Sejak dinyatakan dalam pidato pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019 yang lalu, isu tentang pemangkasan birokrasi pemerintahan menjadi topik bahasan yang cukup menghangatkan dalam berbagai obrolan. Tak hanya dalam forum resmi, pembahasan tentang “debirokratisasi” ini juga menjadi headline pada berbagai media massa hingga menjadi bahan obrolan di grup-grup WA.
Tak luput dari pembahasan tersebut, kantor saya – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) – turut menjadi buah bibir, disanjung-sanjung karena telah lebih dulu “berani” melakukan pemangkasan posisi jabatan struktural besar-besaran, jauh sejak 18 tahun yang lalu.
Tidak tanggung-tanggung, tercatat ada lebih dari 500 posisi eselon IV yang dipangkas pada tahun 2001 – di paparan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) terminologi pemangkasan ini diperhalus istilahnya menjadi pengalihan. Gebrakan ini kemudian masih disambung lagi dengan pemangkasan posisi eselon III dan IV sebanyak 141 posisi pada tahun 2014-2016.
Lalu, apakah yang menjadi motivasi di balik kebijakan pemangkasan struktur birokrasi itu? Mengutip sebuah artikel karya pak Eko Prasojo di laman Kompas, pemangkasan birokrasi bertujuan mengubah instansi-instansi pemerintahan menjadi lebih ramping – sederhana – lebih gesit – lebih cepat dan bermanfaat dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Garis besarnya ialah, kalau struktur jabatan ini dipangkas, maka kemudian akan hadir organisasi-organisasi pemerintahan yang lebih kaya fungsi, ketimbang kaya struktur. Menurut mandat presiden, kebijakan ini ialah langkah penting dalam Reformasi Birokrasi.
Mencoba berpikir secara lebih strategis, saya kemudian menggali informasi dari literatur dan wawancara tentang bagaimana sebenarnya persoalan strukturisasi dan kinerja. Khususnya, di kantor saya BPKP tercinta.
Yang sangat melegakan dan membuat saya bangga adalah bahwa kebijakan pemangkasan yang pernah terjadi pada 2001 dan 2014-2016 yang lalu merupakan sebuah bukti bahwa instansi kami berusaha menjadi sebuah institusi yang responsif dan adaptif.
Namun begitu, membaca berbagai komentar tentang isu debirokratisasi yang menimbulkan berbagai pro kontra tak ayal memaksa saya memperluas pengamatan tentang bagaimana sebenarnya praktik administrasi publik di Indonesia. Dari sana muncul satu pertanyaan mendasar:
“Dengan judul debirokratisasi, apakah benar eselon III dan IV itu memang perlu dipangkas? Kalau iya, dihilangkan total atau tetap dipertahankan sebagian?”
Birokrasi Indonesia, Paham Weberian, dan Kritik Terhadapnya
Dalam berbagai pendapat disimpulkan bahwa pemerintahan Indonesia merupakan penganut yang taat terhadap model Weberian, sebuah paham yang diinisiasi oleh Max Weber (1948). Weberian menganalogikan birokrasi pemerintahan sebagai sebuah mesin atau alat mekanis untuk mencapai tujuan tertentu dengan mengedepankan nilai-nilai efisiensi, output standar, dan kepastian.
Untuk menerapkan nilai-nilai ini, dibutuhkan adanya pembagian kerja dan meritokrasi sebagai syarat utama berkembangnya keahlian/kompetensi demi menciptakan profesionalitas birokrasi. Dalam rangka menjamin berjalannya setiap bagian dari unit-unit ini kemudian dibutuhkan alat pengendalian atau supervisi berupa struktur organisasi yang berjenjang atau hierarkis.
Tentu saja, keberadaan hierarki tersebut kemudian mensyaratkan pula hadirnya formalisasi, standar kegiatan, prosedur, dan kebijakan tentang hubungan antarlevel pada struktur organisasi.
Meskipun Weber sendiri mengakui bahwa konsep Weberian untuk menciptakan Birokrasi Tipe Ideal merupakan sebuah ide yang sangat sulit diwujudkan, tetapi konsepsi ini masih banyak dianut karena menjadi alternatif yang lebih mudah untuk diterapkan, terlebih ketika dihubungkan dengan faktor sosio-kultural yang paternalistik seperti di Indonesia.
Banyak kritik bermunculan tentang penerapan Weberian dalam birokrasi. Salah satunya tentang keberadaan struktur yang justru menghalangi akses kelompok marjinal (masyarakat miskin, perempuan, golongan difabel, dan penduduk yang tinggal di lokasi terpencil) terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk memperoleh layanan publik yang semestinya disediakan oleh birokrasi.
