
Desentralisasi fiskal Indonesia hari ini tengah berada di persimpangan jalan yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, pemerintah pusat terus mengusung narasi penguatan otonomi daerah, namun di sisi lain, serangkaian kebijakan fiskal terkini justru menunjukkan arah yang bertolak belakang.
Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD),
hingga fenomena lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di berbagai wilayah, seolah menjadi antitesis dari komitmen desentralisasi yang pernah dijanjikan.
Pertanyaan mendasar pun mengemuka: ke mana sesungguhnya arah desentralisasi fiskal Indonesia? Apakah kita sedang menyaksikan kemunduran sistematis menuju resentralisasi terselubung?
Anatomi Kebijakan yang Kontradiktif
Pemangkasan TKD bukanlah sekadar isu teknis anggaran, melainkan simbol dari pergeseran filosofi hubungan pusat-daerah yang lebih mendasar.
Ketika pemerintah pusat memutuskan untuk mengurangi transfer fiskal ke daerah dengan alasan efisiensi dan konsolidasi fiskal, pertanyaan yang muncul adalah: efisiensi untuk siapa dan konsolidasi untuk apa?
Ironisnya, di tengah pengurangan TKD, dan desakan kebijakan 30 persen proporsi belanja pegawai terhadap APBD sesuai UU HKPD, banyak daerah justru mengambil jalan pintas dengan “memaksakan diri” menaikkan PBB P2 secara signifikan.
Fenomena ini menciptakan paradoks yang sulit dijelaskan secara logis.
Bagaimana mungkin pemerintah pusat mengurangi bantuan fiskal di satu sisi, sementara di sisi lain pemerintah daerah akhirnya terdorong untuk meningkatkan beban pajak kepada masyarakat untuk menutupi kekurangan pembiayaan pembangunannya?
Bukankah ini justru menciptakan beban ganda bagi rakyat yang sama?
Lebih menggelitik lagi, penjelasan pemerintah pusat mengenai pengurangan TKD 2026 yang terkesan dipaksakan dan mengabaikan realitas empiris di lapangan. Argumentasi bahwa daerah sudah cukup mandiri secara fiskal tampak naif ketika kita melihat data kemampuan fiskal daerah yang masih timpang.
Sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih memiliki rasio kemandirian fiskal di bawah 20 persen, yang berarti 80 persen lebih pendapatan daerah masih bergantung pada transfer dari pusat.
Teori Desentralisasi dalam Pusaran Realitas
Dalam konteks teoritis, desentralisasi fiskal sejatinya bertujuan menciptakan apa yang oleh Tiebout (1956) disebut sebagai “voting with feet” – sebuah mekanisme di mana masyarakat dapat memilih daerah yang menawarkan kombinasi terbaik antara pelayanan publik dan beban pajak.
Namun, ketika daerah kehilangan fleksibilitas fiskal akibat pengurangan transfer, kemampuan mereka untuk memberikan pelayanan optimal menjadi terbatas.
Sementara itu, teori fiskalisme yang dikemukakan oleh Oates (1972) menekankan pentingnya “fiscal equivalence” – prinsip bahwa mereka yang menerima manfaat dari suatu pelayanan publik juga harus menanggung bebannya.
Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, kita melihat distorsi dari prinsip ini. Masyarakat daerah menanggung beban pajak yang meningkat (melalui kenaikan PBB P2) tanpa jaminan peningkatan kualitas pelayanan yang sepadan, karena keterbatasan fiskal daerah akibat pengurangan TKD.
Dimensi Konstitusional yang Terlupakan
Aspek yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi inkonstitusionalitas dari arah kebijakan ini. Pasal 18A UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa:
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”
Kebijakan pemangkasan TKD tanpa mempertimbangkan kekhususan dan keragaman kondisi fiskal daerah dapat diargumentasikan sebagai pelanggaran terhadap amanat konstitusi ini. Terlebih ketika kebijakan tersebut tidak disertai dengan mekanisme kompensasi yang memadai atau penyesuaian kewenangan yang proporsional.
Realitas di Balik Angka
Data empiris menunjukkan bahwa kemampuan fiskal daerah di Indonesia masih sangat beragam. Daerah-daerah kaya sumber daya seperti beberapa kabupaten di Kalimantan Timur atau Riau memang memiliki kapasitas fiskal yang relatif tinggi.
Namun, mayoritas daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, masih sangat bergantung pada transfer fiskal dari pusat.
