Mengutip sebuah kisah pilu dari seorang teman pegawai negeri di suatu Kabupaten – beliau tidak ingin disebutkan namanya – ketika pemerintah membuat kebijakan refocussing dan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19.
Sebenarnya, refocussing dan relokasi anggaran itu dimaksudkan agar para Kepala Daerah (KDH) dapat melakukan pengadaan barang dan jasa bidang kesehatan yang berkaitan dengan percepatan penanganan Covid-19. Namun, alih-alih mengurangi program-program non-prioritas yang bersifat fisik, pemdanya malah memangkas habis seluruh tunjangan pegawainya.
Ketika PNS Banting Setir dan Menggadaikan SK
Situasi ini seakan menutup mata dari kenyataan bahwa lebih dari 80% PNS-nya telah menggadaikan SK untuk mendapatkan kredit dari perbankan. Tidak sedikit pula dari para PNS tersebut hanya menerima sisa gaji 10% dari total gaji pokok, padahal sebelumnya mereka mengharapkan tunjangan kinerja (tukin) untuk menghidupi keluarga.
Namun, sebab kebijakan fiskal refocussing anggaran yang membumihanguskan tunjangan kinerja, tidak sedikit PNS yang banting setir untuk beragam profesi; mulai dari nelayan, driver, bertani bahkan ada yang menjadi buruh. Ini semua dilakukan tanpa kehilangan status kepegawaiannya, karena hal itu secara tersirat telah diamini oleh KDH mereka.
Fenomena miris ini menarik untuk menjadi pembahasan lebih dalam, bahwa tidakkah menjadi pemikiran bagi seorang KDH tentang bagaimana ia harus mencari sumber daya keuangan yang besar untuk menjalankan roda pemerintahan yang ia pimpin.
Bagaimana agar pemda di bawah kepemimpinannya tidak lagi tergantung pada dana transfer dari pusat? Bagaimana agar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat berproduksi dengan maksimal sehingga dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya?
Sumber Keuangan Daerah: Pajak dan Retribusi Daerah
Mari sejenak mengulang-kaji, apa saja sih sumber keuangan suatu Pemda? Berdasarkan ketentuan Pasal 285 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan 4 (empat) sumber pendapatan asli daerah (PAD), di antaranya: pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pajak daerah merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 Ayat (10) UU 28/2009).
Artinya, upaya seorang KDH dalam memaksimalkan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) – yang memiliki kewenangan pemungutan pajak – sangat penting. Menempatkan seorang pejabat pimpinan tinggi yang kompeten serta para teknokrat qualified sebagai eksekutor di lapangan, harus dilakukan dengan tepat dan terukur tanpa mengesampingkan cara-cara persuasif dan humanis.
Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemungutan pajak tersebut juga harus dilakukan secara rutin dan serius dengan mengetahui grafik pendapatan dari sumber pajak daerah dengan baik.
Adapun retribusi merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan (Pasal 1 Ayat (64) UU 28/2009).
Jika kita telaah lebih dalam, retribusi ini menganut prinsip pasar dengan istilah “ada barang, ada uang”. Mengapa demikian? Adalah tidak fair apabila suatu daerah “memaksa” tagihan retribusi sementara pelayanan perizinan cukup rumit untuk diperoleh masyarakat.
Memaksimalkan PAD
OPD yang berfungsi dalam pemberian pelayanan perizinan merupakan subjek vital dalam penyelenggaraan pemda. Kita bisa perhatikan bagaimana sebagian pemda saat ini berlomba-lomba dalam pembangunan “Mall Pelayanan Publik”.
Pelayanan terpadu satu pintu yang didirikan di sebuah tempat layaknya mall dengan prinsip “berburu pelanggan” lengkap dengan atribut pelayanan yang memuaskan.
Di sisi lain, sebagian pemda yang sudah bergerak maju tersebut juga berupaya untuk mengalokasikan anggaran untuk memaksimalkan pembangunan infrastruktur publik seperti layanan transportasi, baik darat, laut, maupun udara.
Pembangunan pasar modern lengkap dengan sarana prasarana yang memadai dan berbagai terobosan lainnya yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (dalam hal ini masyarakat) sehingga kemudian tidak heran apabila masyarakat pengguna layanan tersebut dengan sendirinya membayar retribusi secara sukarela.
Maka, PAD yang diperoleh dari hasil retribusi tersebut perlahan tapi pasti akan menutupi cost yang dikeluarkan untuk semua pembangunan infrastruktur publik di mana manfaatnya pun dapat secara puas dirasakan oleh masyarakat.
Oleh karenanya, sebagai seorang KDH penting untuk berkomitmen mengawal performance pelayanan publik di wilayahnya dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang konsisten.
