Dari Imajinasi ke Implementasi: Tata Kelola AI untuk Pemerintahan Modern

by | Aug 10, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

“To boldly go where no man has gone before”

-Star Trek series-

“Berani pergi ke tempat yang belum pernah dijelajahi oleh siapa pun sebelumnya” adalah kalimat yang mencerminkan semangat eksplorasi, keberanian, dan penemuan hal-hal baru yang menjadi inti dari misi kru Star Trek, sebuah serial yang pernah ditayangkan di televisi swasta Indonesia pada era 1980-an hingga awal 2000-an.

Kalimat ini sangat ikonik dan sering dikutip dalam konteks inovasi teknologi atau ilmiah. Kalimat ini juga rasanya tepat jika dianalogikan dengan Artificial Intelligence (AI). Perkembangan dan pemanfaatan AI di Indonesia saat ini ibarat lompatan ke “tempat” yang dulu hanya ada dalam khayalan. 

Sejarah AI dimulai dari imajinasi manusia,
sejak zaman dahulu kala manusia telah berimajinasi tentang mesin atau makhluk buatan yang mampu berpikir dan berperilaku seperti mereka. Jauh sebelum teknologi memungkinkan hal itu terjadi, gagasan tentang kecerdasan buatan (AI) sudah hidup dalam mitos dan cerita.

Dalam mitologi Yunani, ada kisah tentang Talos, seorang raksasa perunggu ciptaan dewa Hephaestus yang bertugas menjaga Pulau Kreta.

Talos digambarkan sebagai makhluk mekanik yang bisa bergerak dan berpikir layaknya manusia—sebuah gambaran awal tentang robot atau AI. Dalam literatur klasik, penulis seperti Mary Shelley lewat novel Frankenstein (1818) juga mengeksplorasi ide tentang ciptaan manusia yang memiliki kesadaran dan kecerdasan. 

Bagaimana ia Bermula

Pada tahun 1950, seorang matematikawan jenius bernama Alan Turing menulis makalah berjudul “Computing Machinery and Intelligence“.

Di dalamnya, ia mengajukan pertanyaan legendaris: “Can machines think?“—apakah mesin bisa berpikir? Turing juga memperkenalkan Turing Test, sebuah cara untuk mengukur apakah mesin bisa meniru perilaku manusia dalam percakapan. Inilah titik awal lahirnya konsep kecerdasan buatan secara ilmiah.

Istilah “Artificial Intelligence” pertama kali digunakan dalam konferensi di Dartmouth College, Amerika Serikat pada tahun 1956.

AI sendiri dapat didefinisikan sebagai kemampuan sistem perangkat lunak untuk menjalankan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia: penglihatan, ucapan, bahasa, pengetahuan, dan pencarian. Para ilmuwan percaya bahwa dalam beberapa dekade, mesin akan bisa belajar dan berpikir seperti manusia. 

Meski banyak eksperimen dilakukan, AI belum bisa memenuhi harapan. Komputer saat itu masih lambat dan mahal. Banyak proyek gagal, dan pendanaan pun menurun. Medio 1960 – 1980 dikenal sebagai AI Winter, ketika minat terhadap AI sempat “membeku”.

Kebangkitan AI dimulai di era yang kita anggap sebagai era modern yaitu pada 1980-2000.

  • AI mulai bangkit kembali lewat sistem pakar—program komputer yang bisa mengambil keputusan berdasarkan aturan tertentu. 
  • Di sektor hiburan, film dan fiksi ilmiah seperti Star Trek, Blade Runner, dan Ex Machina terus menghidupkan imajinasi tentang AI yang bisa berpikir, merasa, bahkan mengambil keputusan sendiri.
  • Di bidang medis dan industri, sistem ini mulai digunakan. Lalu muncul machine learning, yaitu teknik agar komputer bisa belajar dari data tanpa diprogram secara eksplisit.

Deep Blue, Data Mining, dan Deep Learning

Beberapa dari kita mungkin masih ingat dengan Deep Blue. Deep Blue adalah komputer catur super yang dikembangkan oleh IBM, merupakan komputer khusus yang dirancang untuk bermain catur pada tingkat grandmaster.

Deep Blue terkenal karena menjadi mesin pertama yang mengalahkan juara dunia catur saat itu, Garry Kasparov, dalam pertandingan standar di bawah aturan turnamen.

Deep Blue menggunakan kombinasi perangkat keras khusus dan algoritma pencarian canggih untuk mengevaluasi jutaan posisi catur per detik. Kemenangan Deep Blue dianggap sebagai tonggak penting dalam AI, juga memicu diskusi tentang batasan dan potensi AI dalam menyamai atau melampaui kemampuan manusia.

