“Lima puluh ribu lebih pertambahan kasus harian. Enam puluh sembilan ribu nyawa hilang. Rumah sakit penuh. Oksigen langka. Banyak yang isolasi mandiri, lalu mati sendirian. Vaksinasi masih jauh dari yang seharusnya. Negara sudah gagal?”. Demikian highlight data yang disampaikan dalam tulisan Okky Madasari, dengan judul Mati Perlahan di Pangkuan Negara yang dimuat di laman Jawa Pos, tanggal 17 Juli 2021.
Apa yang disampaikan oleh penulis dalam tulisannya tersebut jelas menggambarkan kekhawatiran yang juga mungkin dirasakan oleh jutaan penduduk di Indonesia yang saat ini sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 yang semakin meningkat, terutama ketika varian baru virus tersebut, varian Delta, telah memasuki Indonesia.
Varian tersebut dikonfirmasi lebih mudah dan cepat menular dibandingkan dengan varian umum lainnya. Sampai dengan tanggal 17 Juli 2021, berdasarkan data Worldometers yang diakses Sabtu, 17 Juli, pukul 16.45 WIB, Indonesia memuncaki daftar negara dengan tambahan 51.952 kasus baru.
Sedangkan di lingkup ASEAN, Indonesia tidak sendirian sebagai negara di kawasan yang sedang berjuang menghadapi pandemi ini, Thailand dan Filipina menduduki peringkat empat dan lima dunia terhadap tambahan kasus baru Covid-19. Thailand mencatatkan 10.082 kasus baru, sedangkan Filipina 6.040 kasus.
“Ternyata memang pemerintah tidak belajar dari kegagalan. Bahkan mereka tak merasa perlu untuk melakukan evaluasi, untuk mengoreksi dan mengakui kesalahan, meminta maaf, lalu menyusun strategi terbaik untuk tidak mengulang kesalahan yang sama”, demikian lanjut Okky Madasari dalam tulisannya menyikapi sikap pemerintah dalam mengantisipasi lonjakan meningkatknya kasus Covid-19 di Indonesia.
Tentunya apa yang disampaikan oleh Okky tersebut perlu disikapi secara bijak terkait kondisi yang memang dihadapi oleh seluruh negara di dunia dalam menghadapi pandemi ini.
Upaya Pemerintah untuk Menekan Lonjakan Kasus Baru
Sebagaimana dilansir Kompas.com, Senin, 3 Mei 2021, kasus Covid-19 terutama di Jakarta mulai melonjak sejak awal Juni 2021. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kala itu menyebut lonjakan kasus Covid-19 disebabkan oleh aktivitas mudik dan silaturahmi saat libur Lebaran 2021. Namun, selain itu Pemprov DKI juga menyebut bahwa penyebab lonjakan bukan hanya kasus transmisi lokal, tetapi juga karena adanya 20 kasus virus corona varian Delta yang teridentifikasi dari perjalanan orang keluar negeri atau kasus impor.
Terhadap lonjakan kasus tersebut pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagaimana dikutip dari laman mediaindonesia.com, 15 Juni 2021, menyatakan bahwa kenaikan kasus covid-19 yang terjadi pasca libur Idul Fitri 2021 merupakan kesalahan bersama.
Pemerintah sebelumnya sudah mengeluarkan larangan mudik pada saat libur Hari Raya Idul Fitri 2021. Namun, faktanya masih banyak warga yang bepergian pulang ke kampung halaman. Sehingga, bukan hanya kembali kasus harian yang melonjak, tetapi juga masuknya varian virus covid-19 baru yang berasal dari India, B.1.617, yang saat ini mendominasi transmisi lonjakan kasus baru Covid-19 di Indonesia.
Menyikapi terjadinya lonjakan kasus Covid-19 tersebut, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali untuk periode 3 s.d 20 Juli 2021, yang kemudian meluas di daerah lainnya.
Melalui PPKM aktivitas masyarakat dibatasi dengan lebih ketat guna mencegah penularan dan menekan penurunan tambahan kasus Covid-19 harian. Implikasi kebijakan PPKM tersebut disadari pemerintah berdampak pada kegiatan ekonomi dan berpotensi memberikan kontraksi bagi masyarakat miskin dan rentan serta dunia usaha khususnya bagi UMKM.
Oleh karena itu segera diberlakukan langkah-langkah antisipasi yang cepat, tepat, dan terukur, yang meliputi: Pertama, Penguatan pada sektor kesehatan sebagai prioritas utama, antara lain fokus percepatan vaksinasi, menjaga protokol kesehatan 5M dan 3T, serta mendukung tambahan penyediaan fasilitas kesehatan.