Performance pelayanan publik yang harus dikawal tersebut secara rinci dapat dilihat dari 9 (unsur), yaitu: Persyaratan, Sistem, Mekanisme dan Prosedur, Waktu Penyelesaian, Biaya/Tarif, Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan, Kompetensi Pelaksana, Perilaku Pelaksana, Penanganan Pengaduan, Saran dan Masukan, serta Sarana dan Prasarana (Permenpan-RB 14/2017).
Pengelolaan Kekayaan Daerah
Berbicara daerah tentu tidak terlepas dari pembicaraan tentang negara. Kaitannya dengan Kekayaan Negara adalah bahwa kekayaan daerah juga disebut dengan kekayaan negara. Perbedaannya ada pada konteks tingkatan pemerintahan sehingga definisi kekayaan daerah ada pada ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
UU tersebut menjelaskan bahwa kekayaan negara/daerah adalah semua bentuk kekayaan hayati dan non hayati berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dikuasai dan /atau dimiliki oleh Negara (https://www.djkn.kemenkeu.go.id).
Makna “yang dikuasai” oleh negara senada dengan bunyi Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Di sini, daerah punya kewenangan penuh untuk menentukan arah masa depan sumber daya alam (SDA) dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
Nah, kekayaan daerah yang berasal dari APBD dapat dijadikan penyertaan modal daerah pada BUMD di mana KDH sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan kepemilikan Kekayaan Daerah tersebut.
Tentunya, BUMD tentunya bergerak dalam mengelola SDA unggulan daerah yang berorientasi pada benefit. Bukan hanya untuk menghabiskan APBD. Justru, BUMD mesti menjadi pengembang PAD. Inilah yang mesti didorong secara maksimal oleh seorang KDH.
Lagi-lagi, seorang KDH dituntut untuk benar-benar komitmen dengan visinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya melalui revitaliasi BUMD. Menempatkan SDM yang handal untuk mengelolanya, menetapkan target-target yang terukur dengan menerapkan konsep kewirausahaan terkini dengan pemanfaatan teknologi berdasarkan hasil penghitungan cost and benefit analysis yang objektif.
Kerja Sama Daerah, Kenapa Tidak?
Akan lebih efektif lagi, apabila KDH berinisiatif untuk menjemput investor yang bersedia menanamkan modal untuk pengelolaan sumber daya unggulan di wilayahnya. Memanfaatkan pola kerja sama daerah baik dengan daerah lain, pihak ketiga, daerah dan/atau lembaga di negara lain yang mempunyai hubungan, baik bilateral maupun multilateral dengan Indonesia sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah.
Konsep kerja sama *sister city/*kota bersaudara pernah digagas oleh Pemerintah Kota Bandung Provinsi Jawa Barat bersama dengan Kota Braunschweig, Jerman. Skema sister city diarahkan untuk penyelenggaraan hubungan dan kerja sama yang bermanfaat dan saling menguntungkan.
Kota Bandung telah menjalin kerja sama sistem city ini sejak tahun 1960. Kerja sama yang dibangun tentu berorientasi pada pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan bidang lainnya. Secara rinci, dikutip dari website http://kerjasama.bandung.go.id/ksln/ksdpl kerja sama sister city antara Kota Bandung dengan Kota Braunschweig mencakup :
- Ekonomi, Perdagangan, Investasi, Industri, dan Pariwisata
- lmu Pengetahuan, Teknologi, dan Administrasi
- Pendidikan, Kebudayaan, Kesejahteraan Sosial, Pemuda dan Olahraga
- Bidang-bidang lain yang kemudian akan disetujui oleh kedua belah pihak
Oleh karenanya, kemampuan diplomasi seorang KDH sangat penting dalam mewujudkan pembangunan daerah. Namun, apabila KDH tidak memiliki skill tersebut, setidaknya KDH mempunyai SDM yang handal untuk menjalankan fungsi diplomasi dimaksud.
Jikapun saat ini KDH belum memiliki SDM tersebut, paling tidak program pengembangan SDM melalui beasiswa ke Luar Negeri untuk program magister dan doktoral bagi para pegawainya harus dilaksanakan secara efektif. Maka dengan adanya SDM yang kompeten, simpul-simpul kerja sama dapat terjalin dengan adanya SDM yang mumpuni menjalankannya.
Epilog
Pengetahuan yang baik tentang sumber-sumber pendapatan daerah dan cara mengelola serta memaksimalkannya; adalah hal pokok yang wajib dikuasai oleh seorang KDH. Pajak, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah merupakan unsur sumber pendapatan daerah yang mesti dioptimalkan dengan strategi yang tepat dan terukur.
Terhadap optimalisasi pendapatan dari hasil pajak, tidak ada pilihan lain kecuali dengan memaksimalkan fungsi OPD yang berfungsi melakukan pemungutan.
Sedangkan terhadap retribusi, hal yang paling penting dilakukan adalah revitalisasi seluruh komponen dari 9 (sembilan) unsur pelayanan publik baik dari sektor perizinan, ketersediaan infrastruktur, dan dukungan administrasi yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
ASN pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Republik Indonesia
0 Comments