Deponering: Jaksa, Ijazah, dan Sebuah Negeri yang Takut Pecah

by | Jul 22, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Seorang guru SD duduk termenung di depan televisi. Malam itu bulan Mei 1999, hujan rintik-rintik mengetuk genteng rumah warisan di sebuah dusun kecil di lereng Merapi. Di layar TV tabung hitam putih 14 inci menyiarkan berita tentang mantan Presiden Soeharto kembali muncul. 

“Pemeriksaan lanjutan ditunda karena alasan kesehatan,” kata pembaca berita dengan suara datar.

Pak guru menyesap teh manis kental yang sudah dingin. Di ruang yang temaram lampu pijar 5 watt, ia melihat bayangan anaknya tidur pulas di atas bale-bale bambu buatannya tahun lalu. Anak yang setiap hari ia ajarkan menulis kata “jujur” di papan tulis sejak kelas dua. 

Ia menatap layar sekali lagi, dan entah ditujukan pada siapa, ia bergumam: 

Yen pimpinan ora tedhas ukuman, apa gunane aku mulangake kejujuran?
(Kalau pemimpin tak bisa disentuh hukum, buat apa aku ajarkan anak-anak tentang kejujuran?)

Dua puluh enam tahun berlalu, saya kini duduk di kursi kerja, menatap layar laptop 14 inchi. Sebagai anak dari guru itu, saya tumbuh di antara buku pelajaran dan siaran berita. Hari ini, saya tidak lagi sekadar menyimak berita. Saya membaca disposisi, ketentuan dan berkas hukum, menyusun analisis, dan kadang—diam-diam—merasa frustasi.

Isu ijazah Presiden Jokowi kembali mengemuka. Sudah lama jadi bisik-bisik. Kadang naik, lalu tenggelam lagi. Tapi yang satu ini terasa berbeda. Ada gugatan, ada sorotan media, ada ketegangan publik.

Sebagian menyebutnya hoaks, sebagian menganggapnya bom waktu demokrasi. Tapi yang menarik, hukum tetap berjalan lambat—atau mungkin sengaja dibuat lambat.

Sebagai pengajar hukum, saya tahu ini bukan perkara ringan.
Pemalsuan dokumen bisa masuk ranah Pasal 263 KUHP. Tapi saya juga tahu, dalam perkara besar, pengetahuan hukum saja tidak pernah cukup. Yang dibutuhkan adalah
keberanian moral dan kebijakan publik.

Meminjam istilah Prof. Satjipto Rahardjo dalam pemikirannya mengenai Hukum Progresif, yang menekankan bahwa hukum harus hidup dan relevan dengan masyarakat, bukan hanya sekadar tumpukan teks atau peraturan yang kaku.

Di tengah kerumitan itu, saya teringat satu pasal unik dalam sistem kita: deponering. Wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum. Dalam praktik, ini semacam “rem darurat hukum”.

Soeharto tak pernah disidang. Tidak ada putusan. Tidak ada vonis. Alasannya: kesehatan. Tapi banyak yang tahu, negara tak siap menghadapi konsekuensinya. Maka, deponering—meskipun tidak diumumkan secara resmi—dianggap pilihan paling rasional saat itu.

Apakah ini adil? Tentu tidak. Tapi apakah itu menyelamatkan republik dari amuk massa dan instabilitas? Mungkin iya. Dalam logika negara, itu bukan lari dari hukum, tapi menjaga agar hukum tidak dibakar oleh ketegangan politik.

Saya membayangkan jadi seorang jaksa usia 40 tahun. Anak kedua saya baru bisa mengeja kata “hukum” dari buku tematik kelas 3. Suatu hari, perkara besar mendarat di meja kerja: dugaan pemalsuan ijazah presiden. 

Buktinya rumit. 

Tekanannya besar. 

Dan siapa pun tahu, putusan atas perkara ini bukan hanya menyangkut satu orang, tapi juga warisan dua periode pemerintahan.

Kalau saya pilih lanjutkan penuntutan, saya mungkin dianggap penegak hukum sejati—tapi juga bisa menyulut kerusuhan dan ketidakpastian hukum nasional. Tapi kalau saya keluarkan deponering, saya bisa dicap pengecut. 

Itulah dilema paling sunyi dalam hukum: saat Anda tahu yang benar, tapi juga tahu bahwa menegakkannya bisa menghancurkan lebih banyak hal dari yang bisa Anda perbaiki.

KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) mencoba menyatukan tiga hal: keadilan, kemanfaatan, dan ketertiban. Dalam Pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa hukum pidana tidak berlaku jika justru mengganggu tujuan hukum itu sendiri.

Apakah ini memberi ruang bagi deponering? Ya.
Tapi syaratnya satu: jangan sembunyi. Jangan biarkan rakyat bertanya tanpa dijawab,
atau hukum berganti wujud jadi permainan politik.

Kalau memang negara memutuskan bahwa perkara ini terlalu membahayakan ketertiban untuk dilanjutkan, maka katakanlah dengan jujur. Jangan diam. Jangan bungkam. Jelaskan kepada rakyat mengapa hukum harus menepi—setidaknya kali ini.

Saya tidak tahu apakah nanti negara akan memilih menuntut atau menutup perkara ini. Tapi sebagai orang yang hidup di tengah sistem, saya paham satu hal: kadang bukan hukum yang salah, tapi keberanian kita yang lelah.

Mungkin saya terlalu sering mengajarkan pasal-pasal, sampai lupa bahwa keadilan juga butuh suara hati. Suatu hari nanti, anak saya mungkin akan bertanya, “Bapak, dulu negara kenapa diam waktu itu?”

Dan saya ingin bisa menjawab dengan jujur: “Bukan karena kami takut, Nak. Tapi karena kami sedang belajar: kapan hukum harus bicara, dan kapan ia harus menunggu agar bangsa ini tetap utuh.” Sejalan dengan pemikiran utilitarianisme milik Jeremmy Bentham.

2
0
Arief Suryawan ♥ Associate Writer

Arief Suryawan ♥ Associate Writer

Author

Penulis merupakan Penelaah Teknis Kebijakan Tk.I pada Bagian Perbendaharaan, Biro Perencanan dan Keuangan, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Selain itu penulis juga sebagai Dosen Ilmu Hukum di Politeknik Keuangan Negara STAN, Kementerian Keuangan RI. Fokus kajiannya meliputi hukum tata negara, hukum administrasi publik, dan keuangan negara. Aktif menulis opini hukum, terlibat dalam kegiatan akademik lintas kampus, serta pengurus bidang humas IKAFH Undip. Saat ini juga sedang meneliti isu-isu strategis tentang akuntabilitas jabatan publik dan reformasi kelembagaan negara.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post