
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional sudah hampir berusia 2 tahun sejak disahkan tanggal 16 Juni 2023.
Dengan hadirnya regulasi tersebut, para pegiat manajemen risiko tentu memiliki ekspektasi tinggi terhadap potensi manfaat yang dapat disumbangkan dari praktik manajemen risiko yang baik dalam membangun negara.
Namun, sepertinya harapan itu masih jauh panggang dari api. Padahal, yang diminta bukan sekadar implementasi, namun sampai kepada bagaimana manajemen risiko melembaga dan membudaya dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Kecewa? Tentu.
Sebab, saya adalah salah satu yang antusias menyambut kebijakan tersebut.
Terlebih ketika indikator sederhana yang saya jadikan patokan, belum terlihat sampai dengan saat ini, padahal hanya terdiri dari dua kata: Dilarang Kaget.
Budaya Risiko adalah DNA Organisme
Seperti DNA yang menentukan karakter suatu organisme, budaya risiko— menurut Institute of Risk Management (IRM, 2012)—adalah rangkaian nilai, sikap, dan kebiasaan kolektif yang membentuk cara sebuah organisasi (atau negara) merespons ketidakpastian.
Jika organisasi dianggap sebagai kapal besar: prosedur keselamatan hanyalah alat,
tetapi yang menentukan apakah kapal itu selamat menerjang badai adalah mentalitas nakhoda dan awaknya. Namun di Indonesia, kita terlalu sering melihat “nakhoda” yang justru terkejut ketika badai datang—padahal tanda-tandanya sudah terlihat di radar.
Dalam teori manajemen risiko, yang disebut risiko bukanlah bencana yang tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan sesuatu yang bisa dipetakan—minimal diduga—melalui indikator awal.
Tapi lihatlah bagaimana kasus kebocoran data BPJS atau tumpahan minyak Pertamina berlarut-larut: pemimpin baru bergerak setelah masalah menjadi krisis.
Ini bukan soal kurang regulasi, melainkan budaya pengabaian sinyal lemah (weak signals). Padahal, DNA yang rusak bisa memicu mutasi sel berbahaya, atau dalam hal ini, budaya risiko yang buruk melahirkan organisasi yang rentan krisis.
Mengapa “dilarang kaget” penting? Karena ketenangan pemimpin saat menghadapi kabar buruk adalah bukti bahwa risiko sudah diantisipasi, atau setidaknya ada mekanisme adaptasi yang cepat.
Sri Mulyani tidak kaget ketika disebutkan Indonesia berpotensi krisis utang seperti Sri Lanka—beliau langsung merilis data dan penjelasan. Berbeda dengan kebanyakan pejabat yang justru menyangkal kebocoran data atau skandal korupsi sampai bukti tak terbantahkan muncul.
Kematangan budaya risiko dimulai dari pucuk pimpinan yang tidak menganggap kabar buruk sebagai aib, tetapi sebagai alarm untuk bertindak.
Tentang Dealing with Bad News : Anatomi Pemimpin “Kagetan”
Pemimpin “kagetan” punya pola khas yang mudah dikenali.
- Pertama, mereka sering terjebak dalam sindrom “nanti saja”, menganggap masalah kecil tidak perlu segera ditangani. Pernah terdengar kasus, laporan retakan di dinding sekolah dibiarkan menumpuk selama berbulan-bulan, hingga akhirnya bangunan itu roboh di tengah jam pelajaran.
- Kedua, ada budaya “tembok bambu” di sekitar mereka—informasi buruk dihalangi sebelum sampai ke meja pimpinan. Staf sampai dengan manajer kelas menengah terbiasa menyaring laporan lapangan yang dianggap “terlalu negatif” sebelum sampai ke tangan pucuk pimpinan. Semua diselesaikan di bawah, meski solusi hanya perbaikan atas gejala, bukan ke akar masalah.
- Ketiga, ketika akhirnya meledak, reaksi pertama biasanya mencari kambing hitam, bukan solusi. Seperti kejadian di pelabuhan saat antrian truk mengular, yang berujung pada saling tuduh antarinstansi alih-alih koordinasi penanganan.
Perhatikan, polanya selalu sama: masalah kecil diabaikan (atau disembunyikan), berkembang jadi krisis, pemimpin terkejut, lalu panik mengambil keputusan yang seringkali justru memperparah keadaan.
Yang jadi pertanyaan adalah mengapa budaya seperti ini sulit diubah? Jawabnya, karena kita belum lepas dari bayang-bayang orde baru:
ABS alias Asal Bapak Senang.
Kalau dirunut lebih dalam lagi, sistem yang ada dan masih dipelihara membuat orang lebih memilih diam daripada jujur melaporkan masalah. Seakan, ada ketakutan berlebih kalau reputasi ternoda.
Mekanisme pelaporan juga tidak dirancang untuk melindungi pembawa kabar buruk. Yang paling berbahaya, pemimpin kagetan biasanya dikelilingi oleh para “yes man” yang lebih pandai merapikan laporan daripada menyampaikan realita.
Pada akhirnya, organisasi menjadi seperti kapal yang baru sadar ada gunung es ketika haluan sudah terlambat dibelokkan.
