Di Antara Retakan Keadilan dan Cita-cita Emas

by Dikdik Sadikin ◆ Active Writer | Aug 27, 2024 | Birokrasi Efektif-Efisien | 1 comment

Di mana sesungguhnya letak demokrasi kita? Jika suara-suara terbungkam di tengah hiruk-pikuk yang diatur. Jika hukum, yang semestinya menegakkan keadilan, berubah menjadi alat kekuasaan yang membentengi keangkuhan.

Tahun-tahun yang panjang telah kita lalui sejak proklamasi. Pada setiap tanggal 17 Agustus, kita selalu merayakan kemerdekaan—kadang dengan gegap gempita, kadang dengan renungan hening. Tetapi di balik euforia itu, pertanyaan yang tak bisa dihindari muncul: kemerdekaan seperti apa yang telah kita capai?

Ada semacam retakan di dalam tubuh demokrasi kita—retakan yang, jika tak segera diperbaiki, bisa menjadi jurang yang dalam. Retakan yang sedikit demi sedikit mengikis cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Retakan yang bermula dari jargon yang kita kutip dengan khidmat dari Lincoln tentang demokrasi.

Bahwa demokrasi itu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Tapi, di negeri yang beribu pulau ini, apakah rakyat masih menjadi pusat? Atau rakyat, yang berada pada retakan seberang sana,
hanya sekadar penonton yang diberi ilusi partisipasi?

Retakan itu tampak jelas ketika Putusan Mahkamah Konstitusi tidak lagi menjadi suara tertinggi dari keadilan, melainkan justru diabaikan. Putusan MK Nomor 60 dan 70 yang tak dihiraukan adalah cermin buram dari wajah kita yang semakin lupa pada kedaulatan rakyat.

Seolah-olah kata-kata dalam Undang-Undang Dasar, yang seharusnya menjadi konstitusi tertinggi itu, hanyalah mantra kosong, yang berulang diucapkan tanpa makna. Bahkan tanpa rasa bersalah.

Saya jadi teringat dengan Sabda Nabi SAW bahwa sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. “Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.”

Lantas, bagaimana dengan kita?

Bukankah kita memiliki budaya yang luhur. Budaya yang menjunjung tinggi rasa kebersamaan, gotong royong, dan keikhlasan dalam membantu sesama. Itu yang selalu kita katakan dengan penuh takzim dan rasa percaya diri.

Keguyuban itu masih kita temukan dalam tradisi “gotong royong” di pedesaan. Masyarakat desa bersatu padu membangun desa atau membantu tetangga. Bersatu dalam rasa kebersamaan dan kepedulian, demi menghilangkan rasa perih yang juga turut dirasakan ketika di sekitarnya menderita. Itu sesungguhnya harta dan peradaban yang tak ternilai dari bangsa kita.

Namun, ketika kewenangan diberikan kepada sebagian kita untuk memerintah, ketika uang negara dan daerah berada di tangan yang sama, ke mana perginya semua itu? Mengapa nilai-nilai luhur itu sering kali tersingkirkan?

Kekuasaan kemudian berubah menjadi alat untuk kepentingan pribadi. Anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan bersama, malah dicuri, dikorupsi, tanpa rasa malu. Maka, retakan itu semakin dalam ketika mereka yang diberi amanah memilih mengkhianati rakyat yang seharusnya dibantu dengan kewenangan yang dimilikinya.

“Pengkhianatan” itu terjadi saat anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik, malah jatuh ke tangan-tangan serakah yang hanya memperkaya diri sendiri.

Kebersamaan dalam kebaikan yang dulu menjadi kebanggaan kita, sekarang terasa asing ketika dihadapkan pada praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Alih-alih demi kebaikan, kebersamaan dalam kejahatan justru digunakan untuk mencuri harta negara, mengkhianati rakyat sebagai pemilik sah republik ini.

Benarkah nilai luhur bangsa itu kini hanya tinggal dongeng. Atau sebuah mimpi. Sebuah fatamorgana yang berusaha kita yakini demi mengobati luka, demi mengaburkan dan menafikkan kenyataan di depan mata?

Ada yang berkata, kekuasaan tanpa cinta adalah kekuasaan yang rapuh. Tapi kekuasaan di negeri ini, tampaknya, lebih takut kehilangan kendali daripada kehilangan cinta.

Kita menyaksikan hukum menjadi instrumen yang bisa dibengkokkan
demi kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam semangat yang berbeda, Gandhi pernah berujar
bahwa kekuasaan yang sejati hanya bertahan jika ia didasari cinta.
Maka, adakah cinta itu di antara kita?

Kita berulang kali mendengar janji, bahwa Indonesia akan menjadi negara yang maju pada tahun 2045. Di seberang sana, ada visi yang dinamakan “Indonesia Emas”—sebuah masa depan di mana kemakmuran dan kejayaan menyelimuti negeri ini.

Tapi, cita-cita itu akan tetap menjadi mimpi jika pondasi demokrasi kita rapuh. Jika kedaulatan rakyat tergerus oleh ambisi sekelompok kecil yang berkuasa.

Barangkali, kita perlu kembali merenung. Setidaknya mengingat apa yang pernah dikatakan John Stuart Mill dalam “On Liberty”: kebebasan bukanlah hal yang bisa dijamin selamanya, tetapi sesuatu yang harus selalu dijaga dengan kewaspadaan. Rakyat harus tetap terjaga. Tak boleh terbuai oleh retorika yang menjanjikan, tetapi tak pernah memenuhi janji.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, kita perlu memperbaiki sistem yang telah menyempitkan ruang partisipasi. Ambang batas pencalonan yang tinggi hanyalah cara halus untuk membungkam suara-suara yang berani berbeda. Dan pendidikan politik, yang kini sering terabaikan, harus diajarkan sejak dini. Generasi muda tak boleh buta politik; mereka harus dibekali dengan kesadaran kritis.

Lebih dari itu, transparansi dan akuntabilitas pemerintah harus menjadi syarat mutlak. Pemerintah yang tertutup hanya akan menambah kecurigaan. Dan kecurigaan adalah awal dari keruntuhan kepercayaan. Teknologi bisa membantu, tapi yang terpenting adalah kemauan untuk terbuka.

Saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan Bung Karno,
bahwa perjuangan akan menjadi lebih sulit, ketika musuh yang kita hadapi
bukan lagi penjajah dari bangsa asing, melainkan dari diri kita sendiri.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah musuh dari dalam
yang harus dihancurkan jika kita ingin melihat Indonesia menjadi
“Indonesia Emas.”

Tetapi, tentu, harapan itu masih ada. Kita masih bisa memperbaiki retakan ini sebelum ia menjadi jurang. Kita masih bisa merajut kembali benang-benang demokrasi yang tercerai-berai. Dan ketika 2045 tiba, kita berharap bahwa kita bisa melihat ke belakang dengan bangga.

Bahwa Indonesia bukan hanya merdeka secara fisik, tetapi juga merdeka dalam arti yang sebenarnya—merdeka dari ketidakadilan, dari ketakutan, dan dari penindasan.

*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis tidak mewakili lembaga di mana penulis bekerja.

1
0
Dikdik Sadikin ◆ Active Writer

Dikdik Sadikin ◆ Active Writer

Author

Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah seorang pejabat struktural Eselon 2 di BPKP Pusat di Jakarta, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Meskipun diakui tidak produktif, beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah STAN dan S2 MAP UGM.

1 Comment

  1. Avatar

    Luar biasa

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post