
Tulisan ini berangkat dari sebuah paradoks yang umum terjadi di birokrasi:
Pegawai yang benar-benar berkinerja
belum tentu sempat mengisi atau melaporkan kinerja hariannya.
Di sisi lain, pegawai yang rajin mengisi kinerja harian belum tentu mencerminkan
kinerja yang sesungguhnya.
Paradoks ini menggambarkan adanya ketimpangan aktivitas nyata dan pelaporan administratif. Di sinilah saya kemudian teringat pada pengalaman pribadi saat bekerja sebagai freelancer di platform global seperti Upwork, yaitu sebuah pasar kerja daring yang menghubungkan klien dan freelancer dari seluruh dunia.
Bagaimana Upwork Bekerja?
Di Upwork, proses kerja dimulai dari klien yang membuat proyek atau tugas. Kemudian, freelancer mengajukan proposal, atau kadang klien langsung menunjuk freelancer yang dianggap cocok. Jika dilihat, ini seperti seorang atasan di birokrasi yang memberikan tugas kepada tim atau individu berdasarkan kompetensi dan kapasitasnya.
Hal yang menarik, untuk pekerjaan berbasis jam, Upwork menggunakan Time Tracker, yaitu aplikasi desktop yang otomatis mencatat waktu kerja freelancer, mengambil tangkapan layar secara berkala, dan mencatat aktivitas melalui pergerakan mouse dan keyboard.
Klien bisa memantau kontribusi freelancer secara real-time, dari mulai berapa lama mereka bekerja, apa saja yang mereka buka di layar, hingga kapan mereka aktif atau idle.
Pertanyaannya, bisakah sistem ini diterapkan oleh birokrasi?
Jawabannya: sangat mungkin, bahkan pondasinya sudah ada. Hanya perlu pengintegrasian dan penyempurnaan, agar pelaporan kinerja bisa otomatis, real time dan benar-benar mencerminkan kontribusi nyata seperti sistem di Upwork.
Penerapan di Birokrasi
Contoh nyatanya sudah terlihat pada pekerjaan yang berkaitan dengan Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara (SIASN), yang dalam beberapa hal sudah terhubung dengan aplikasi e-Kinerja. Namun, masih banyak pekerjaan lain yang belum terekam otomatis karena tidak semua aktivitas berbasis aplikasi SIASN.
Dalam bayangan saya, sistem birokrasi idealnya bekerja seperti ini:
- Pekerjaan diturunkan oleh atasan (klien) ke pegawai atau tim kerja (freelancer);
- Pegawai menerima tugas dengan deskripsi jelas, tenggat waktu, dan ekspektasi kualitas;
- Pegawai mulai bekerja dan menggunakan sistem pelacakan aktivitas kerja (mirip Time Tracker), sehingga kontribusinya dapat terlihat secara transparan.
- Atasan dapat melihat langsung siapa yang mengerjakan apa, berapa lama, dan progressnya sejauh mana.
Sebenarnya, teknologi sejenis sudah tersedia secara luas. Pemerintah tidak harus membangun sistem dari nol. Ada banyak perangkat lunak pelacakan waktu yang bisa diintegrasikan dengan sistem kerja yang sudah ada.
Seperti misalnya, Desk Time Tracker, atau beberapa platform lainnya seperti yang terlihat pada gambar berikut:
Dari berbagai pilihan yang tersedia, pemerintah perlu melakukan uji coba beberapa platform terlebih dahulu sebelum menentukan yang paling sesuai dengan kebutuhan.
Tujuan Utama: Transparansi Kontribusi, Bukan Kontrol Total
Hal yang perlu ditekankan adalah, tujuan implementasi sistem ini bukan untuk mengawasi secara berlebihan, tetapi agar kontribusi setiap pegawai terlihat dan terukur secara objektif. Sistem ini juga bisa membantu atasan untuk membuat keputusan berbasis data, bukan persepsi semata.
Selain itu juga perlu ada pengelolaan ekspektasi pimpinan. Di dunia freelancer, klien hanya membayar waktu kerja yang benar-benar produktif. Pergi ke toilet, ambil minum, makan siang, atau ngobrol santai tidak dihitung sebagai waktu kerja.
Oleh karena itu, Upwork menentukan standar minimum upah sebesar USD 3 per jam untuk freelancer pemula yang mengerjakan tugas-tugas administratif. Freelancer pemula adalah mereka yang belum memiliki portfolio dan pengalaman sebagai freelancer di Upwork.
Sementara itu, pekerjaan yang membutuhkan keahlian lebih, tentu saja dihargai lebih tinggi.
Pelacakan Waktu yang Fleksibel
Sistem pelacakan waktu tidak harus aktif sepanjang hari. Pegawai diberi keleluasaan untuk menyalakan tracker hanya saat mereka mulai mengerjakan tugas tertentu, dan mematikannya saat jeda atau ketika pekerjaan selesai.
Untuk jenis pekerjaan yang tidak bisa terekam secara otomatis seperti diskusi strategis, rapat luring, menelaah dokumen cetak, atau perjalanan dinas, pegawai tetap bisa mencatat aktivitas tersebut secara manual ke dalam log harian.
Sebaliknya, pekerjaan administratif seperti entri data, penyusunan dokumen, pembuatan bahan presentasi, hingga konsep surat dinas bisa terekam otomatis melalui pergerakan mouse dan keyboard.
Dengan pendekatan ini, sistem pelacakan menjadi fleksibel dan adaptif terhadap ragam aktivitas pegawai, tanpa menambah beban administratif.
