Pada suatu malam, saya sedang tidak bisa tidur, hingga akhirnya terpikir untuk mencari tayangan pertandingan sepak bola saja di televisi. Akhirnya, bertemulah saya dengan salah satu channel yang sedang menayangkan pertandingan Bundesliga, antara tuan rumah Hoffenheim melawan Bayern Munich.
Kala itu, pertandingan sedang dihentikan di sekitar menit 75. Tentu saya penasaran apa yang terjadi? Karena biasanya, pertandingan dihentikan karena terjadi kerusuhan suporter, atau kondisi lapangan yang tidak mendukung pertandingan tetap dilakukan.
Setelah beberapa menit, pertandingan kembali dilakukan. Anehnya, kedua kesebelasan malah saling mengumpan bola, seluruh pemain bahkan sampai kiper pun berkumpul di tengah lapangan! Tentu bukan hal yang lazim terjadi di sepak bola profesional.
Kamera lebih sering menyorot sesosok pria di pinggir lapangan, seseorang yang sudah terlihat tua. Belakangan saya baru tahu sosok tersebut adalah Dietmar Hopp, pemilik klub Hoffenheim. Lantas kenapa sosok itu yang jadi sorotan? Di sinilah ceritanya.
Klub Sepak Bola Level Kecamatan
Pertandingan itu dihentikan oleh wasit yang memimpin jalannya laga karena melihat pendukung Munich selaku tamu membentangkan spanduk besar yang berisi singgungan yang tidak pantas kepada pemilik Hoffenheim.
Sebagai bentuk solidaritas klub, akhirnya disepakati kedua tim tidak melanjutkan pertandingan dengan permainan normal. Kedua tim membalas protes atas tindakan tidak pantas yang dilakukan pendukung tim tamu.
Usut punya usut, ternyata kejadian ini bukan yang pertama. Pada beberapa pertandingan, pendukung tim lawan dari Hoffenheim juga melakukan hal yang sama. Bisa dibilang, Hoffenheim dan pemilik klubnya merupakan musuh bersama sebagian besar pendukung tim lawan.
Mengapa Hoffenheim, khususnya Dietmar Hopp dibenci? Hal itu tidak lepas dari perjalanan kilat klub tersebut yang menjelma dari klub amatir menjadi klub yang disegani di Bundesliga, hanya dalam waktu 18 tahun.
Turn-und Sportgemeinschaft 1899 Hoffenheim e.V., atau singkatnya disebut TSG 1899 Hoffenheim merupakan klub profesional asal Jerman yang ber-homebase di Hoffenheim, sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Sinsheim, Negara Bagian Baden-Württemberg.
Iya, pembaca tidak salah baca kok, Hoffenheim memang merupakan klub sepak wilayah bola level kecamatan – dulunya, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 3000 orang. Pada awalnya didirikan pada tahun 1899 sebagai klub gimnastik, Hoffenheim mulai terbentuk menjadi klub sepakbola pada tahun 1945.
Pada awal 1990-an, klub ini adalah tim amatir lokal yang bermain di divisi delapan Baden-Württemberg A-Liga, dan terus merangsek naik, hingga pada tahun 1996 tim itu mampu bersaing di Verbandsliga Nordbaden (V), divisi enam di level Liga Jerman.
Bergabungnya Alumni yang Suka Bermimpi
Pada awal tahun 2000, Dietmar Hopp, seorang miliarder co-founder dari perusahaan software terkemuka SAP, membeli klub tersebut. Banyak orang menyebut kedatangan Hopp sebagai ‘kembalinya sang alumni’ karena memang di masa mudanya dulu, Hoffenheim merupakan klub di mana Hopp tergabung.
Meskipun karirnya lebih bersinar ketika menjadi pengusaha, tetapi kecintaannya terhadap Hoffenheim tidak pernah pudar. Itulah yang menjadi alasannya membeli klub masa kecilnya itu.
Kontribusinya menghasilkan efek yang nyata. Di tahun yang sama, Hoffenheim berhasil dipromosikan ke divisi keempat Oberliga Baden-Württemberg. Satu tahun kemudian, Hoffenheim kembali promosi ke Regionalliga Süd (Divisi Tiga).
Meskipun mereka menempati urutan ke-13 pada musim pertama mereka di Regionalliga, tetapi kemudian meningkat secara signifikan pada tahun berikutnya, posisi kelima. Pada tahun-tahun awal kepemilikannya tersebut, Hopp berinvestasi dengan membangun fasilitas pelatihan yang canggih.
Lalu, Ia juga membangun pengembangan pemain muda di level akademi muda, dari mulai usia di bawah 12 hingga di bawah 19 tahun. Pada titik ini, Hopp percaya bahwa klub telah memperoleh fondasi dan stabilitas yang diperlukan agar klub dapat promosi ke 2.Bundesliga nantinya.
