Jumat sore di kampus Unhas, hujan mengguyur Makassar seharian hingga sore tadi. Suasana kampus sepi, hanya terlihat beberapa mahasiswa yang lalu-lalang karena masih dalam suasana libur kuliah.
Saya sendirian, duduk di samping ruang akademik pascasarjana Ilmu Komunikasi, masih memeriksa ulang dokumen-dokumen terkait keperluan seminar proposal mendatang.
Sambil menunggu hujan reda, tiba-tiba, Wahyuddin, teman sekelas saya, menghubungi, meminta tolong di-print-kan beberapa lembar dokumen. Saya teringat sebuah tempat jasa print di sekitar kampus, yang saya yakin masih buka di jam-jam seperti ini.
“Pas, sekalian saja saya print di sana,” gumam saya, sembari beranjak dari kursi.
Saya segera bergegas menuju tempat yang saya ingat dengan baik, meskipun hujan masih terus mengguyur. Begitu tiba, suasana yang berbeda langsung menyambut saya, sebuah ruang sempit yang penuh dengan kesunyian, di mana suara mesin printer menjadi satu-satunya yang memecah keheningan.
Di sudut ruang yang sempit itu, di bawah cahaya kuning yang temaram, saya duduk memperhatikan Bapak yang bertopi hitam. Wajahnya sedikit tertutup bayang-bayang, namun setiap gerakannya tajam, penuh ketelitian.
Pintu kecil di depannya tertempel label sederhana: RUANG PRINT: Print, Jilid, Burning CD.
Lokasinya strategis, terletak di seberang kantin Fakultas Ekonomi, di samping area Fakultas Ilmu Budaya, tepat di bawah perpustakaan Fakultas Ekonomi. Mahasiswa yang terburu-buru, dosen yang sibuk, semua datang dan pergi, memesan print dokumen atau jilid, lalu menghilang tanpa menoleh lagi.
Bapak itu bekerja dengan tenang, tangannya lihai mengatur kertas dan printer yang terhubung dengan laptop kusamnya. Topi hitam selalu menutupi sebagian wajahnya, membuat ekspresinya sulit terbaca.
Beberapa mahasiswa datang dan pergi, membawa tumpukan tugas yang perlu dicetak atau dijilid. Saya mendengar mereka berinteraksi dengan Bapak, namun lebih sering mereka berbicara kepada diri mereka sendiri ketimbang kepada si pemilik usaha itu.
Bapak tidak pernah banyak bicara. Pertanyaannya singkat, jawabannya sesingkat itu pula. Ada kecanggungan yang tercipta setiap kali seseorang mencoba membuka percakapan. Dia hanya sesekali mengangguk atau menggeleng ketika mahasiswa datang membawa tumpukan tugas untuk dicetak.
Wahyuddin pernah bercerita bahwa usaha ini sudah berjalan bertahun-tahun. Tapi, sulit mengorek informasi lebih jauh karena Bapak itu memang irit kata. Mungkin itu sebabnya dia bertahan, tidak banyak bicara, hanya fokus pada pekerjaannya.
Sambil menunggu, saya mengamati sekeliling ruangan. Rak-rak penuh dokumen itu seolah menyimpan ribuan cerita. Ada tumpukan skripsi, makalah, bahkan buku-buku tua yang sudah mulai menguning.
Saya membayangkan betapa banyak mahasiswa yang pernah datang ke sini, mungkin dengan wajah-wajah penuh kecemasan menjelang deadline, atau senyum lega setelah tugas mereka selesai dijilid rapi.
Ruangan kecil ini seperti saksi bisu perjalanan akademik banyak orang.
Tiba-tiba, Bapak itu mengangguk kecil, menandakan dokumen saya sudah selesai. Saya membayar dengan 20-ribuan, dan dia menerimanya tanpa sepatah kata pun sembari mengembalikan uang sejumlah 13 ribu.
Saat saya berbalik untuk pergi, saya mencuri pandang terakhir ke arahnya. Dia sudah kembali fokus pada mesin printernya, seolah dunia di luar ruangan itu tidak ada artinya. Saya tersenyum, merasa seperti baru saja menyaksikan sebuah fragmen kehidupan yang sederhana namun penuh makna.
“Siapa tahu, mungkin saja dia punya cerita yang lebih menarik dari sekadar kertas dan tinta ini,” batin saya. Saya membayangkan dia masih duduk di sana, sendirian, terus bekerja, terus berjuang dalam kesunyiannya.
Jam di tangan menunjukkan pukul 5 lewat, saatnya balik ke rumah, kembali menghangatkan suasana bersama keluarga.
Di ruang sempit itu, Bapak bertopi hitam bekerja tanpa suara. Dunia di luar berlari, tapi ia tetap di tempatnya, tenang, tekun, nyaris tak terlihat. Mungkin bukan kesepian yang ia pilih, melainkan kebebasan, sebuah perlawanan diam terhadap kegaduhan yang tak pernah benar-benar berarti.
Aku kembali memperhatikannya dari kejauhan. Tangannya cekatan, matanya fokus, seolah setiap lembar kertas yang keluar dari mesin itu bukan sekadar cetakan, tapi jejak kecil dari kehidupannya.
“Seandainya saya jadi dia, apakah saya bisa bertahan?”, pertanyaan itu tiba-tiba muncul di benak saya.
“Tapi, apa tidak kesepian? Hidup sendirian di sudut kecil seperti ini?”, kembali ku bertanya.
“Kesepian? Mungkin. Tapi lihatlah, dia punya dunianya sendiri. Dunia yang mungkin lebih jujur daripada keramaian di luar sana.” Kembali kutepis pemikiran soal kesepian itu.
Bagi saya, dia adalah cerita yang menarik, cerita tentang hidup yang dijalani dengan sederhana dan tanpa banyak keluhan.
Saya tersenyum, “Mungkin, kita bisa belajar dari Bapak tukang print itu. Belajar untuk melihat kebenaran di balik ilusi, belajar untuk tidak pernah berhenti mempertanyakan segala sesuatu,” tanyaku pada bayangan diriku di kaca jendela.
Bayangan itu menatapku dengan tatapan ragu.
“Kedengarannya bagus. Tapi, apakah mungkin?”
“Mungkin saja,” jawabku.
“Selama kita masih punya akal sehat dan hati nurani.”
0 Comments