Secara internal organisasi pun, keberadaan struktur yang rumit dan berjenjang juga menghadirkan permasalahan-permasalahan seperti adanya konsentrasi kekuasaan pada unit sentral organisasi, mengurangi partisipasi dan emansipasi dari para karyawan terhadap pengambilan keputusan penting dalam organisasi.
Kurangnya partisipasi ini pada akhirnya mengurangi kualitas dari kebijakan dan memperlambat organisasi pemerintah mengambil tindakan untuk merespons dinamika yang terjadi di lingkungan eksternal.
Seringkali pula, fragmentasi atau pengkotak-kotakan terhadap fungsi organisasi dalam unit-unit kerja tertentu memberikan dampak negatif berupa kurangnya sense of belonging atas tujuan organisasi secara keseluruhan dan kurang sehatnya iklim hubungan antara atasan dan bawahan.
Tak mengherankan jika keberadaan struktur yang hirarkis dalam birokrasi di Indonesia mendapat tekanan yang cukup berat. Dari leveling susunan manajerial institusi – pejabat negara, eselon I, II, III, IV, dan V – posisi eselon III ke bawah menjadi sasaran untuk penyederhanaan struktur. Bahasa lainnya, dihilangkan.
Teori Kurva J-Birokrasi
Pada tahun 1994 Calden, seorang ilmuwan administrasi publik lainnya, merumuskan teori tentang Kurva J-Birokrasi. Disebut pula sebagai parabolic theory of bureaucracy, teori ini membahas tentang bagaimana struktur birokrasi berhubungan dan kinerja organisasi.
Teori ini sangat relevan dengan pembahasan mengenai struktur organisasi dalam pemerintahan, salah satunya membantu menjelaskan tentang mengapa kemudian timbul kritik atas penerapan konsep Weberian dalam tata organisasi pemerintahan di banyak negara.
Merujuk pada Kurva J-Birokrasi di atas dapat dijelaskan bahwa pada kondisi tertentu, birokratisasi – yaitu penerapan berbagai prinsip dan· karakteristik birokrasi sebagaimana diajarkan oleh Weber: pembagian kerja, formalisasi, impersonalitas, hierarki, dan sebagainya – akan meningkatkan kinerja organisasi.
Akan tetapi, pola ini hanya akan berlangsung hingga titik optimalitas tertentu. Setelah melampaui titik tersebut, birokratisasi dan kinerja justru membangun hubungan yang kontraproduktif satu sama lainnya. Oleh karena itu, Calden menyarankan perlakuan yang berbeda-beda tergantung pada tiga faktor yang mempengaruhi eksistensi sebuah organisasi: sifat layanan, besaran organisasi, dan penggunaan teknologi informasi untuk mendukung performa institusi.
Profesor Agus Dwiyanto – seorang pakar administrasi publik, dalam bukunya “Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi” menorehkan catatan bahwa debirokratisasi atau pengurangan level struktur birokrasi semestinya tidak dilakukan sebelum tercapai titik optimalisasi atas kinerja organisasi.
Salah satu prasyaratnya ialah tentang penilaian atas karakteristik organisasi. Sebagai pengembangan dari teori J-birokrasi, terdapat tiga tipe hubungan antara birokratisasi dan kinerja: Tipe A, B, dan C. Instansi Tipe A memiliki tipe birokrasi yang tidak membutuhkan tingkat birokratisasi yang tinggi, sebab struktur tugas bersifat inovatif, kualitas administrator tinggi, dan lingkungannya cenderung dinamis.
Kontras dengan itu, instansi pemerintah pada Tipe C adalah organisasi yang membutuhkan tingkat birokratisasi yang tinggi. Sebab, dalam proses bisnis instansi ini memang dibutuhkan struktur yang hierarkis, pekerjaannya lebih banyak bersifat rutin, kualitas administrator rendah, dan lingkungannya statis. Sementara itu, Tipe B merupakan moderasi dari A dan C.
Teori 5 Elemen Generik Henry Mintzberg
Salah satu model konfigurasi organisasi yang lazim dipakai sebagai kerangka teoretis dalam disiplin ilmu manajemen organisasi adalah model 5 Elemen Generik yang digagas Henry Mintzberg pada tahun 1979. Mintzberg menyebutkan bahwa setiap organisasi terdiri atas 5 elemen utama, yaitu:
- strategic apex, manajemen puncak yang terdiri atas para direktur dan eksekutif senior. Level jabatan ini menentukan misi organisasi, mengendalikannya dan bertanggung jawab dalam mengelola hubungan organisasi dengan lingkungan makro.
