Di era digital, media sosial telah menjadi platform utama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk promosi produk kesehatan. Kemudahan akses dan jangkauan yang luas membuat media sosial menjadi alat yang sangat efektif untuk pemasaran.
Tidak hanya perusahaan besar, pelaku usaha kecil hingga individu seperti influencer, memanfaatkan platform ini untuk mempromosikan produk kesehatan mereka. Namun, fenomena ini juga menimbulkan dilema etika yang serius.
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan promosi produk kesehatan oleh influencer, termasuk oleh tenaga kesehatan, yang menggunakan berbagai strategi pemasaran agar produk yang dipromosikannya laris di pasaran.
Di satu sisi, praktik ini membantu memperkenalkan produk lokal
kepada khalayak yang lebih luas, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan konsumen. Di sisi lain, semakin sering ditemukan praktik pemasaran yang tidak bertanggung jawab, seperti overclaim atau klaim berlebihan terhadap suatu produk.
Hal ini memunculkan kekhawatiran akan disinformasi yang dapat merugikan masyarakat, baik secara finansial maupun kesehatan.
Istilah overclaim berasal dari bahasa Inggris yang artinya klaim berlebihan. Dalam kaitannya dengan produk di era digital, hal ini merujuk pada promosi dan pencantuman klaim yang berlebihan terhadap suatu produk termasuk melebih-lebihkan keunggulan kandungan/ komposisi tertentu dan indikasi produk secara keseluruhan yang dapat menyesatkan masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), selama tiga tahun terakhir terdapat adanya kenaikan persentase promosi produk overclaim di media digital.
- Dalam Laporan Tahunan BPOM tahun 2023, pelanggaran iklan Obat Tradisional yang tidak memenuhi ketentuan di media digital mencapai 55,34%.
- Dari jumlah tersebut diketahui bahwa sebagian besar mencantumkan overclaim dan menyesatkan masyarakat.
- Sedangkan dari komoditi kosmetik, iklan tidak memenuhi ketentuan tahun 2023 di media digital mencapai 73,4%.
Dari gambaran data di atas, media digital tampaknya telah menjadi ladang subur bagi penyebaran overclaim produk. Platform ini menawarkan ruang yang luas untuk berkomunikasi, tetapi juga membuka peluang bagi informasi yang tidak diverifikasi untuk menyebar secara masif.
Tidak hanya sekadar berbagi edukasi,
banyak edukator kesehatan kini juga beriklan di media digital, mulai dari mempromosikan produk miliknya sendiri, hingga menjadi influencer yang dibayar untuk mempromosikan sebuah produk tertentu. Ironisnya, beberapa tenaga kesehatan, yang memiliki tingkat kepercayaan publik tinggi, juga terlibat dalam mempromosikan produk-produk tersebut.
Ditengah kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap profesi tenaga medis, dan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap influencer yang juga berprofesi sebagai tenaga kesehatan, dampak dari overclaim tidak bisa diabaikan. Di sinilah muncul pertanyaan besar:
Sejauh mana tanggung jawab dan etika seorang edukator kesehatan dalam menyampaikan informasi terutama saat mereka terlibat dalam promosi produk di era digital?
Etika dan Tanggung Jawab Edukator Kesehatan
Sebagai figur yang dipercaya masyarakat, edukator kesehatan memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang berkaitan tentang kesehatan.
Menurut laporan Global Trustworthiness Index 2024 yang dirilis oleh lembaga riset pasar Ipsos, profesi dokter mendapatkan tingkat kepercayaan sebesar 73%, menempatkannya di posisi kedua setelah guru (74%).
Hal ini mencerminkan tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap profesi tenaga medis. Kepercayaan ini menciptakan tanggung jawab besar bagi tenaga kesehatan untuk menjaga kredibilitasnya dengan memastikan bahwa setiap informasi yang diberikan berbasis bukti ilmiah dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan komersial.
Seorang edukator kesehatan memiliki keunggulan besar di era digital yaitu dibekali dengan ilmu pengetahuan yang luas serta kepercayaan tinggi dari masyarakat yang menjadikannya sebagai panutan.
Keahlian ini harus dilengkapi dengan kemampuan komunikasi yang efektif dan pemahaman psikologis yang mendalam sehingga edukator mampu membujuk dan menginspirasi masyarakat untuk mengadopsi perilaku sehat yang sesuai dengan rekomendasi kesehatan.
Tidak dipungkiri saat ini banyak tenaga kesehatan yang gencar mempromosikan produk di media digital. Sebagai contoh, masih banyak dokter influencer yang juga beriklan produk kesehatan.
Padahal, fatwa etik Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah melarang dokter melakukan promosi produk kesehatan kecuali layanan masyarakat. Seorang dokter juga tidak boleh menjanjikan sesuatu termasuk memberikan informasi overclaim suatu produk dapat menjanjikan kesembuhan, kecantikan atau kebugaran.
Sebenarnya, BPOM telah mengatur dengan jelas ketentuan beriklan produk kesehatan seperti obat bahan alam, suplemen kesehatan dan kosmetik melalui PerBPOM No.34/2022 dan No.18/2024 bahwa bahwa iklan haruslah memenuhi 3 syarat utama yaitu objektif, lengkap dan tidak menyesatkan.