Kedua, berupaya menjaga resilience, survival dan recovery bagi masyarakat miskin dan rentan serta UMKM, yang diikuti dengan penguatan program perlindungan sosial. Ketiga, menumbuhkan kesadaran kolektif dari seluruh masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, serta mendukung percepatan program vaksinasi dalam rangka akselerasi pemenuhan kekebalan komunal (herd immunity).
Perlindungan Sosial Kepada Masyarakat
Agar kegiatan ekonomi dan perlindungan sosial tetap terjaga selama PPKM Darurat, Pemerintah melalui Kemnterian Keuangan telah menyiapkan dukungan dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen kebijakan pembiayaan negara untuk menyediakan bujet dimaksud untuk dikelola secara responsif, fleksibel sesuai kebutuhan dan akuntabel dalam pelaksanaannya.
Adapun anggaran yang dibutuhkan untuk penguatan sektor kesehatan dan program perlindungan sosial, antara lain guna memenuhi kebutuhan sebagai berikut: Penambahan anggaran Kesehatan sekitar Rp13,01 Triliun (dari Rp172,84 Ttriliun menjadi Rp185,85 Triliun), yang dialokasikan untuk percepatan pembayaran klaim terhadap perawatan pasien, insentif tenaga kesehatan, dan program vaksinasi nasional, serta penanganan kesehatan lainnya yang dibutuhkan di daerah.
Selanjutnya dilakukan juga percepatan pencairan dana Program Keluarga Harapan Triwulan III di awal Juli 2021, yang dialokasikan untuk 9,9 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan total anggaran sekitar Rp7,1 Triliun. Berikutnya adalah pemenuhan target awal 18,8 juta KPM dan percepatan pencairan Kartu Sembako pada awal Juli 2021, dengan nilai bantuan yang dialokasikan Rp200 ribu per bulan.
Adanya penambahan penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) selama dua bulan, yaitu Juli s.d Agustus 2021, yang disitribusikan 1 (satu) kali pada bulan Juli, dimana untuk itu dibutuhkan penambahan anggaran sekitar Rp6,1 Trliun, dan direncakan akan diberikan kepada 10 juta KPM non-Program Sembako dan Non PKH, dengan nilai bantuan Rp300 ribu per bulan.
Untuk kebutuhan rumah tangga selain Sembako dilakukan juga perpanjangan diskon listrik 50% bagi pelanggan 450VA dan 25% bagi pelanggan 900VA Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari bulan Juli s.d. September 2021, dengan total penerima sebanyak 32,6 juta pelanggan, dan untuk itu dibutuhkan penambahan anggaran Rp1,91 T.
Selanjutnya ada juga perpanjangan Bantuan Rekening Minimum, Biaya Beban/Abonemen selama 3 bulan yaitu Juli s.d September 2021, diberikan diskon 50% bagi 1,14 juta pelanggan bisnis, industri, dan sosial, dan dibutuhkan tambahan anggaran Rp0,42 T.
Terakhir adanya relaksasi persyaratan dari target dan relaksasi penyaluran BLT Desa, antara lain dengan memperluas kriteria calon penerima BLT Desa melalui pemberian keleluasan kepada Musyawarah Desa untuk menambah jumlah KPM yang menerima BLT, serta didistribusikan secara triwulanan dan pembayarannya dapat dirapel untuk desa yang mengalami kesulitan geografis. Anggaran yang dialokasikan untuk BLT Desa telah disalurkan Rp28,8 Triliun, telah diberikan kepada 5,02 juta KPM dengan besaran nilai Rp300 ribu per bulan.
Evaluasi Kebijakan Pemerintah Menangani Pandemi
Tulisan dari Okky Madasari yang menjadi latar belakang dalam tulisan ini harus menjadi evaluasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyamakan pandangan dan sikap dalam konteks bersatu bersama melawan pandemi. Namun demikian, tuduhan ‘telah terjadi kejahatan kemanusiaan’ dalam tulisan Okky Madasari perlu diluruskan untuk tidak menjadi polemik dan konflik, baik vertikal maupun horizontal.
Menurut Zizek, dalam bukunya yang berjudul ‘Pandemi! COVID-19 Shakes the World’ Tahun 2020, menyebutkan bahwa kami tidak siap oleh bencana meskipun para ilmuwan memperingatkan kami tentang hal itu selama bertahun-tahun, lebih lanjut dijelaskan bahwa epidemi coronavirus itu sendiri jelas bukan hanya fenomena biologis yang mempengaruhi manusia: Untuk memahami penyebarannya, kita harus mempertimbangkan pilihan budaya manusia … ekonomi dan perdagangan global, jaringan hubungan internasional yang tebal, mekanisme ketakutan ideologis, dan panik.