Tracker yang aktif akan mencatat aktivitas secara otomatis, sehingga pegawai tidak perlu lagi direpotkan dengan laporan harian panjang yang seringkali menyita waktu dan energi.
Dengan sistem seperti ini, ASN juga semakin siap untuk bekerja dari mana saja. Mobilitas bukan lagi kendala, selama tugas jelas, proses kerja terdokumentasi, dan hasil dapat dilacak secara transparan. Hal ini bisa menjadi langkah awal menuju birokrasi yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan.
Sistem seperti ini juga menjawab
paradoks klasik di birokrasi: bahwa pegawai yang benar-benar bekerja
justru sering tidak sempat mengisi laporan.
Dengan pelacakan otomatis, kerja nyata bisa langsung terekam dan diakui tanpa harus dituangkan kembali dalam bentuk laporan terpisah.
Menghindari Jebakan Produktivitas
Namun, penting untuk dipahami bahwa tidak realistis menuntut ASN untuk selalu produktif penuh selama delapan jam setiap hari.
Dalam praktik birokrasi, ada momen di mana pegawai harus menunggu arahan lanjutan setelah menyelesaikan tugas sebelumnya. Situasi ini bukan berarti pegawai tidak bekerja, melainkan mencerminkan sifat birokrasi yang cenderung mengikuti alur instruksi dan hirarki.
Oleh karena itu, dalam sistem pelacakan waktu seperti yang diterapkan di dunia freelance, momen-momen seperti ini perlu dipahami secara kontekstual agar tidak menimbulkan kesan seolah-olah pegawai tidak produktif.
Selain itu, dalam hari-hari tertentu, beban kerja bisa meningkat secara drastis tanpa disertai sistem lembur yang fleksibel atau insentif yang layak. Sementara itu, sistem penggajian bulanan yang berlaku belum mencerminkan fluktuasi beban kerja yang dinamis.
Karena itu, penerapan time tracker harus disertai pemahaman menyeluruh terhadap ritme kerja birokrasi agar tidak menciptakan ekspektasi yang tidak realistis.
Dalam menyampaikan konsep ini, perlu kehati-hatian: bukan berarti pegawai tidak bekerja, tetapi sifat pekerjaan birokrasi memang tidak selalu linier dan mudah diukur.
Kita harus berhenti melihat produktivitas hanya dari seberapa penuh jam kerja terisi, dan mulai melihat nilai dari kontribusi yang nyata, terlepas dari bentuk atau waktunya.
Hal yang Harus Disiapkan
Sistem secanggih apa pun tidak akan efektif tanpa disertai reformasi dalam pengelolaan kinerja.
- Pertama, perlu ada proses review dan validasi yang objektif oleh pejabat penilai. Pimpinan harus memiliki pemahaman yang jelas tentang standar waktu dan kualitas untuk setiap jenis pekerjaan.
- Kedua, perlu ada sistem penggajian dan tunjangan yang lebih adil. Pegawai yang menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dan menunjukkan kinerja tinggi harus mendapatkan insentif yang sepadan. Sistem reward harus berbasis pada kontribusi aktual, bukan sekadar jabatan struktural atau masa kerja.
- Ketiga, penting untuk menyesuaikan ekspektasi dengan realitas.
Tidak realistis mengharapkan pegawai bekerja produktif secara penuh selama delapan jam setiap hari. Bahkan dalam sistem yang sangat terukur seperti Upwork, tidak semua jam dianggap produktif. Karena itu, pimpinan harus lebih empatik dan bijak dalam menilai beban kerja dan capaian pegawai.
Penutup
Mengadopsi sistem time tracker ke dalam birokrasi merupakan upaya memperbaiki cara menilai dan mengelola kinerja ASN secara lebih adil, objektif, dan transparan. Kita perlu meninggalkan paradigma lama yang hanya menitikberatkan pada kehadiran fisik dan laporan administratif.
Kita membutuhkan sistem yang tidak hanya mencatat apa yang terlihat, tetapi benar-benar menangkap substansi kontribusi pegawai. Dengan pendekatan ini, birokrasi bisa menghadirkan kepercayaan berbasis data tanpa kehilangan sisi manusiawi dari pekerjaan publik yang dijalankan. Selain itu, pendekatan ini juga dapat membuka jalan bagi pola kerja yang lebih fleksibel.
Namun, teknologi hanyalah alat.
Tanpa reformasi dalam budaya kerja, sistem insentif yang adil, serta kepemimpinan
yang empatik dan berbasis pemahaman, maka transformasi ini tidak akan
memberi hasil yang diharapkan.
Maka, mari mulai dengan satu hal sederhana:
percaya bahwa ASN juga bisa bekerja dengan integritas, selama sistem mendukung mereka untuk dihargai secara benar.
Terima kasih banyak Pak Eka untuk apresiasi dan insightnya ^^
Keren tulisannya, namun ada juga yang perlu mendapat perhatian yaitu:
1. Tidak semua pegawai bekerja dibelakang monitor, ada pegawai yg bekerja sebagai sopir, satpam, mengurusi listrik, gedung, & kebersihan kantor terutama PPNPM yg diangkat sebagai P3k
2. Delapan jam bekerja itu bukan selalu digunakan utk bekerja, namun ada yg digunakan utk sholat, keperluan pribadi seperti makan, dan buang hajat dll.
Jadi kalau ditanya apakah Sistem Time Tracker dapat diadopsi untuk ASN ?
Maka, jawabannya sangat memungkinkan, namun perlu ditelaah & dikaji lebih mendalam dan komprehensif, termasuk dua hal di atas perlu mendapat perhatian, atau mungkin hal-hal yang lain.
Terima kasih ya…. tulisannya keren cadas !