrasi, proses pemilu, hingga profil dan berita tentang calon-calon pemimpin daerah.
Diharapkan, berbekal informasi yang ada, masyarakat memiliki referensi dalam menentukan pilihan politiknya sehingga mampu menginisiasi terjadinya perubahan kehidupan berbangsa ke arah yang lebih baik. Informasi yang tersedia tentu saja juga mampu membentuk opini publik, bahkan mampu mengubah arah dukungan terhadap sebuah pasangan kandidat.
Dilema Pustakawan
Bagi pustakawan, sebagai pengelola perpustakaan umum, kadang tidak mudah memfasilitasi ketersediaan informasi secara setara dan berimbang untuk masyarakat.
Kesulitan tersebut bisa jadi akibat dominannya kekuatan media yang dimiliki oleh salah satu kandidat, atau dominasi kekuasaan yang dimiliki sang petahana. Informasi terkait petahana selalu akan lebih dominan karena seringnya mendapat liputan. Dengan demikian, dari segi kuantitas kecenderungannya sulit untuk mencapai posisi berimbang.
Pemilihan bahan informasi yang disediakan oleh pustakawan tentunya tidak dapat dilakukan untuk keuntungan pihak tertentu. Meskipun sebenarnya ada banyak karakter yang unik pada setiap pustakawan, tetapi keberpihakan itu tidak boleh meruntuhkan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial.
Pustakawan dituntut oleh profesinya untuk selalu bersikap netral dalam memilih dan menentukan bahan pustaka, lebih-lebih pustakawan yang bekerja di kantor perpustakaaan daerah. Mereka adalah seorang birokrat yang netralitasnya harus terjaga.
Menyediakan referensi tentang para calon pemimpin daerah memang bukanlah suatu layanan khusus. Komitmen pustakawan dari profesional birokrasi untuk menyediakan informasi lokal memang bagian dari tugasnya. Perlu diingat, pustakawan menempati salah satu posisi garda terdepan dalam hal keterbukaan informasi.
Peran pustakawan dalam memberikan edukasi terkait demokrasi dapat pula diperluas dengan memfasilitasi masyarakat untuk belajar memahami dan menganalisis suatu informasi. Untuk dapat memiliki kemampuan tersebut, profesi pustakawan dapat menyelenggarakan berbagai pelatihan literasi informasi, literasi media, dan juga literasi digital.
Selanjutnya kemampuan yang diperoleh oleh masyarakat tersebut diharapkan dapat menjadi bekal dalam mengarungi lautan informasi, serta menyaring informasi yang valid untuk menentukan sebuah pilihan ideal dan berdasar.
Politisasi dan Birokratisasi Perpustakaan
Dalam suasana pilkada, pustakawan harus mampu memainkan peran fungsinya sehingga perpustakaan umum dimana ia bekerja terlepas dari politisasi pihak-pihak yang bersaing, terlebih oleh petahana.
Pengelolaan perpustakaan umum yang dilaksanakan oleh sebuah Organisasi Perangkat daerah (OPD)Â berpotensi dipolitisasi karena pimpinannya merupakan pejabat struktural yang diangkat oleh kepala daerah terpilih dan jika ia seorang petahana, maka perpustakaan umum yang dikelola oleh pustakawan berpotensi dijadikan sebagai alat pemenangan.
Di sisi lain, lingkungan kerja perpustakaan umum milik pemerintah yang birokratis tak ayal juga menampakkan wajah birokrasinya. Perpustakaan umum ini seringkali lebih terlihat sebagai perpustakaan kantor/dinas yang terkesan lamban, kaku, dan tidak inovatif.
Perpustakaan umum seringkali masih dijalankan secara mekanis dengan kontrol administrasi yang ketat, seperti apa yang dikatakan oleh Putu Laxman Pendit sebagai birokratisasi pustaka. Berbeda dengan sekolah atau kampus yang strukturnya dominan diisi oleh ASN fungsional (profesi guru/dosen).
Meskipun perpustakaan pemerintah dominan dikelola oleh pejabat struktural, tetapi bukan berarti perpustakaan harus ‘terjebak’ di dalam lingkaran kekuasaan yang birokratis, apalagi sampai melambat kinerjanya karena intervensi pejabat yang terikat belenggu hirarkis bahkan terlibat urusan politis. Di sinilah peran pustakawan dituntut lebih jauh mampu mengubah wajah perpustakaan umum menjadi lebih humanis, inovatif, dan responsif.
Epilog
Pustakawan sebagai pengelola perpustakaan umum dituntut mampu membangun opini yang bebas dari keberpihakan. Dengan demikian setiap bacaan yang tersedia bisa menjadi sumber pencerahan bagi para pemustaka.
Posisi dan peran pustakawan yang sebelumnya didominasi kultur kerja yang teknis dan birokratis, sudah sepatutnya disegarkan dalam budaya kerja yang dinamis, inovatif, dan responsif. Pustakawan harus mampu mengembalikan ‘khittah’ perpustakaan umum yang berkata dasar ‘pustaka’, yang bermakna sebagai penghormatan kepada ilmu dan keadilan sosial dalam pencarian informasi dan pengetahuan.
Arah ini memberi refleksi bagi pustakawan sebagai pengelola perpustakaan umum agar senantiasa melakukan demokratisasi di dalam dirinya. Tugas ini seharusnya disadari oleh pustakawan dari profesional birokrasi bahwa demokrasi adalah ruh perpustakaan. ***
ASN yang bertugas di Perpustakaan Umum Kabupaten Enrekang dan saat ini menempuh pendidikan magister Perpustakaan dan Informasi Islam di UIN Alauddin Makassar.
Tulisannya menarik. Tp mau tanya politisasi pustakawannya dalam konteks apa ya. Apa politisasi dalam pengertian pengetahuan dan kekuasaan, atau dalam pengertian ekonomi politik?
Terima kasih Pak Zamzam. Potensi politisasi dilihat dalam pengertian pengetahuan dan kekuasaan. Mungkin ada masukan/kritik, silahkan berbagi… 🙂