Tak terasa waktu berlalu sedemikian cepat. Akhir tahun sudah dekat. Hari penagihan janji kinerja mulai merapat, sementara progres belum terlihat. Di kantor-kantor, rapat demi rapat digelar, merancang strategi demi merangkai laporan yang harus dipublikasi.
Tidak peduli apakah setiap halaman benar-benar mencerminkan realitas di lapangan, atau sekadar angka yang dipaksa hadir dalam kolom-kolom penilaian.
Tentu, tidak ada yang ingin melaporkan kegagalan
atau mengakui bahwa beberapa program hanya berjalan setengah hati.
Maka, muncullah istilah-istilah yang terdengar meyakinkan: “progres signifikan,”
“peningkatan bertahap,” atau “dalam proses optimalisasi.”
Meski terdengar positif, ucapan itu tak lebih dari sekedar jargon klasik yang berfungsi sebagai topeng kinerja. Yang penting, laporan tampak memadai, dan janji-janji (terkesan) sudah ditepati.
Kompetisi Indeks Memotret Kinerja
Bak jamur di musim gugur, instansi pemerintah berlomba mengajukan indeks sebagai alat ukur. Berbagai angka disusun dengan nama-nama yang mengundang decak kagum. Setiap indeks digadang-gadang mampu memotret kinerja, memberikan bukti kepastian atas kemajuan, sekaligus memberikan peta jalan bagi perbaikan ke depan.
Namun, bukannya membantu, keberadaannya malah membuat definisi kinerja semakin kabur. Indeks menutupi makna kerja nyata, menyulap konsep “pencapaian” menjadi sekadar angka yang tampak impresif, meski tak selalu mencerminkan kualitas sebenarnya.
Di balik laporan-laporan yang rapi dan indeks kinerja yang terpoles dalam diagram warna-warni, terselip pertanyaan: Apakah indikator ini mampu menangkap realitas? Atau sekadar menjadi alat untuk menjaga popularitas? Tak jarang, abdi negara terlampau sibuk memoles angka hingga lupa pada tujuan semula.
Mereka mengatur indikator demi memenuhi syarat perhitungan, menyulap angka-angka agar terlihat cantik saat ditampilkan, baik dalam forum bersama pimpinan atau lampiran laporan.
Tapi di balik semua itu, yang terjadi hanyalah upaya menciptakan kesuksesan artifisial—kinerja yang diproduksi untuk memenuhi syarat, bukan untuk memberikan manfaat. Masyarakat sering kali hanya menjadi penonton dalam pencapaian indeks yang berputar di ruang birokrasi.
Berkaca pada Piala Adipura
Mungkin pejabat publik perlu berkaca. Apa yang terjadi dengan Piala Adipura? Simbol prestasi kota bersih yang dulu begitu diagungkan, kini tak lebih dari kilauan piala pemanis etalase, lambang penghargaan.
Di balik gemerlapnya, beberapa kota berpredikat peraih Adipura sampai saat ini masih bergulat dengan masalah kebersihan yang sama—sungai penuh sampah dan limbah, lingkungan kumuh tak tersentuh, hingga polusi udara yang membayangi.
Piala ini, yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan, justru memicu tanya: Apakah benar penghargaan ini setara dengan kualitas lingkungan yang nyata?
Tak sedikit yang merelakan waktu dan anggaran demi mempercantik beberapa titik, sementara area selain sampel penilaian dibiarkan tanpa perhatian.
Demi mengejar kriteria Adipura, taman kota mendadak dibersihkan, jalan utama dihias semarak gemerlapan, tampak bagus untuk penilaian, tapi kosong dalam keberlanjutan. Piala Adipura menjadi lebih seperti trofi, daripada cerminan riil komitmen atas lingkungan yang sehat dan lestari.
Jika Adipura saja bisa berujung pada ironi,
bagaimana nasib indeks-indeks lainnya yang lebih abstrak dan teknis?
Indeks apa pun namanya, semua berpotensi menjadi hiasan
formalitas belaka.
Oversimplifikasi dalam perhitungan indeks adalah masalah yang kerap muncul, di mana indikator-indikator sederhana dianggap cukup untuk mencerminkan kompleksitas kinerja organisasi. Padahal, kinerja nyata jauh lebih rumit daripada sekadar tabel berisi angka.
Oversimplifikasi: Kehilangan Makna Sesungguhnya
Dengan menyederhanakan kinerja menjadi sekumpulan indikator, kita mengabaikan elemen-elemen penting yang sulit dikuantifikasi, seperti komitmen, inovasi, dan dampak nyata bagi kemaslahatan negara. Alih-alih membantu memahami kinerja, oversimplifikasi justru membuat kita kehilangan makna yang sesungguhnya.
