Dalam konteks tatanan normal baru (new normal) di birokrasi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 58 tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai ASN dalam Tatanan Normal Baru, tertanggal 29 Mei 2020. Dalam SE tersebut, Kemenpan RB terlihat memberikan fleksibilitas kepada Kementerian/Lembaga/Daerah (K/L/D) untuk menentukan Pegawai ASN yang dapat melaksanakan tugas kedinasan di rumah/tempat tinggal (work from home), dengan mempertimbangkan 10 (sepuluh) kriteria berikut:
Selain menetapkan kriteria di atas, Kemenpan RB mengingatkan agar pada instansi yang berada di lokasi PSBB, tugas kedinasan di kantor (work from ofice) dilaksanakan dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan dan mempertimbangkan jumlah pejabat/pegawai yang berada di kantor agar tetap minimal.
Menghindari One size Fits All
Menurut saya, apa yang disampaikan Menpan RB dengan memberikan fleksibilitas kepada masing-masing K/L/D sudah tepat. Kebijakan tersebut juga perlu mendapat apresiasi karena pengaturan yang memberikan ruang fleksibilitas kepada K/L/D adalah semangat baru mengikuti gelombang perubahan administrasi global yang dibungkus dalam kerangka teori New Publlic Management.
Sebagai principal yang akan mengimplementasikan kebijakan, Pimpinan K/L/D diminta untuk melakukan self-assessment atas kesiapan infra- dan supra-struktur masing-masing. Pimpinan K/L/D harus menimbang dan memutuskan apa yang benar, baik dan tepat untuk menjalankan roda organisasi di tengah situasi mengendalikan pandemi.
Tentu ini tidak mudah, tetapi kebijakan ini mendorong adanya peran aktif K/L/D dalam menerjemahkan komando pusat pembuat kebijakan aparatur negara.
Dari yang selama ini passif/inferior, pengguna kebijakan dituntut menjadi mitra dalam horizontal maupun vertikal jejaring yang lebih luas.
K/L/D juga menjadi kreatif inovatif untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan aktif melakukan benchmark ke instansiK/L/D lainnya.
The new normal administrative approach ini juga akan mendorong adanya sharing akuntabilitas antara Istana, menteri yang mengkoordinir kebijakan ASN, serta para Pejabat Pembina Kepegawaian pada K/L/D. Ini sangat bagus sekali sebagai tatanan kerja baru yang mendorong adanya komunikasi intensif antara para pembuat dan pengguna kebijakan. Feedback loops akan terbangun menuju praktek terbaik di masing-masing K/L/D.
Para Birokrat dan Masyarakat Pengguna Layanan akan semakin aktif melakukan komparasi dan memberikan masukan kondisi di lapangan. Serta yang paling utama memahami bahwa pendekatan new normal adalah sesuatu yang kontekstual, bukan mekanistik.
Ada ruang perbedaan praktik (convergency) yang disesuaikan dengan konteks situasi, kesiapan, fokus dan kemampuan leadership masing-masing K/L/D. Tentu saja, tidak akan mudah dalam prakteknya, akan ada variasi yang favorable dan unfavorable. Bahkan, ada potensi dilema dalam pengambilan keputusan pada masing-masing K/L/D.
Dilema Penentuan WFH dan WFO
Menelaah lebih lanjut kriteria ASN yang dapat melakukan WFH pada pengantar di atas, terlihat beberapa kriteria tidak memerlukan pertimbangan yang terlalu banyak seperti: jenis pekerjaan, kondisi kesehatan ASN dan keluarga, tempat tinggal, status PSBB, riwayat perjalanan dan interaksi pegawai.
Kriteria tersebut lebih kepada pengumpulan informasi dari pada menjadi kriteria utama dalam memutuskan WFO dan porsi pegawai yang akan bertugas di-deploy ke kantor. Misalnya, jika nyata-nyata ada riwayat perjalanan dari daerah episentrum COVID-19 (daerah zona merah) tentunya disarankan WFH bahkan melakukan isolasi mandiri sesuai protokol. Atau pegawai yang ada riwayat penyakit atau keluarga menjadi pasien COVID-19 tentunya perlu lebih fokus ke pemulihan.
