Politik dan institusi demokrasi akan hancur lebur tergilas kemajuan teknologi
(Yuval Noah Harari)
New normal menjadi mantra baru dalam kehidupan manusia hari ini. Manusia dipaksa oleh virus Covid-19 untuk mengubah model interaksinya. Kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bidang yang paling banyak mengalami perubahan. Di tempat-tempat publik, masyarakat mulai menerapkan penjarakan sosial (social distancing). Rumah ibadah, stasiun, gedung perkantoran, lift, kendaraan umum, bahkan WC umum, mulai ditandai dengan beragam stiker yang mengatur di mana orang boleh mengantre, berdiri, atau duduk.
Seluruh interaksi mulai berubah menjadi daring (online): mulai dari belanja, rapat, membuat SIM, bahkan daftar nikah pun online. Yang belum terlihat online adalah dunia politik. Lantas, mengapa politik menjadi wilayah yang seolah-olah kebal terhadap Covid-19? Adakah new normal bagi kehidupan politik?
Jika dalam keseharian kita mengenal new normal sebagi kehidupan yang intim namun berjarak, maka new normal dalam kehidupan politik kita bayangkan saja sebagai hubungan antara rakyat dengan penguasa yang intim namun berjarak, serta difasilitasi oleh teknologi informasi berbasis internet. Kondisi itu seringkali disebut sebagai politik di era digital. Atau dalam tulisan ini kita singkat saja menjadi politik digital.
Politik Digital
Dalam pengertian yang luas, politik digital bukanlah merupakan situasi unik di Indonesia. Buktinya banyak masyarakat yang mengemukakan pendapatnya terkait masalah politik dan kebijakan melalui media sosial. Banyak juga masyarakat kita yang memprotes kebijakan melalui situs web petisi seperti www.change.org. Namun dalam tulisan ini, bukan itu makna yang dirujuk.
Politik yang dimaksud pada tulisan ini adalah politik formal, yaitu politik yang mengatur tentang siapa yang harus menentukan kebijakan dan tentang bagaimana kebijakan harus dirumuskan.
Dengan kata lain, politik di sini adalah tentang pemilu dan perumusan UU/kebijakan publik lainnya. Sejauh semua itu dikaitkan dengan wacana new normal, maka pertanyaannya menjadi: bagaimana proyeksi pemilu di era new normal? Bagaimana perumusan UU di era new normal?
Di zaman normal, politik ditandai dengan helatan pemilu yang membutuhkan dana besar, kurang lebih 25,5 Triliun (Rachman, 2019). Anggaran pemilu yang besar itu digunakan untuk banyak hal, di antaranya adalah pembuatan surat suara, kotak suara, logistik, pembuatan tempat pemungutan suara, membayar petugas pemilu, dan lain-lain.
Dana ini dari tahun ke tahun terus naik. Apabila dana pemilu tahun 2014 adalah sekitar 15 triliun, berarti dana pemilu telah meningkat sebesar 70%.
Anggaran pemilu ini juga lebih besar 4x lipat daripada anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan yang setahunnya hanya 6,7 Triliun. Bahkan anggaran Kementerian Pertanian (21,05 Triliun) pun kalah dengan anggaran pemilu.
Apabila dilihat dari politik anggaran ini, maka tidak pantas rasanya kita menyebut Republik Indonesia sebagai negara maritim atau agraris. Lebih pantas kita menyebutnya sebagai negara pemilu.
Selain pemilu, politik zaman normal adalah mekanisme pembuatan kebijakan yang minim partisipasi dari rakyat secara langsung. Rakyat sulit menjangkau para wakil rakyat dan pemerintah untuk menyampaikan aspirasi secara langsung.
Rakyat juga sulit mengawasi apakah aspirasinya sedang diperjuangkan atau tidak. Perumusan kebijakan di zaman normal sangat ditentukan oleh elite, yang disebut oleh David Easton sebagai “black box” karena prosesnya yang kurang terbuka.
Politik zaman normal sesungguhnya sudah bangkrut di era masifnya teknologi informasi ini. Di saat ekonomi dan bisnis terdisrupsi oleh teknologi informasi, politik masih adem ayem saja.
Oleh karena itu, mumpung wacana “intim tapi berjarak” sedang mendapat momentumnya, inilah waktu yang tepat bagi dunia politik untuk melakukan revolusi menjadi lebih digital.
Inilah Era ‘e’
Tanpa kehadiran Covid-19 pun, digitalisasi kehidupan masyarakat sudah dimulai ketika perkembangan teknologi bertemu dengan kelahiran generasi millenial. Maka tidak heran jika generasi milenial identik dengan gawai seperti ponsel pintar.