Selain itu, bias kualitas dan kuantitas semakin merusak akurasi penilaian. Dalam banyak kasus, kuantitas data lebih diutamakan daripada kualitasnya, seolah-olah semakin banyak indikator berarti semakin mendekati kebenaran.
Padahal, penekanan berlebihan pada angka tanpa memahami konteks dan kualitas hanya menghasilkan laporan yang mengesankan di permukaan, namun kosong di dalam. Bukannya mencerminkan kinerja sesungguhnya, indeks malah berfungsi sebagai kedok untuk menutupi kelemahan yang ada.
Belum lagi bicara tentang potensi manipulasi data, yang semakin merajalela seiring dengan tekanan untuk mencapai target angka yang terlihat sempurna. Demi mempertahankan citra dan memenuhi syarat-syarat indeks yang terkadang hanya pemenuhan administrasi belaka, data sering kali disesuaikan agar sesuai harapan.
Angka-angka yang awalnya dimaksudkan untuk menggambarkan realitas di lapangan menjadi manipulatif, mengaburkan fakta demi pencapaian fiktif yang lebih mudah dipamerkan dalam laporan. Pada akhirnya, indeks tak lagi berfungsi sebagai alat evaluasi yang jujur, tetapi menjadi panggung bagi permainan angka.
Ada juga isu suap untuk mendongkrak angka, yang kian memperkeruh keabsahan data. Saat ambisi untuk meraih nilai tinggi mengalahkan integritas, godaan untuk “mengamankan” skor pun menjadi nyata.
Tak sedikit yang tergoda menawarkan upeti, berharap indeks dapat sedikit dinaikkan demi harga diri. Praktik semacam ini tidak hanya mencederai semangat kompetisi, tetapi juga mengaburkan fakta, membuat angka-angka dalam indeks menjadi lebih sulit dipercaya.
Inkonsistensi Penilaian dan Pemborosan Anggaran
Ketidaksamaan persepsi antara penilai pun menjadi masalah lain yang tak kalah krusial. Tiap pihak punya pandangan berbeda tentang mana yang layak mendapat nilai tinggi, sehingga hasil penilaian sering kali menunjukkan inkonsistensi.
Apa yang dianggap baik di satu instansi belum tentu diakui di tempat lain. Ketidakselarasan ini membuat indeks terasa lebih subjektif, rentan ditafsirkan sesuai keinginan, dan semakin jauh dari tujuan awal untuk menyediakan Area of Improvement dari proses evaluasi yang andal.
Tak ketinggalan, pemborosan anggaran untuk validasi menjadi beban tambahan. Biaya yang dikeluarkan untuk memastikan angka-angka itu “benar” sering kali tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan.
Setiap tahun, dana yang besar dialokasikan untuk survei, audit, dan pertemuan, sementara rakyat jarang melihat hasilnya dalam bentuk perbaikan pelayanan. Dalam proses panjang ini, anggaran yang seharusnya digunakan untuk hal yang lebih produktif malah habis dalam alur verifikasi substantif.
Menutup dengan Refleksi: Siapa Berani Menjamin?
Gebyar anugerah pencapaian semu ini pada akhirnya hanya menjadi pemborosan uang rakyat. Trofi dan plakat penghargaan memang tampak indah, namun rakyat tetap menunggu bukti nyata.
Saat anugerah diberikan dalam acara penuh gemerlap, publik bertanya-tanya, “Mana hasilnya yang dapat kami rasakan?” Di luar gedung megah itu, penyetor pajak yang membiayai kemewahan tersebut hanya bisa mengelus dada, berharap ada perubahan yang lebih dari sekadar pencapaian simbolis.
Siapa yang berani menjamin bahwa,
Indeks Reformasi Birokrasi benar-benar mencerminkan inovasi
pelayanan berkelanjutan tiada henti?
Siapa yang berani menjamin bahwa, Indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
mampu menciptakan Satu Data Indonesia yang holistik?
Siapa yang berani menjamin bahwa,
Indeks Tata Kelola Pengadaan mampu mencegah kebocoran anggaran?
Jika indeks-indeks ini hanya berfungsi sebagai sarana kosmetik, apa sebenarnya yang sedang diukur? Apakah pencapaian sejati bisa direduksi menjadi angka minim makna?
Jika hanya sekadar memburu angka tanpa hakikat, indeks akan bernasib sama seperti Piala Adipura. Sekadar artefak logam berlapis emas yang perlahan memudar, seiring pupusnya harapan rakyat untuk mendapat manfaat optimal dari bagian perasan keringat yang disetorkan kepada para pemangku amanat.
Rule based vs principle based
Sungguh sanggat menohok dan memang sesuai dengan realita yg ada. Mantap… Saling mengingatkan untuk kebaikan. Menyala abangku 👍