Untuk itu kita sekali lagi perlu bijak dalam menyikapi pandemi ini, bahwa faktor-faktor seperti ekonomi dan budaya yang berlaku dalam kehidupan manusia adalah faktor non biologis yang berpengaruh dalam penyebaran virus. Dengan demikian, lonjakan kasus yang terjadi pasti akan menimbulkan shock fenomena yang terjadi sebagaimana disebutkan oleh Okky Madasari dalam tulisannya yang dikutip sebagai awal pembuka tulisan ini.
Penelitian terkait kebijakan yang diambil di masa Pandemi dalam negara demokrasi, tidak menunjukkan efektivitas yang sama. Misalnya di negara Italia, kebijakan karantina untuk daerah tertentu tidak efektif karena tidak dapat diterapkan secara ketat.
Kebijakan secara prudence diberikan kepada semua orang, dan tidak ada satupun yang dirampas hak-hak publik. Efektivitas penanganan pandemi juga tergantung pada infrastruktur dan kemampuan fundamental yang dimiliki suatu negara untuk perlindungan kesehatan.
Oleh karena itu, dalam konteks ini, kebijakan pandemi juga identik dengan infrastruktur rumah sakit dan peralatan medis yang adil dan terjangkau di semua kalangan. Saat ini, di banyak negara, bahkan di Indonesia, akses ke fasilitas kesehatan adalah tantangan utama (Cahyono, 2008).
Memang tidak mudah menangani bencana yang sifatnya pandemi global. Hasil penelitian Lau (2020) menunjukkan bahwa banyak upaya dilakukan oleh negara-negara dengan standar kesehatan medis yang tinggi lebih banyak melaporkan angka kejadian penularan virus covid-19, meskipun mereka tidak melakukan perjalanan ke Wuhan China.
Namun karena lalu lintas manusia seperti yang diuraikan Zizek, antara lain dalam konteks ekonomi, misalnya dalam hal perdagangan internasional, akhirnya virus Covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina, telah menyebar secara global bahkan bermutasi ke jenis yang lebih berbahaya.
Namun demikian evaluasi harus selalu dilakukan, ketika di awal pemerintah sudah mengakui kesalahan terkait masuknya varian baru Covid-19, varian delta di Indonesia, melalui Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, Pemerintah kembali meminta maaf kepada masyarakat Indonesia karena penanganan Covid-19 di Indonesia selama PPKM Darurat masih belum optimal, yang disampaikan pada tanggal 17 Juli 2021.
Pemerintah akan mengupayakan dan akan bekerja keras untuk mengendalikan pandemi Covid-19 dan menyalurkan seluruh Bansos kepada masyarakat selama masa PPKM Darurat. Terkait dengan pengendalian pandemi terdapat dua indikator evaluasi dalam PPKM Darurat, yaitu indikator peningkatan kasus positif serta bed occupancy ratio bisa membaik.
Selanjutnya akan ada koordinasi kembali dengan Presiden mengenai tindak lanjut yang akan dilakukan, termasuk perpanjangan masa PPKM sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan Pemerintah untuk mendukungnya
Bersatu Bersama Melawan Pandemi
Seluruh Warga Negara Indonesia tentunya perlu ikut bersatu atas nama kemanusiaan untuk melawan pandemi di pangkuan negara bersama pemerintah. Semua dapat memiliki kontribusi sesuai peran masing-masing.
Kontribusi yang paling mudah adalah menyampaikan pernyataan positif mengenai kebijakan yang diambil pemerintah masih sesuai dengan amanat Undang-Undang terutama yang terkait kedaruratan kesehatan.
Dengan adanya Pandemi Covid 19 ini, kita semua mendapatkan tantangan yang belum pernah terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Maka Bangsa Indonesia sudah sepatutnya secara kolektif sebagai bangsa harus saling mengimbau dan mengingatkan, dan dalam menghadapi kondisi ini mau tidak mau kita semua elemen masyarakat harus bersatu dan mau bahu membahu memberikan kontribusi pada pemerintah, dengan apapun yang kita bisa lakukan.
Termasuk mendukung kebijakan yang diambil pemerintah dan menyuarakan evaluasinya sesuai dengan fakta dan argument yang solutif. Hal ini juga sejalan dengan pendapat: pemerintahan demokratis bukanlah entitas yang “bodoh”, tetapi terbuka untuk berbagai kontribusi (deliberatif) (Hilmy, 2008).
0 Comments