“Tania menawarkan satu kesadaran pahit bagaimana niat baik yang tulus serta rencana hebat untuk memakmurkan kehidupan orang banyak, sama sekali bukan jaminan bahwa kemakmuran tersebut akan benar terwujud.”
(Pujo Semedi – Pengantar Penerjemah).
Kamis pagi menjelang siang yang hangat (1/3/2018), belasan peneliti dan staf di lingkungan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, meriung membicarakan buku Tania Murray Li dalam acara Forum Diskusi Kamisan (FDK) yang rutin diselenggarakan tiap hari Kamis.
Buku yang terbit di Tahun 2012 itu bertajuk The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Buku tersebut berisi investigasi Tania Li, seorang antropolog dari Kanada, tentang bagaimana pembangunan di Indonesia dikonsep dan dilaksanakan. Buku itu merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul “The Will to Improve: Governmentality, Development, and The Practice of Politics”.
Buku yang merupakan hasil riset dengan gaya etnografi ini secara dekat menceritakan karut marut perencanaan dan pelaksanaaan pembangunan yang tidak netral. Selalu ada kepentingan lain dalam perencanaan pembangunan dengan berbagai macam diskursus.
Penyebab Kegagalan Proyek Pembangunan
Bakti Utama, peneliti yang menjadi pemantik diskusi membuka pembicaraan dengan mengajukan soal, mengapa buku ini penting untuk dibaca dan dipahami, terlebih oleh para birokrat, utamanya peneliti kebijakan?
Seperti pengantar yang ditulis Pujo Semedi, antropolog dari Universitas Gadjah Mada yang sekaligus menjadi salah satu penerjemah buku ini, bahwa niat baik untuk memakmurkan kehidupan masyarakat tidak selalu berujung pada hasil yang memuaskan.
Tania Li dengan gamblang membedah mengapa kegagalan demi kegagalan ‘proyek pembangunan’ itu terjadi. Kasus-kasusnya dirunut sejak masa kolonial sampai era reformasi dewasa ini. Mengapa tujuan menyejahterakan rakyat yang tampak tulus dan baik itu ibarat jauh panggang dari api dalam hal pencapaiannya?
Apabila dirangkum, hasil kajian Tania Li bermuara pada dua sebab. Pertama, hal-hal yang menyangkut apa yang diistilahkan Tania Li sebagai “teknikalisasi permasalahan”, yaitu upaya mereduksi dan meringkas persoalan-persoalan menjadi sehimpunan variabel yang mudah dipahami, terukur, dan secara teknis dapat direkayasa.
Dalam bahasa saya sendiri, teknikalisasi permasalahan adalah proses menyusun rumusan kebijakan, opsi kebijakan, atau rekomendasi yang akrab di telinga para birokrat, lembaga konsultan, atau lembaga penelitian di kampus.
Sayangnya, kata Tania Li, dalam proses teknikalisasi permasalahan itu, persoalan relasi kuasa, kepentingan dan kecenderungan politik, keterbatasan akses terhadap sumber daya yang kesemuanya sangat bersinggungan dengan masalah ekonomi-politik, kerap diabaikan.
Kebijakan pengentasan kemiskinan, misalnya, sering kali muncul dalam program yang lebih condong sebagai upaya memodernkan masyarakat. Petani, nelayan, dan masyarakat yang dianggap tradisional dianggap lebih baik jika cara hidupnya berubah menjadi modern.
Kemiskinan pun didefinisikan sedemikian rupa, agar seolah masyarakat di suatu tempat memerlukan sebuah program pembangunan untuk dapat mengentaskannya. Di sisi lain, problem pada masyarakat yang dianggap miskin sebenarnya adalah permasalahan akses masyarakat yang terbatas pada alat-alat poduksi, yang itu pun adalah hasil dari permasalahan politik di masa lalu.
Akibat dari pengabaian masalah ekonomi-politik tadi, berbagai program pembangunan itu alih-alih membuat masyarakat kian sejahtera, tetapi justru dapat memperparah kesenjangan ekonomi. Pembangunan akhirnya hanya menguntungkan segelintir elite yang sebelumnya memang sudah mendapatkan akses terhadap sumber daya, serta memosisikan kaum yang tidak beruntung ke tubir jurang keterpurukan.
Kedua, sebuah program yang sejatinya dimaksudkan untuk mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik tidak diejawantahkan di ruang kosong, melainkan diterima atau berhadapan dengan berbagai subjek, kelompok, dan kepentingan.
Sebuah program tidak hanya dipahami dan dipraktikkan dalam satu koridor, melainkan dapat multitafsir sesuai dengan kepentingan masing-masing person, kelompok, dan kelas sosial. Di sinilah perencanaan atau rekomendasi program yang merupakan hasil dari teknikalisasi permasalahan yang semula sudah matang, dapat mentah atau justru menjadi blunder karena mendapat respon, tantangan, perlawanan, atau manipulasi dalam pelaksanaannya.
Pembangunan Baik untuk Siapa?