Bagi generasi milenial, gawai ibarat gaman. Dalam tradisi jawa, gaman diartikan sebagai pusaka yang memiliki kekuatan supranatural. Orang yang memiliki gaman dapat menguasai dunia.
Dalam konteks hari ini, bukankah gawai juga dapat melahirkan kekuatan ekonomi dan politik? Kita menyaksikan bagaimana orang mampu menghasilkan uang jutaan bahkan milyaran rupiah dari menjadi Youtuber, atau berjualan lewat e-commerce yang semuanya dikendalikan lewat gawai.
Di bidang politik Facebook telah berjasa melahirkan peristiwa penting seperti Arab Spring. Ditambah, sudah berapa banyak pemimpin politik yang memenangi pemilu karena cerdik memanfaatkan media sosial lewat gawai.
Inilah era 4.0, sebuah era digital yang ditandai dengan terintegrasinya seluruh aktivitas manusia dalam gawai dan internet. Era ini ditandai dengan munculnya istilah “e-“, seperti e-commerce, e-government, e-banking, dan lain-lain.
Pada e-commerce, penyedia jasa transportasi, informasi, toko kelontong, elektronik, mebel, dan lain-lain mengubah moda usahanya menjadi daring. Hasilnya revolusioner.
Ekonomi digital dapat memangkas sekat dan jalur distribusi yang menghalangi produk menuju konsumen. Model jual beli langsung ini membuat harga suatu produk menjadi lebih efisien.
Menurut Widowati (2019), Indonesia adalah negara peringkat teratas pertumbuhan e-commerce tercepat di seluruh dunia, diikuti Meksiko, Filipina, Kolombia, Uni Emirat Arab, Vietnam, Arab Saudi, Israel, India, dan Tiongkok.
Ketika dunia ekonomi berubah menjadi digital, dunia politik masih mempertahankan sifat kekolotan dan kekotorannya. Jangankan mengintegrasikan diri ke dalam kemajuan teknologi informasi, dunia politik justru masih mempertahankan sifat korup, tidak transparan, dan tidak bertanggung jawab.
Yuval Noah Harari (2015) sudah memprediksi bahwa pemerintah dan partai politik merupakan institusi yang paling gagal dalam memanfaatkan era kemelimpahruahan data.
Di Indonesia, politik sebenarnya sudah terdisrupsi. Lembaga survei Charta Politika tahun 2018 (dalam Putri, 2018) mengungkap bahwa partai politik dan lembaga parlemen menempati 4 besar lembaga paling tidak dipercaya oleh masyarakat.
Artinya kalau pemerintah, partai politik, dan warga politik lainnya mau tetap survive, maka mereka juga harus mengintegrasikan diri dalam arus revolusi teknologi informasi.
Menuju e-democracy
Sekarang, Covid-19 telah memaksa kita untuk menekan tombol restart di segala bidang kehidupan. Masyarakat yang tadinya belum terintegrasi dunia digital, mau tidak mau harus mengintegrasikan diri.
Masyarakat yang sudah mengenal dunia digital, semakin memperdalam integrasinya dengan dunia digital. Sebetulnya pemerintah telah menangkap situasi ini. Salah satu buktinya adalah penerapan pajak pada produk-produk digital dan layanan streaming. Semua sendi kehidupan terdisrupsi menuju digitalisasi. Namun, kok, belum ada langkah nyata untuk medigitalisasi kehidupan politik.
Institusi politik seperti pemerintah, partai politik, atau anggota legislatif, bukannya tidak merespon kemajuan teknologi informasi. Sayangnya, kurang greget. Mereka baru merambah politik “di” era digital, daripada bertransformasi ke dalam “politik digital”.
Makna politik di era digital hanya terbatas pada sosialisasi informasi lewat media sosial. Sebaliknya politik digital yang didambakan adalah situasi ketika masyarakat terlibat langsung secara daring dalam pembuatan kebijakan publik. Institusi politik harus mendorong dan mengupayakan politik digital ini kalau mau tetap signifikan di masyarakat.
Untuk membayangkan seperti apa politik digital itu, kita bisa belajar pada e-commerce. Saat ini kita mengalami sendiri betapa mudahnya membeli barang kebutuhan.
Kita tinggal masuk marketplace (Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Lazada, Zalora, dll), memilih barang yang disuka, berkomunikasi, atau bernegosiasi dengan penjual, memilih jasa pengiriman, memantau sampai mana pesanan kita diproses dan dikirim, dan menyatakan komplain jika barang yang dikirim tidak sesuai harapan dan spesifikasi.
Penjual yang tidak responsif akan kehilangan kepercayaan. Rating tokonya anjlok. Akibatnya kepercayaan dari konsumen akan hilang. Semua dinamika kompleks itu terjadi dalam gawai, dengan swipe dan ketukan jempol.
