Dilarang Kaget: Budaya Risiko yang Layu Sebelum Berkembang

by Ditya Permana ◆ Professional Writer | May 19, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

 

Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional sudah hampir berusia 2 tahun sejak disahkan tanggal  16 Juni 2023. 

Dengan hadirnya regulasi tersebut, para pegiat manajemen risiko tentu memiliki ekspektasi tinggi  terhadap potensi manfaat yang dapat disumbangkan dari praktik manajemen  risiko yang baik dalam membangun negara. 

Namun, sepertinya harapan itu  masih jauh panggang dari api. Padahal, yang diminta bukan sekadar  implementasi, namun sampai kepada bagaimana manajemen risiko  melembaga dan membudaya dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa.  

Kecewa? Tentu.
Sebab, saya adalah salah satu yang antusias menyambut kebijakan tersebut. 

Terlebih ketika indikator sederhana yang saya jadikan patokan,  belum terlihat sampai dengan saat ini, padahal hanya terdiri dari dua kata:  Dilarang Kaget.  

Budaya Risiko adalah DNA Organisme

Seperti DNA yang menentukan karakter suatu organisme, budaya risiko— menurut Institute of Risk Management (IRM, 2012)—adalah rangkaian nilai,  sikap, dan kebiasaan kolektif yang membentuk cara sebuah organisasi (atau  negara) merespons ketidakpastian. 

Jika organisasi dianggap sebagai kapal  besar: prosedur keselamatan hanyalah alat,
tetapi yang menentukan apakah  kapal itu selamat menerjang badai adalah mentalitas nakhoda dan awaknya.  Namun di Indonesia, kita terlalu sering melihat “nakhoda” yang justru terkejut ketika  badai datang—padahal tanda-tandanya sudah terlihat di radar.  

Dalam teori manajemen risiko, yang disebut risiko bukanlah bencana yang  tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan sesuatu yang bisa dipetakan—minimal  diduga—melalui indikator awal. 

Tapi lihatlah bagaimana kasus kebocoran data  BPJS atau tumpahan minyak Pertamina berlarut-larut: pemimpin baru bergerak setelah masalah menjadi krisis. 

Ini bukan soal kurang regulasi, melainkan  budaya pengabaian sinyal lemah (weak signals). Padahal, DNA yang rusak bisa  memicu mutasi sel berbahaya, atau dalam hal ini, budaya risiko yang buruk  melahirkan organisasi yang rentan krisis.  

Mengapa “dilarang kaget” penting? Karena ketenangan pemimpin saat  menghadapi kabar buruk adalah bukti bahwa risiko sudah diantisipasi, atau  setidaknya ada mekanisme adaptasi yang cepat. 

Sri Mulyani tidak kaget ketika  disebutkan Indonesia berpotensi krisis utang seperti Sri Lanka—beliau  langsung merilis data dan penjelasan. Berbeda dengan kebanyakan pejabat  yang justru menyangkal kebocoran data atau skandal korupsi sampai bukti tak  terbantahkan muncul. 

Kematangan budaya risiko dimulai dari pucuk pimpinan  yang tidak menganggap kabar buruk sebagai aib, tetapi sebagai alarm untuk  bertindak.  

Tentang Dealing with Bad News : Anatomi Pemimpin “Kagetan”

Pemimpin “kagetan” punya pola khas yang mudah dikenali.  