Pada tahun 2006, klub itu berusaha untuk meningkatkan kualitas pasukan dan staf teknisnya dengan mendatangkan pemain dengan pengalaman di level Bundesliga. Di antaranya Jochen Seitz dan Tomislav Marić, dan talenta muda seperti Sejad Salihović.
Di level manajer, Hopp menunjuk Ralf Rangnick, yang selama ini telah melatih tim Bundesliga seperti sebagai SSV Ulm 1846, VfB Stuttgart, Hannover 96 dan Schalke 04, untuk kontrak lima tahun.
Investasi tersebut terbayar pada musim 2006-07 dengan promosi klub ke-2 Bundesliga setelah menduduki peringkat kedua di Regionalliga Süd. Musim 2007-08 adalah musim pertama Hoffenheim mampu sampai pada level tertinggi Liga Jerman, setelah hanya bermain di 2 Bundesliga selama satu musim.
Hopp tidak tanggung-tanggung berinvestasi. Pada tahun 2007, ketika Hoffenheim masih berlaga di divisi kedua, ia membangun stadion baru berkapasitas lebih dari 30 ribu penonton, sebagai pengganti stadion sebelumnya yang bernama Dietmar-Hopp-Stadion yang berkapasitas enam ribu penonton.
Awalnya, rencana pembangunan stadion baru bernama Rhein-Neckar-Arena itu sempat dicibir karena dibangun dengan kapasitas yang terlalu besar. Bahkan penduduk Hoffenheim pun hanya sekitar tiga ribu penduduk, 10% dari kapasitas stadion itu. Akan tetapi hal itu tidak membuat Hopp ragu untuk menggelontorkan dana sekitar enam puluh juta euro.
Ia yakin bahwa nantinya Hoffenheim akan menjadi kebanggaan tidak hanya penduduk Hoffenheim saja, tetapi penduduk di sekitarnya bahkan di level dunia.
Di level tertinggi Liga Jerman, posisi Hoffenheim cukup stabil, beberapa kali berada di papan atas liga, hingga lolos ke Liga Champion. Sebuah pencapaian yang mencengangkan untuk ukuran klub yang belum lama promosi.
Hoffenheim dan Kapitalisme Jerman Barat?
Nah, sampai sejauh cerita ini mengalir, sudah terjawab kan mengapa village club ini dibenci? Nyatanya, prestasi Hoffenheim belum disambut penerimaan yang baik dari seluruh pihak. Cibiran masih datang, terutama dari beberapa pendukung klub pesaing di Bundesliga yang melabeli klub dengan sebutan kasar “corporate whores”.
Kritik ini terutama muncul dari klub yang berasal dari bekas Jerman Timur, di mana terdapat klub dengan jumlah pendukung yang lebih besar, tetapi tidak didukung dengan kekuatan finansial yang besar. Mereka memandang Hoffenheim sebagai lambang sifat tidak adil dari kapitalisme Jerman Barat.
Dalam sepakbola Jerman, masalah tradisi memang membawa banyak beban. Klub akan sering disebut oleh komentator, pemain, dan jurnalis sebagai “Traditionsverein”, menjadi lencana kehormatan.
Sebaliknya, klub-klub seperti Hoffenheim, dan yang terakhir RB Leipzig, serta pada tingkat lebih rendah, FC Ingolstadt, pada umumnya diejek sebagai klub “plastik” yang sering dicaci-maki oleh pendukung tim lawan, dan bahkan oleh pelatih dan manajer.
Yang terbaru adalah tindakan yang tidak pantas dari pendukung Munich, meneriaki Hopp dengan sebutan “Son of a Bitch”. Sebuah hal yang lucu mengingat Munich adalah klub penguasa tunggal Bundesliga selama puluhan tahun.
Mereka pun ternyata terusik dengan kemunculan dan keberadaan Hoffenheim. Sebelumnya, pendukung Dortmund melakukan aksi tak terpuji yang sama. Dengan ‘bergabungnya’ dua pendukung klub ini, maka alasan kebencian berlatar belakang soal kapitalisme menjadi tidak relevan lagi. Munich dan Dortmund merupakan dua klub raksasa Jerman yang memiliki dukungan keuangan yang kuat pula.
Penutup
Bagi saya, kebencian dengan alasan tradisi sangat tidak relevan, terutama karena upaya yang dilakukan oleh Hopp tidak bisa dibilang instan. Hopp dengan sabar membangun stabilitas di Hoffenheim, memikirkan segala sisi untuk mendukung lahirnya Hoffenheim sebagai klub yang disegani di negaranya.
Hopp menunjukkan cintanya terhadap klub masa kecilnya, klub yang ada di tanah kelahirannya, dengan mimpi yang diekstraksi menjadi visi. Masa, hal semanis ini kemudian dibenci?
Menurut Anda bagaimana pembaca?
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
0 Comments