Namun, untuk kriteria seperti “hasil penilaian kinerja pegawai”, “kompetensi pegawai dalam mengoperasikan system dan teknologi informasi”, dan juga “efektivitas pelaksanaan tugas dan pelayanan unit organisasi”, menurut saya sangat subjektif sekali. Dimensi pertimbangannya menjadi sangat luas.
Kita ambil contoh kriteria ‘penilaian kinerja pegawai’, jika tidak hati-hati ukurannya bisa jadi menyesatkan. Selama melaksanakan WFH dalam masa pandemi contohnya, banyak ASN yang menyesuaikan diri dengan metode bekerja dari rumah, baik penyesuaian psikologis maupun ketersediaan infrastruktur.
Belum lagi perubahan komunikasi tatap muka dengan komunikasi daring dapat mendistorsi pesan atau arahan yang diterima. Dengan demikian, suatu niat bekerja dengan tulus dapat saja terdistorsi dalam sebuah penilaian kinerja karena adanya hambatan nyata.
Kriteria kompetensi juga menjadi kontra-produktif, karena seolah menjadi punishment untuk mereka yang dipandang tidak mampu. Harus disadari, terutama di generasi sebelum millennial, kemampuan IT tidak menjadi karakter yang utama. Alih-laih menjadi hukuman, keterbatasan ini menjadi tanggung jawab organisasi untuk memperbaikinya.
Dalam prakteknya, pengalaman saya, sentuhan para senior yang gagap teknologi (tidak sengaja) ini sering sekali justru bersifat humanis sebagai penyeimbang transisi kerja di era disrupsi IT.
Mereka tidak terbiasa menyapa dengan emoji atau stiker, lebih nyaman menyapa dengan tulus yang lebih berefek keterikatan relasi. Hal demikian sebetulnya dapat menjadi asset berharga bagiorganisasi. Di sisi lain, bisa juga ketidakmampuan IT justru karena aplikasi yang tersedia masih kurang user friendly.
Kriteria terakhir yang sangat penting dan memerlukan banyak pertimbangan adalah “efektivitas pelaksanaan tugas dan pelayanan unit organisasi”. Elemen ini sangat subjektif dan seringkali sulit diukur. Bahkan saat kondisi normal pun, bagi beberapa organisasi, untuk menilai efektivitas organisasi ini pun memiliki kesulitan yang luar biasa.
Sepertinya para rekan-rekan di Menpan RB sengaja membuat ini menjadi kriteria terakhir, karena adanya “perdebatan” yang sengit untuk memasukkan kriteria ini. Pada ekstrim lain, kriteria ini bisa jadi kriteria yang utama bagi beberapa leaders.
At any cost, mau tidak mau, “pokoke” organisasi harus jalan dan pelayanan harus tetap dibuka. Tapi seberapa banyak ASN yang harus melaksanakan WFO itu akan menjadi regresi utama karakter masing-masing instansi. Aspek kepemimpinan dan kultur di masing-masing K/L/D menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan ini.
Ketiga elemen di atas menurut saya perlu mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan supaya sesuai kondisi institusi masing-masing.
Bahkan di forum diskusi pegiat Birokrat Menulis active writers, ada juga yang menambahkan pemikiran bagaimana dengan para Ibu yang harus memperhatikan kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anak, yang pada konteks ketimuran saat ini secara umum masih melakukan peran ganda. Kebijakan yang bernuansa kesetaraan gender perlu menjadi tambahan elemen dalam kriteria.
Memang, mencari kriteria yang ideal itu tidak mudah. Kiranya opini singkat ini menambah perspektif buat para pengambil keputusan.
Epilog
Bagi saya, Kemenpan RB telah menyerukan new normal sebagai sistem kerja baru yang disampaikan dengan elegan melalui pendekatan New “Normal” Public Management. Ke depan, masing-masing K/L/D diminta mengimplementasikan dan melaporkan evaluasi kebijakan dimaksud.
Saya yakin, telah banyak instansi yang siap secara infra dan suprastruktur. Begitu juga masih terdapat beberapa instansi yang mungkin masih akan pasif menunggu sambil belajar dan mencari tahu bentuk terbaik dari instansi lainnya.
Pendapat saya di atas tentu saja sangat subjektif, perlu dan akan diuji pada periode minggu-minggu ini. Mari kita nantikan respon para K/L/D.
Selamat datang di era normal baru!
0 Comments