- Masih dalam peraturan BPOM tersebut, iklan tidak boleh diperankan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Adapun pemeran iklan tidak diperbolehkan berperan sebagai tenaga kesehatan atau tenaga medis;
- pemeran iklan tidak boleh menggunakan atribut profesi kesehatan, baik secara jelas maupun tersamar atau mencantumkan identitas profesi kesehatan.
- Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga integritas tenaga kesehatan sekaligus melindungi masyarakat dari klaim yang berpotensi menyesatkan.
Dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap influencer yang juga berprofesi sebagai tenaga kesehatan, dampak dari overclaim memang tidak bisa diabaikan. Overclaim produk tidak hanya menimbulkan masalah etika dan pelanggaran tenaga kesehatan tetapi juga memiliki berbagai dampak negatif yang signifikan terhadap masyarakat.
Menyesatkan Masyarakat
Promosi dengan klaim berlebihan seringkali menyesatkan masyarakat yang menganggap suatu produk yang diiklankan mempunyai komposisi dan klaim indikasi seperti yang disampaikan di media digital. Hal ini menimbulkan risiko terhadap penggunaan produk yang berpotensi merugikan kesehatan.
Produk yang dipromosikan dapat menyembuhkan segala penyakit atau memberikan hasil instan seringkali tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Penggunaan produk semacam itu tanpa konsultasi medis dapat memperburuk kondisi kesehatan atau bahkan menimbulkan efek samping berbahaya.
Sebagai tenaga kesehatan yang memanfaatkan penggunaan media digital, sudah sepantasnya tetap berpegang kepada regulasi yang berlaku, alih-alih memanfaatkan profesinya untuk menjaring konsumen.
Prinsip edukator kesehatan untuk mengubah perilaku dan pola hidup sehat harus menjadi prioritas utama termasuk dalam memilih produk kesehatan yang benar. Dengan edukasi yang tepat, masyarakat akan lebih kritis dalam memilih produk sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan yang mengedukasi di media digital semakin meningkat.
Edukasi ini tentunya mencakup pemilihan produk kesehatan yang sesuai dengan data ilmiah dan bukti yang valid.
Dengan edukasi yang berbasis data ilmiah, masyarakat dapat lebih kritis dalam memilih produk, memahami manfaat serta risikonya, dan akhirnya mengembalikan tingkat kepercayaan kepada tenaga kesehatan yang aktif mengedukasi di media sosial.
Edukator kesehatan harus menjadikan integritas profesi sebagai prioritas agar edukasi yang diberikan menjadi pilar dalam membangun masyarakat yang sehat dan berdaya.
Tenaga kesehatan yang memanfaatkan media digital
harus berpegang teguh pada prinsip etika dan regulasi yang berlaku. Edukasi berbasis data ilmiah harus menjadi prioritas utama dalam menyampaikan informasi.
Sebagai agen perubahan, tenaga kesehatan memiliki kemampuan membujuk dan menginspirasi masyarakat untuk mengadopsi perilaku hidup sehat. Namun, keahlian ini harus digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab.
Mengintegrasikan keahlian medis dengan kemampuan komunikasi yang efektif menjadi kunci utama. Edukator kesehatan harus mampu menyampaikan informasi yang mudah dipahami tanpa mengorbankan akurasi dan validitas keilmuan yang disampaikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, mereka dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat tanpa melanggar kode etik profesi.
Epilog: Sinergi Semua Pihak
Mengatasi fenomena ini membutuhkan sinergi berbagai pihak. Dari sisi pemerintah, regulasi dan pengawasan terhadap promosi dan iklan perlu diperkuat termasuk sanksi tegas bagi pelanggar. Sistem pelaporan juga perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat berpartipasi menyaring iklan di media digital.
Asosiasi kesehatan perlu terlibat memberikan sosialisasi kepada tenaga kesehatan tentang pentingnya etika dan tanggung jawab dalam memanfaatkan media digital secara profesional. Tenaga Kesehatan perlu didorong agar mematuhi kode etik profesinya dan menjadikan edukasi berbasis data dan kajian ilmiah sebagai acuan menyebarkan informasi ke masyarakat.
Selain regulasi, peningkatan literasi digital masyarakat menjadi langkah strategis dalam menghadapi overclaim. Masyarakat yang melek informasi akan lebih kritis dalam memilih produk dan tidak mudah terpengaruh oleh klaim berlebihan. Edukasi ini harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari tenaga kesehatan, institusi pendidikan, hingga komunitas masyarakat.
Platform media digital juga berperan penting menjaga ekosistem digital dengan menyaring konten promosi sesuai dengan regulasi di Indonesia. Dengan menggunakan teknologi seperti algoritma kecerdasan buatan, platform dapat menyaring konten promosi yang tidak sesuai regulasi.
Transparansi dalam iklan juga harus ditingkatkan agar masyarakat dapat membedakan antara edukasi dan promosi dengan klaim berlebihan, selain itu sistem layanan pengaduan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dengan sinergi ini, dapat tercipta ekosistem digital yang lebih sehat, di mana edukasi kesehatan menjadi prioritas, promosi produk dilakukan secara etis, dan masyarakat terlindungi dari dampak negatif overclaim.
Pada akhirnya, menjaga kepercayaan publik adalah kunci untuk membangun hubungan yang kuat antara tenaga kesehatan dan masyarakat di era digital.
0 Comments