E-democracy mestinya juga didesain seperti itu. Pemanfaatan internet harus dimulai sejak awal politik formal diselenggarakan, yaitu pemilu. Saat ini, pemerintah gagap dan gugup ketika menghadapi Pilkada Serentak di era pandemi.
Wacana yang berkembang adalah apakah pilkada serentak ini harus dilaksanakan atau tidak. Mestinya, pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk melaksanakan pilkada secara online.
Misalnya, satu NIK (Nomor Induk Kependudukan) didaftarkan dengan satu nomor telepon. Dunia Perbankan sudah lama menerapkan mekanisme ini dalam hal layanan e-banking atau mobile banking. Dan toh masyarakat memberikan trust pada sistem itu. Tidak ada yang mustahil.
Sudah banyak negara yang melaksanakan e-voting dalam pemilu mereka. Di antaranya adalah Kanada, Finlandia, Lithuania, Amerika Serikat, Brasil, India, Estonia, bahkan terakhir adalah Filipina. Salah satu masalah dalam e-voting adalah keamanan data.
Namun demikian teknologi juga semakin maju dengan adanya teknik pengamanan data sebagaimana telah diteliti oleh Esti Rahmawati Agustina dan Agus Kurniati (2009) dari Lembaga Sandi Negara.
Melalui studi berjudul “Pemanfaatan Kriptografi Dalam Mewujudkan Keamanan Informasi Pada e-Voting di Indonesia”, Agustina dan Kurniati mengatakan bahwa fungsi kriptografi dapat digunakan dalam e-voting untuk menjamin keamanan data. Apabila e-voting ini dilakukan, maka akan ada penghematan anggaran sebanyak 11 Triliun.
Setelah melakukan e-voting, masyarakat juga dapat melakukan e-policy dengan para anggota legislatif pemenang pemilu. Masyarakat dapat mengusulkan atau memilih kebijakan publik yang mau diundangkan, berdiskusi, atau bernegosiasi langsung dengan pemerintah atau anggota dewan melalui smartphone.
Masyarakat juga dapat memantau kebijakan yang dikehendakinya itu ditolak atau diterima. Kalau diterima, masyarakat bisa mengawasi, apakah kebijakan itu sudah sampai tahap pembuatan naskah akademik atau harmonisasi antar stakeholders, atau sudah memasuki fase penyusunan peraturan rancangan undang-undang.
Masyarakat dapat berdialog dengan pembuat kebijakan atau wakil rakyatnya secara daring ketika suatu kebijakan publik tidak sesuai dengan aspirasinya.
Masyarakat juga bisa memberi rating kepuasan terhadap anggota dewan, semudah dan seperti ketika masyarakat memberi rating kepada pegawai Alfamart/Indomart. Semua ini dilakukan melalui gawai. Tanpa keringat dan teriak-teriak. Seluruh rangkaian inilah yang disebut dengan e-democracy.
Dalam dunia politik digital, teori politik David Easton hancur lebur. Menurut Easton, proses politik merupakan “kotak hitam” yang di dalamnya terdapat berbagai “proses rahasia” negosiasi antar aktor politik.
Disebut rahasia karena publik tidak dapat menjangkau, mengetahui dan mengontrol proses negosiasi itu. Dalam politik digital, kotak hitam itu berubah menjadi transparan. Masyarakat dapat menyampaikan aspirasi, mengetahui bagaimana, oleh siapa, dan sampai mana aspirasinya diperjuangkan.
Epilog
Para politisi dan pengampu kebijakan hari ini harus mengantisipasi tantangan zaman sekarang. Pandemi Covid-19 ini bisa dijadikan sebagai kesempatan untuk me-restart kehidupan politik yang berjalannya masih sangat konvensional ini.
Masyarakat menunggu, apakah demokrasi kita akan melangkah menuju e-democracy. Kalau tidak, politik akan semakin dianggap sebagai dunia para alien, yang tidak terjamah oleh masyarakat. Ketika otoritas politik tidak dipercaya, maka masyarakat akan merasa bahwa negara adalah entitas yang tidak lagi relevan.
Jika ini terjadi, prediksi Yuval Noah Harari makin nyata menghampiri: “Politik dan institusi demokrasi akan hancur lebur tergilas kemajuan teknologi”.
Peneliti di Sekretariat Jenderal DPD RI. Sedang merintis program “Lets Read Great Again” bersama beberapa aktivis literasi. Pernah menulis buku berjudul Mental Kolonial (2017). Beberapa tulisannya dapat dibaca di blog pribadi zamzammuhammadfuad.blogspot.com dan birokratmenulis.org.
0 Comments