Ketika TKD dipangkas tanpa mempertimbangkan heterogenitas ini, yang terjadi adalah semakin melebarnya kesenjangan antarwilayah. Daerah kaya akan semakin mandiri, sementara daerah miskin akan semakin terpuruk.
Bukankah ini bertentangan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengutamakan persatuan dan pemerataan?
Sementara itu, lonjakan PBB P2 di berbagai daerah menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Kenaikan yang drastis tanpa sosialisasi memadai tidak hanya menciptakan beban ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga resistensi sosial yang dapat mengganggu stabilitas politik lokal.
Di beberapa daerah, kenaikan PBB P2 mencapai 200-300 persen, jauh melampaui kemampuan adaptasi ekonomi masyarakat.
Mencari Jalan Tengah yang Solutif
Dalam situasi yang kompleks ini, diperlukan pendekatan yang lebih gradual dan berbasis pada prinsip-prinsip desentralisasi yang sehat.
- Pertama, pemerintah pusat perlu mengakui bahwa desentralisasi fiskal bukanlah proyek jangka pendek yang dapat diselesaikan dengan pendekatan one-size-fits-all. Sebaliknya, diperlukan roadmap jangka panjang yang mempertimbangkan kapasitas dan karakteristik unik setiap daerah.
- Kedua, jika memang TKD perlu dikurangi untuk alasan konsolidasi fiskal, pengurangan tersebut harus dilakukan secara bertahap dan disertai dengan penguatan kapasitas fiskal daerah melalui berbagai instrumen. Misalnya, melalui peningkatan bagi hasil pajak daerah, pemberian insentif investasi, atau transfer teknologi dan pengetahuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak daerah.
- Ketiga, perlu ada paradigma baru dalam melihat peningkatan PAD. Alih-alih fokus pada kenaikan tarif pajak existing seperti PBB P2, daerah perlu didorong untuk mengeksplorasi sumber-sumber pendapatan baru yang lebih inovatif dan produktif. Pemerintah pusat dapat menyediakan panduan dan fasilitasi teknis untuk membantu daerah mengidentifikasi potensi ekonomi lokal yang belum tergali, serta memberikan reward bagi daerah yang berhasil meningkatkan PAD melalui cara-cara kreatif tanpa membebankan masyarakat.
- Keempat, diperlukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik dalam pengelolaan fiskal daerah. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana pajak yang mereka bayar digunakan dan manfaat apa yang mereka peroleh dari pembayaran tersebut. Sistem monitoring dan evaluasi yang robust perlu dibangun untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dipungut dari masyarakat memberikan dampak yang optimal bagi kesejahteraan mereka.
Refleksi untuk Masa Depan
Desentralisasi fiskal sejatinya adalah tentang menciptakan sistem tata kelola yang lebih responsif, akuntabel, dan efektif dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Namun, jika yang terjadi justru sebaliknya – pengurangan pelayanan akibat keterbatasan fiskal dan peningkatan beban pajak tanpa kompensasi yang memadai – maka kita perlu mempertanyakan apakah desentralisasi yang kita jalankan masih sesuai dengan semangat awalnya.
Kebijakan fiskal tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Dalam era di mana kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi semakin penting, setiap kebijakan fiskal harus dapat dijelaskan secara logis, adil, dan berbasis pada data empiris yang solid.
Ke depan, Indonesia membutuhkan desentralisasi fiskal
yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga berkeadilan secara sosial dan berkelanjutan secara politik. Ini memerlukan dialog yang lebih intensif antara pusat dan daerah, serta partisipasi masyarakat yang lebih bermakna dalam proses pengambilan keputusan fiskal.
Tantangan terbesar bukanlah pada aspek teknis kebijakan, melainkan pada komitmen politik untuk mewujudkan desentralisasi yang sejati – yang memberikan otonomi nyata kepada daerah sambil tetap menjaga kesatuan dan solidaritas nasional.
Tanpa komitmen ini, desentralisasi fiskal Indonesia akan terus berputar-putar dalam lingkaran setan antara janji dan kenyataan yang tak kunjung bertemu.
Saatnya kita semua – pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat – duduk bersama merumuskan desentralisasi fiskal yang tidak hanya terdengar indah di atas kertas, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.
Sebuah pandangan yang disampaikan dengan lembut dan mengena. Mari perduli sesama.