Apabila kita perhatikan histori perkembangan pemekaran daerah di Indonesia, dapat kita temukan fenomena yang cukup unik dan menarik untuk dibahas. Sejak era awal kemerdekaan (1945-1949), Indonesia hanya memiliki sepuluh provinsi saja yaitu: Sumatera, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seiring dengan pergantian era dan masa, terjadi pemekaran wilayah pemerintahan sehingga saat ini Indonesia memiliki 34 Provinsi yang terdiri dari 514 Kabupaten/Kota (Kompas.com Edisi 08/01/2020). Akan tetapi, pemerintah belakangan mengambil kebijakan untuk menutup “keran” pemekaran tersebut.
Pertimbangannya ialah berbagai hal yang kemudian kita kenal dengan sebutan moratorium pemekaran daerah. Purwoko (2017) dalam bukunya yang berjudul “Desentralisasi Radikal” mengemukakan beberapa dasar kebijakan moratorium daerah -yang dimulai di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono ini-, di antaranya:
- pertimbangan integritas NKRI,
- mekanisme tuntutan pemekaran yang cukup kompleks,
- pembebanan terhadap anggaran, dan
- adanya alternatif pembangunan daerah tertinggal.
Ketergantungan Daerah kepada Pusat
Meskipun demikian, dengan berbagai faktor pendorong baik dari masyarakat secara murni maupun atas tumpangan kepentingan elite; usulan pembentukan daerah baru (baca: pemekaran daerah) tetap terus disampaikan.
Padahal, dari 514 Kabupaten/kota tersebut, hampir 50% di antaranya -sebanyak 223 Daerah Otonom Baru (DOB)- yang dibentuk sejak tahun 1999-2014 masih belum mampu mandiri sebab masih memiliki tergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Setkab.go.id Edisi 04/12/2020).
Oleh karenanya, menjadi suatu pemikiran kiranya bagi setiap Kepala Daerah (KDH) untuk menginstrospeksi organisasi besar yang saat ini ia pimpin dengan sebuah pertanyaan:
“Apakah daerah yang saya pimpin ini termasuk kedalam 223 DOB tersebut?”
Jika jawabannya adalah “tidak”, maka tiada kata lain selain dari pada ucapan selamat baginya dan support terhadap upaya untuk terus meningkatkan kapasitas daerah yang ia pimpin agar lebih maju dan berdaya saing, sehingga masyarakatnya betul-betul mandiri dan sejahtera.
Namun, jika jawaban pertanyaan di atas adalah “ya”, maka sebuah PR besar baginya untuk menggali lebih dalam permasalahan dan dilema yang sedang menimpa wilayah yang ia pimpin.
KDH harus menemukenali berbagai potensi dan sumber daya yang ia miliki untuk mencari solusi permasalahan daerah tersebut kemudian melakukan berbagai terobosan-terobosan untuk sebuah misi membawa daerah yang ia pimpin keluar dari status “ketergantungan” tersebut.
Back to the Nature
Lantas, solusi seperti apa yang sebaiknya dilakukan seorang KDH untuk melepas status ketergantungan itu?
“Back to the nature” merupakan kalimat bijak sederhana namun sarat akan makna. Kaitannya dengan solusi terhadap permasalahan ketergantungan daerah tersebut adalah kembali kepada kondisi lahiriah suatu daerah itu sendiri.
Merujuk pada ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan persyaratan dasar pembentukan suatu daerah adalah kewilayahan dan kapasitas daerah.
Mari kita garis bawahi persyaratan kapasitas daerah ****yang kemudian pada Pasal 36 dijelaskan 7 (tujuh) parameternya. Namun, terdapat satu parameter yang menjadi pokok penting dan sulit untuk dipenuhi bahkan bagi daerah otonom yang telah lama terbentuk sekalipun, yaitu: potensi ekonomi. Lebih rinci lagi, potensi ekonomi tersebut dapat diukur dari pertumbuhan ekonomi dan potensi unggulan daerah (Pasal 36 Ayat [6]).
Di sini, kami ingin menitikberatkan bagaimana seorang KDH berperan aktif dalam memberikan kebijakan yang tepat dalam menggali dan mengembangkan potensi unggulan daerah yang dapat menstimulus pergerakan roda perekonomian masayarakat untuk lebih dekat dengan kesejahteraan.
Potensi Unggul Daerah
Dalam penjelasan Pasal 36 terkait dengan potensi unggulan daerah, secara lebih rinci lagi ditegaskan bahwa potensi unggulan daerah tersebut dapat dihitung dengan nilai tertentu meliputi: kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, perdagangan dan perindustrian.