Membangun Kultur “Dilarang Kaget”: Dari Retorika ke Ritual Harian
Budaya “dilarang kaget” tidak muncul dengan sendirinya. Budaya harus dibangun melalui serangkaian tindakan sistematis yang mengubah cara organisasi merespons informasi. Saya coba himpun tips atau langkah-langkah yang bisa diterapkan:
- Pertama, ciptakan mekanisme pelaporan yang aman dan tanpa konsekuensi negatif. Sistem harus memungkinkan setiap anggota organisasi—dari level terendah hingga tertinggi—untuk menyampaikan potensi risiko tanpa takut dihukum atau dianggap sebagai pembuat masalah. Sistem ini dapat berupa kanal khusus yang terproteksi, atau kebijakan formal yang menjamin perlindungan bagi pelapor.
- Kedua, bangun kebiasaan membahas risiko dalam setiap pengambilan keputusan. Setiap rapat strategis harus menyisihkan waktu khusus untuk mengevaluasi “apa yang mungkin salah” dari rencana yang sedang disusun. Bukan sekadar formalitas, melainkan pembahasan mendalam yang menghasilkan rencana cadangan. Kemudian, rekam seluruh “what-if” tersebut dalam suatu kerangka manajemen risiko yang terintegrasi dengan proses bisnis dan manajemen kinerja.
- Ketiga, latih kemampuan antisipasi melalui simulasi krisis. Berbagai skenario terburuk harus dipraktikkan secara berkala, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi agar respons menjadi refleks alami ketika situasi nyata terjadi. Simulasi ini juga membantu mengidentifikasi celah dalam sistem yang mungkin tidak terlihat selama kondisi normal.
- Keempat, ubah sistem penilaian kinerja. Alih-alih hanya menghargai keberhasilan, berikan apresiasi kepada mereka yang berani mengidentifikasi risiko sejak dini. Kriteria “kinerja baik” harus mencakup kemampuan mengantisipasi masalah, bukan sekadar menyelesaikan tugas tepat waktu.
- Kelima, kembangkan budaya belajar dari kesalahan. Setiap insiden atau krisis harus ditindaklanjuti dengan analisis mendalam untuk menemukan akar masalah, bukan sekadar mencari kambing hitam. Kalau perlu, mulailah mengganti istilah laporan kejadian atau “incident report” menjadi “lesson learned database”. Hasilnya dibagikan ke seluruh organisasi sebagai bahan pembelajaran bersama.
- Keenam, pimpin dengan contoh. Budaya tidak akan berubah jika pucuk pimpinan masih menunjukkan reaksi negatif terhadap kabar buruk. Pemimpin harus secara konsisten mendemonstrasikan sikap tenang dan solutif ketika menerima informasi tidak menyenangkan, sehingga menciptakan efek menular ke seluruh organisasi. Tidak perlu marah-marah lempar asbak tanpa solusi.
Yang paling penting, semua ini harus dilakukan secara konsisten—bukan sebagai proyek sesaat, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari DNA organisasi.
Perubahan tidak terjadi dalam semalam, tetapi setiap langkah kecil yang konsisten akan mengarah pada transformasi budaya yang hakiki. Ingat, warisan ABS ibarat penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan dengan obat generik.
“Dilarang Kaget” dalam Perspektif Iman – Bersahabat dengan Takdir
Kalau mau contoh yang lebih nyata, sebenarnya Islam telah mengajarkan kita untuk bermanajemen risiko dengan menerima takdir, tetapi bukan dengan pasrah membabi buta.
Justru, budaya “dilarang kaget” adalah bentuk nyata dari tawakal yang benar – di mana ikhtiar antisipasi dilakukan semaksimal mungkin, sebelum kemudian berserah diri kepada ketetapan Allah.
Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam menafsirkan mimpi raja tentang tujuh tahun kelimpahan dan tujuh tahun paceklik, beliau tidak hanya berdoa. Langkah konkret dibuat: membangun lumbung, menghitung stok, menyiapkan sistem distribusi. Inilah prototype sempurna dari manajemen risiko berbasis tauhid.
Dalam konteks kepemimpinan modern, pemimpin yang “tidak kagetan” justru yang paling mendalam imannya kepada takdir. Mereka paham bahwa:
- Setiap ujian sudah tertulis, tapi kesiapan menghadapinya adalah pilihan.
- Masalah adalah bagian dari rencana Ilahi, tapi cara menyikapinya ujian keimanan.
- Kegagalan boleh terjadi, tapi kelalaian dalam persiapan adalah dosa. Ingat, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.”
- Kultur “dilarang kaget” adalah bentuk perubahan diri kolektif itu – di mana tawakal bukan alasan untuk pasif, tetapi motivasi untuk berikhtiar lebih sistematis.
Di sinilah kita menemukan paradoks indah: justru dengan menyiapkan the worst case scenario, hati menjadi lebih tenang. Dengan memetakan risiko, kita belajar membaca “tanda-tanda” yang Allah tebarkan di sepanjang jalan.
Pemimpin bijak adalah yang seperti Nabi Nuh –
membangun bahtera sebelum air hujan turun berlimpah, karena yakin akan janji Allah sekaligus paham akan tanggung jawab sebagai khalifah. Maka, mari bangun budaya ini bukan sekadar sebagai strategi organisasi, tetapi sebagai bentuk ibadah. Sebab dalam perspektif tauhid, “dilarang kaget” bukan berarti tidak percaya takdir.
Justru, kesiapan menghadapi masalah adalah bukti kepercayaan bahwa Allah telah memberikan kita akal untuk membaca tanda, hati untuk merasa, dan tangan untuk bertindak – sebelum segalanya terjadi.
0 Comments