- middle line manager, ialah manajer level menengah yang menghubungkan manajemen puncak dan pelaksana teknis. Peran terpenting yang diembannya ialah memastikan bahwa kinerja teknis telah sesuai dengan ekspektasi dan perencanaan manajemen puncak. Eselon III dan IV berada dalam kelompok ini.
- operating core, adalah pelaksana teknis yang bertugas untuk menjalankan aktivitas yang diperlukan dalam menghasilkan output organisasi. Di sinilah kelompok jabatan fungsional yang paling sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi berada.
- technostructure atau technical support, terdiri atas individu dan tim yang berperan dalam menciptakan inovasi di lini teknis dan membantu organisi untuk berubah dan beradaptasi. Sebagai contoh ialah unit penelitian pengembangan, teknologi informasi, dan kehumasan.
- administrative support, merupakan staf pendukung yang bertanggung jawab atas kelancaran operasi serta pemeliharaan organisasi yang terdiri atas elemen fisik dan elemen manusia. Dukungan administrasi meliputi fungsi-fungsi sumber daya manusia dan fungsi pemeliharaan dan rumah tangga kantor.
Dalam gambar konsepsi Mintzberg, komposisi ideal struktur organisasi terdiri dari 5 komponen yang saling bekerja sama. Berdasarkan penjelasan Mintzberg ini, eselon III dan IV yang berperan sebagai middle line managers merupakan bagian yang harus ada dalam organisasi.
Posisi ini berperan membantu pengendalian oleh manajemen puncak dan menghubungkannya dengan ketiga komponen organisasi yang lain: kelompok fungsional (operating core), techno-structure, dan supporting staff. Keberadaan middle line manager ini perlu ada, tetapi idealnya diilustrasikan sebagai bagian yang tipis saja, alias tidak perlu terlalu banyak kuantitasnya.
Jadi, Pangkas Total atau Sebagian?
Mari coba kembali pada motivasi diskusi tulisan ini, tentang apakah pemangkasan struktur birokrasi akan meningkatkan kinerja. Membaca kritik atas Weberian, mempelajari konsepsi kurva J-birokrasi, dan teori Mintzberg tentang struktur organisasi, dalam hemat saya jawaban atas pertanyaan ini akan sangat tergantung pada bagaimana kondisi yang terjadi pada setiap organisasi.
Saya berada pada golongan yang percaya bahwa struktur birokrasi di Indonesia memang membutuhkan simplifikasi. Peran fungsional adalah pilihan yang lebih baik dan lebih banyak dibutuhkan ketika birokrasi kita ingin mengoptimalkan kinerjanya. Akan tetapi, tentu saja, saya juga sangat setuju dengan pendapat Prof Agus Dwiyanto bahwa debirokratisasi sebaiknya dihindari sebelum titik optimal kinerja telah dicapai oleh organisasi.
Selain itu, kompleksitas birokratisasi atau struktur organisasi mesti menyesuaikan dengan proses bisnis organisasi. BPKP, instansi di mana saya mengabdi, jelas merupakan sebuah organisasi dengan Tipe A. Sebab untuk menjalankan tugasnya dibutuhkan inovasi dan penyesuaian atas lingkungan yang dinamis. Bagi instansi ini, simplifikasi struktur adalah sebuah kebijakan yang sangat relevan.
Meskipun begitu, pemangkasan atas posisi middle line managers tidak memangkas habis-habisan jabatan eselon III dan IV hingga tidak terdapat sama sekali, hanya mengurangi. Itu pula yang dilakukan di BPKP.
Sebagaimana dikatakan oleh Mintzberg, keberadaan posisi eselon III dan IV alias middle line managers ini masih sangat penting di organisasi, sebagai penyambung komunikasi dan kendali antara pengelola level puncak, dan ketiga komponen lain di posisi operasional.
Bagaimana dengan kantor Anda?
(*credit: publikasi tulisan ini untuk kalian: Nadia, Fidel, dan Mbak Ruly. Terima kasih untuk diskusinya!)
Seorang pekerja sektor publik yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal.
Membuka wawasan saya tentang teori-teori di ilmu administrasi publik. Artikel yang informatif!
Mungkin dijudul perlu ditambahkan tinjauan teori
Keren dan mencerahkan, mbak.
clear description, yg perlu dicatat proses debirokratisasi d bpkp tdk hanya krn faktor internal tapi juga perubahan dan tuntutan external yg melingkupi
Bagus dan bermanfaat