The Will To Improve berupaya menelaah proses-proses kepengaturan dalam program-program pembangunan, termasuk persoalan substansial dari setiap proyek pembangunan atau upaya perbaikan (improvement) yang digadang-gadang baik oleh negara, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun organisasi internasional. Hanya saja, persoalan yang kerap diabaikan adalah “pembangunan atau perbaikan tentang apa”, “pembangunan atau perbaikan menurut siapa”, dan “pembangunan atau perbaikan untuk siapa”.
Contohnya, sebagaimana disebutkan pula oleh Tania Li di bukunya, upaya memukimkan orang-orang pedalaman yang berladang berpindah-pindah merupakan kebijakan ‘orang kota’ atau ‘orang pemerintahan’, artinya baik atau bijak dari sudut pandang modernitas. Sebaliknya, bagi orang pedalaman, kebijakan itu mempersempit akses mereka terhadap sumber daya alam yang sebelumnya leluasa mereka gunakan.
Diabaikannya isu mengenai ‘baik untuk siapa’ oleh para perencana, sejatinya mengesampingkan diskusi mengenai dasar filosofi pembangunan itu sendiri, bahwa pembangunan dimaksudkan untuk mendorong perkembangan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.
‘Baik untuk siapa’ juga mengandung persoalan-persoalan ekonomi-politik yang juga menjadi sorotan Tania Li. Tentangan individu atau kelompok terhadap sebuah program, misalnya, salah satunya dipicu oleh persoalan ‘baik untuk siapa’ itu. Begitu pula tujuan akhir dari program untuk menyejahterakan atau memakmurkan itu dapat berujung nihil apabila terbukti ‘tidak baik’ untuk masyarakat yang ada di lokasi pembangunan.
Optimistis atau Pesimistis?
Buku ini, kata Direktur FDK, Irawan SSB., menguliti dan menyajikan sisi kelam dari program pembangunan, di mana para peneliti atau staf di lingkungan pemerintah turut serta di dalamnya. Lantas, apakah saya, Anda, atau siapa saja yang terlibat dalam menyusun, menerapkan, atau mengawasi sebuah kebijakan patut pesimis atau tetap optimis?
Saya sendiri tidak mampu memutuskan apakah tetap optimis atau pesimis. Selesai membaca buku ini, kesan bahwa nada muram yang diumbar dalam buku ini memang cukup menyesakkan. Buku ini, sebagaimana diakui oleh Tania Li di bagian awal, memang dimaksudkan untuk membongkar sengkarut govermentality (kepengaturan) yang dijalankan oleh para trustees (wali masyarakat) baik kalangan birokrat, konsultan, akademisi, maupun aktivis.
Govermentality merupakan sebuah konsep yang datang dari seorang filsuf Perancis, Michel Foucault. Konsep tersebut menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan bekerja dengan tidak mengandalkan paksaan, tetapi melalui diskursus yang dikembangkan dan pendisiplinan proses-proses yang memengaruhi kesadaran masyarakat. Kesadaran itu lalu mendorong orang untuk memiliki kepentingan pribadi yang akhirnya sesuai dengan kepentingan elite.
Kembali kepada pertanyaan, apakah kita lantas pesimis atau tetap optimis, saya sendiri memilih opsi ketiga, yaitu ‘canggung’, tidak jenak atau tidak merasa nyaman. Tidak jenak karena sebagian besar kritik Tania Li tepat sasaran, tetapi di sisi lain kita tak mampu mengelak dari tugas merumuskan, melaksanakan, atau mengevaluasi kebijakan.
Dengan memilih posisi ‘canggung’ itu, saya mencoba mengambil jeda antara optimis di satu sisi dan pesimis di sisi yang lain. Dengan begitu ada kesempatan bagi saya untuk melakukan koreksi dan refleksi diri, sembari mempertimbangkan bagaimana persoalan ekonomi-politik dapat menjadi salah satu kacamata yang tak boleh diabaikan dalam merumuskan kebijakan. Saya kemudian menyadari bahwa dalam merencanakan suatu kebijakan atau pun program pembangunan kita tidak pernah lepas dari aspek historis dan politis.
Epilog
Akhir kata, buku ini jauh dari hanya penting, melainkan sangat penting dibaca bagi para perumus, pelaksana, dan evaluator kebijakan agar kita senantiasa hati-hati mengambil keputusan, dan dijauhkan dari ‘banalitas kebijakan’.
Frasa terakhir di atas mengacu kepada kondisi di mana sebuah kebijakan muncul tanpa telaah yang memadai, terbit sebagai respon sesaat atas kepentingan politik atau kelompok tertentu, atau ya…supaya ada kebijakan baru, daripada tidak ada kebijakan atau kerjaan.
Sore itu, setelah diskusi berakhir, kami pun sejenak tertegun dan menjadi insaf bahwa niat baik dan perencanaan yang hebat saja belum cukup, perlu telaah yang memadai, mempertimbangkan etika secara cermat, dan implementasi yang kontekstual agar kebijakan dapat menyentuh sasaran dan mencapai kemakmuran.
Peneliti kebudayaan di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemdikbud dan anggota Forum Diskusi Kamisan (FDK).
optimis dan menatap masa depan yang lebih baik tetap harus dipelihara.
Yang Maha Kuasa telah memberikan jaminan, bahwa “Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku”
tidakkah kita mengambil jalan yang terbaik dan selalu optimis, bahkan ketika esok akan kiamat sekalipun ?