Pada titik ini, seorang KDH mesti betul-betul memahami potensi unggulan daerahnya. Tentu, pemahaman tentang potensi tersebut dibarengi dengan ketersediaan data dan informasi riil yang dapat dipertanggungjawabkan.
Misalkan sektor pariwisata yang menjadi potensi unggulan yang menempati urutan pertama secara skala prioritas. Maka, KDH tersebut dapat mengambil kebijakan daerah untuk lebih fokus pada pengembangan potensi pariwisata. Disusul dengan sektor lainnya sesuai dengan potensi yang dimiliki dengan memetang teguh prinsip kesetaraan dalam hal pengembangan perekonomian masyarakatnya.
Ibarat “gayung bersambut”, pada dasarnya prinsip otonomi yang seluas-luasnya yang terkandung dalam pesan-pesan demokrasi dan tertuang dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini telah mengakomodir luasnya kewenanganan KDH dalam menyusun perencanaan pembangunan di wilayahnya.
Asalkan ia memiliki komitmen, konsep dan tujuan yang jelas untuk membangun daerahnya, maka kewenangan yang luas tersebut tentu akan ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakan yang ia pimpin.
Agar kewenangan dalam menentukan arah kebijakan daerah tersebut dapat terlaksana dengan baik, seorang KDH wajib memiliki strategi sebagai pedoman dalam menentukan langkah menetapkan kebijakan yang tepat.
Nuryasman (2017) dalam jurnalnya yang berjudul “Menggali dan Mengembangkan Potensi Daerah dalam Perwujudan Otonomi Daerah” menawarkan langkah-langkah dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah, di antaranya:
- Inventarisasi semua potensi yang dimiliki;
- Tentukan unggulan yang dimiliki;
- Pertimbangan keterkaitan dengan potensi daerah sekitar;
- Tentukan skala prioritas untuk pengembangan potensi;
- Tingkatkan kualitas SDM (perencana ekonomi dan pembangunan daerah); dan
- Singkronisasi antara perancangan dan pembangunan wilayah.
Membentuk Wilayah Aglomerasi: Kenapa Tidak?
Poin yang paling menarik dari pada tawaran Nuryasman tersebut adalah “Pertimbangan Keterkaitan dengan Potensi daerah Sekitar”. Dengan kalimat lain, seorang KDH juga mesti memahami tidak hanya potensi internal pada wilayah yang ia pimpin, tapi juga dengan potensi wilayah yang ada di sekitarnya.
Dengan demikian, kolaborasi potensi antar daerah untuk saling mendukung dalam segala aspek akan sangat membantu dalam upaya percepatan pembangunan daerah. Kolaborasi antar wilayah ini populer dengan sebutan aglomerasi.
Bradley dan Gans (1996) dalam jurnal yang berjudul “Growth in Australian Cities Economic Record” menerangkan bahwa ekonomi aglomreasi dapat memberikan pengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi saat ini.
Benar saja, kita dapat membuktikan pernyataan Bradley dan Gans tersebut dari pernyataan Darmayanti (2017) dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis dampak Aglomerasi terhadap Ketimpangan Regional Pulau Jawa”, dikatakan bahwa Pulau Jawa mengendaliikan sekitar 60% aktivitas ekspor-impor nasional terutama pada wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).
Perkembangan aktivitas perekonomian pada wilayah aglomerasi Jabodetabek ini disebabkan oleh infrastruktur yang memadai sehingga daerah-daerah sekitarnya mendapatkan manfaat yang kemudian disebut dengan aglomerasi ekonomi.
Epilog
Akhirnya, pemikiran yang out of the box bagi seorang KDH kiranya menjadi hal yang wajib untuk dimiliki. KDH dengan segala konsekuensi atas tahta yang sedang diemban semestinya dibarengi dengan langkah-langkah konseptual dalam membangun wilayahnya.
Jarang kita melihat suatu daerah yang tidak punya potensi unggulan. Sebab, justru dengan adanya potensi unggulan tersebut daerah tersebut mendapatkan “restu” untuk menjadi daerah baru yang otonom sebagaimana telah kita ulas di atas. Penting pula bagi seorang KDH untuk bersinergi dengan KDH lain yang berada di sekitar wilayahnya dalam rangka percepatan pembangunan yang diinginkan.
Oleh karenanya, sudah saatnya bagi seorang KDH atau orang-orang terdekat KDH yang memiliki akses untuk menyampaikan berbagai pertimbangan kebijakan untuk memahami cara menggali dan mengembangkan potensi unggulan daerah untuk masa depan bangsa yang lebih baik.
ASN pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Republik Indonesia
0 Comments