  • Pertama, mereka sering terjebak dalam sindrom “nanti saja”,  menganggap masalah kecil tidak perlu segera ditangani. Pernah terdengar  kasus, laporan retakan di dinding sekolah dibiarkan menumpuk selama  berbulan-bulan, hingga akhirnya bangunan itu roboh di tengah jam pelajaran.  
  • Kedua, ada budaya “tembok bambu” di sekitar mereka—informasi  buruk dihalangi sebelum sampai ke meja pimpinan. Staf sampai dengan  manajer kelas menengah terbiasa menyaring laporan lapangan yang  dianggap “terlalu negatif” sebelum sampai ke tangan pucuk pimpinan.  Semua diselesaikan di bawah, meski solusi hanya perbaikan atas gejala,  bukan ke akar masalah.  
  • Ketiga, ketika akhirnya meledak, reaksi pertama biasanya  mencari kambing hitam, bukan solusi. Seperti kejadian di  pelabuhan saat antrian truk mengular, yang berujung pada saling  tuduh antarinstansi alih-alih koordinasi penanganan.

Perhatikan, polanya selalu sama: masalah kecil diabaikan (atau  disembunyikan), berkembang jadi krisis, pemimpin terkejut, lalu panik  mengambil keputusan yang seringkali justru memperparah keadaan. 

Yang jadi pertanyaan adalah mengapa budaya seperti ini sulit diubah?  Jawabnya, karena kita belum lepas dari bayang-bayang orde baru: 

ABS alias Asal Bapak Senang. 

Kalau dirunut lebih dalam lagi, sistem yang ada dan masih dipelihara membuat  orang lebih memilih diam daripada jujur melaporkan masalah. Seakan, ada  ketakutan berlebih kalau reputasi ternoda. 

Mekanisme pelaporan juga tidak  dirancang untuk melindungi pembawa kabar buruk. Yang paling berbahaya,  pemimpin kagetan biasanya dikelilingi oleh para “yes man” yang lebih pandai  merapikan laporan daripada menyampaikan realita. 

Pada akhirnya, organisasi  menjadi seperti kapal yang baru sadar ada gunung es ketika haluan sudah  terlambat dibelokkan. 

Membangun Kultur “Dilarang Kaget”: Dari Retorika ke Ritual Harian 

Budaya “dilarang kaget” tidak muncul dengan sendirinya. Budaya harus dibangun melalui serangkaian tindakan sistematis yang mengubah cara  organisasi merespons informasi.  Saya coba himpun tips atau langkah-langkah yang bisa diterapkan: 

  • Pertama, ciptakan mekanisme pelaporan yang aman dan tanpa konsekuensi  negatif. Sistem harus memungkinkan setiap anggota organisasi—dari level  terendah hingga tertinggi—untuk menyampaikan potensi risiko tanpa takut dihukum atau dianggap sebagai pembuat masalah. Sistem ini dapat berupa  kanal khusus yang terproteksi, atau kebijakan formal yang menjamin  perlindungan bagi pelapor. 
  • Kedua, bangun kebiasaan membahas risiko dalam setiap pengambilan  keputusan. Setiap rapat strategis harus menyisihkan waktu khusus untuk  mengevaluasi “apa yang mungkin salah” dari rencana yang sedang disusun.  Bukan sekadar formalitas, melainkan pembahasan mendalam yang  menghasilkan rencana cadangan. Kemudian, rekam seluruh “what-if” tersebut  dalam suatu kerangka manajemen risiko yang terintegrasi dengan proses  bisnis dan manajemen kinerja. 
  • Ketiga, latih kemampuan antisipasi melalui simulasi krisis. Berbagai skenario  terburuk harus dipraktikkan secara berkala, bukan untuk menakut-nakuti,  tetapi agar respons menjadi refleks alami ketika situasi nyata terjadi. Simulasi  ini juga membantu mengidentifikasi celah dalam sistem yang mungkin tidak  terlihat selama kondisi normal. 
  • Keempat, ubah sistem penilaian kinerja. Alih-alih hanya menghargai  keberhasilan, berikan apresiasi kepada mereka yang berani mengidentifikasi  risiko sejak dini. Kriteria “kinerja baik” harus mencakup kemampuan  mengantisipasi masalah, bukan sekadar menyelesaikan tugas tepat waktu. 
  • Kelima, kembangkan budaya belajar dari kesalahan. Setiap insiden atau krisis  harus ditindaklanjuti dengan analisis mendalam untuk menemukan akar  masalah, bukan sekadar mencari kambing hitam. Kalau perlu, mulailah  mengganti istilah laporan kejadian atau “incident report” menjadi “lesson learned database”. Hasilnya dibagikan ke seluruh organisasi sebagai bahan  pembelajaran bersama.
  • Keenam, pimpin dengan contoh. Budaya tidak akan berubah jika pucuk  pimpinan masih menunjukkan reaksi negatif terhadap kabar buruk. Pemimpin  harus secara konsisten mendemonstrasikan sikap tenang dan solutif ketika  menerima informasi tidak menyenangkan, sehingga menciptakan efek  menular ke seluruh organisasi. Tidak perlu marah-marah lempar asbak tanpa  solusi.  

Yang paling penting, semua ini harus dilakukan secara konsisten—bukan  sebagai proyek sesaat, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari DNA  organisasi. 

Perubahan tidak terjadi dalam semalam, tetapi setiap langkah kecil  yang konsisten akan mengarah pada transformasi budaya yang hakiki. Ingat,  warisan ABS ibarat penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan dengan obat  generik. 

“Dilarang Kaget” dalam Perspektif Iman – Bersahabat dengan Takdir 

Kalau mau contoh yang lebih nyata, sebenarnya Islam telah mengajarkan kita  untuk bermanajemen risiko dengan menerima takdir, tetapi bukan dengan  pasrah membabi buta. 

Justru, budaya “dilarang kaget” adalah bentuk nyata  dari tawakal yang benar – di mana ikhtiar antisipasi dilakukan semaksimal  mungkin, sebelum kemudian berserah diri kepada ketetapan Allah. 

Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam menafsirkan mimpi raja tentang tujuh tahun  kelimpahan dan tujuh tahun paceklik, beliau tidak hanya berdoa. Langkah  konkret dibuat: membangun lumbung, menghitung stok, menyiapkan sistem  distribusi. Inilah prototype sempurna dari manajemen risiko berbasis tauhid.  

Dalam konteks kepemimpinan modern, pemimpin yang “tidak kagetan” justru  yang paling mendalam imannya kepada takdir. Mereka paham bahwa: 

  1. Setiap ujian sudah tertulis, tapi kesiapan menghadapinya adalah pilihan.
  2. Masalah adalah bagian dari rencana Ilahi, tapi cara menyikapinya ujian  keimanan. 
  3. Kegagalan boleh terjadi, tapi kelalaian dalam persiapan adalah dosa. Ingat, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka  mengubah diri mereka sendiri.” 
  4. Kultur “dilarang kaget” adalah bentuk  perubahan diri kolektif itu – di mana tawakal bukan alasan untuk pasif, tetapi  motivasi untuk berikhtiar lebih sistematis.

Di sinilah kita menemukan paradoks indah: justru dengan menyiapkan the worst  case scenario, hati menjadi lebih tenang. Dengan memetakan risiko, kita  belajar membaca “tanda-tanda” yang Allah tebarkan di sepanjang jalan.  

Pemimpin bijak adalah yang seperti Nabi Nuh –
membangun bahtera sebelum  air hujan turun berlimpah, karena yakin akan janji Allah sekaligus paham akan  tanggung jawab sebagai khalifah. Maka, mari bangun budaya ini bukan sekadar sebagai strategi organisasi, tetapi  sebagai bentuk ibadah. Sebab dalam perspektif tauhid, “dilarang kaget” bukan  berarti tidak percaya takdir. 

Justru, kesiapan menghadapi masalah adalah bukti  kepercayaan bahwa Allah telah memberikan kita akal untuk membaca tanda,  hati untuk merasa, dan tangan untuk bertindak – sebelum segalanya terjadi.

2
0
Ditya Permana ◆ Professional Writer

Ditya Permana ◆ Professional Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post