Periode 2000-2010 dengan internet dan data yang melimpah, AI mendapat “bahan bakar” baru. Komputer makin cepat, dan algoritma makin canggih.

Data mining atau penambangan data adalah kemampuan algoritma AI untuk memeriksa data mentah dalam jumlah besar untuk menentukan pola. Muncul deep learning, teknik yang meniru cara kerja otak manusia lewat jaringan saraf tiruan.

Jaringan syaraf tiruan adalah algoritma AI yang mengenali hubungan antara set data yang berbeda, mirip dengan cara otak manusia menganalisis informasi tersebut. AI mulai bisa mengenali wajah, suara, dan bahkan bermain game seperti manusia. 

AI itu mirip seperti manusia yang belajar dari pengalaman. AI mengumpulkan banyak data, lalu belajar sendiri tanpa harus dibantu manusia.

Selama proses itu, AI bisa menguji kemampuannya, belajar hal baru, dan makin pintar dari waktu ke waktu. Teknologi ini juga sanggup memproses jutaan data atau perintah dalam sekejap, tanpa lelah. Intinya, AI bisa kerja mandiri dan terus berkembang seiring waktu.

Semua ini menunjukkan bahwa AI bukanlah ide baru,
melainkan mimpi lama umat manusia yang kini mulai menjadi kenyataan.
Teknologi AI modern seperti machine learning dan deep learning hanyalah kelanjutan dari imajinasi panjang manusia tentang kecerdasan buatan—yang kini tidak lagi hanya ada di cerita,
tapi sudah hadir di kehidupan nyata.

Bagaimana Memanfaatkan AI untuk

Di tengah arus digitalisasi global, institusi publik di Indonesia menghadapi tantangan besar sekaligus peluang emas: bagaimana memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kualitas layanan publik, tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan etika.

AI bukan lagi sekadar wacana futuristik, melainkan kenyataan yang mulai meresap ke dalam berbagai aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

Meski potensi AI sangat besar, pemanfaatannya di sektor publik masih menghadapi sejumlah tantangan mendasar.

  • Pertama, masih rendahnya kesadaran dan kepemimpinan strategis dalam mendorong adopsi AI. Banyak pejabat publik belum memahami sepenuhnya manfaat dan risiko teknologi ini.
  • Kedua, kebijakan dan regulasi yang mendukung AI masih belum memadai, baik dari sisi perlindungan data, etika, maupun tata kelola.
  • Ketiga, infrastruktur digital dan kualitas data di banyak daerah masih tertinggal, terutama di luar Pulau Jawa.
  • Keempat, keterbatasan talenta digital dan literasi teknologi di kalangan aparatur negara menjadi penghambat utama.

Tantangan lainnya adalah risiko bias algoritma, pelanggaran privasi, dan ancaman keamanan siber. Tanpa pengawasan yang ketat, AI bisa memperkuat ketimpangan dan menciptakan keputusan yang tidak adil. Oleh karena itu, transformasi digital harus dilakukan secara hati-hati, dengan prinsip inklusivitas dan akuntabilitas.

Bagaimana Menjawab Tantangan?

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang menyeluruh.

  1. Pertama, menyusun kebijakan berbasis etika yang menempatkan manusia sebagai pusat dari setiap inovasi teknologi. Kebijakan ini harus mencakup perlindungan data pribadi, transparansi algoritma, dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan otomatis.
  2. Kedua, membentuk pusat inovasi AI yang menjadi wadah kolaborasi antara pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat sipil. Pusat ini dapat menjadi motor penggerak riset, pelatihan, dan pengembangan solusi AI yang relevan dengan kebutuhan lokal.
  3. Ketiga, memperkuat kapasitas digital aparatur negara melalui pelatihan keterampilan teknologi dan pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics—atau dalam Bahasa Indonesia: Ilmu Pengetahuan Alam, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika). Kelompok rentan dan daerah tertinggal harus mendapat perhatian khusus agar tidak tertinggal dalam transformasi ini.
  4. Keempat, membangun infrastruktur data yang interoperabel antar instansi, sehingga data tidak lagi terfragmentasi dan bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk analitik kebijakan dan layanan publik.
  5. Kelima, menetapkan sistem manajemen risiko yang proaktif, termasuk penilaian dampak algoritma dan mekanisme pengawasan manusia dalam setiap sistem AI yang diterapkan.

Sebagai bentuk komitmen terhadap pengembangan AI, pemerintah Indonesia telah merumuskan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020–2045. Strategi ini menjadi panduan utama bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi AI secara terarah dan bertanggung jawab.

Visi, Strategi, dan Etika

Visi strategi ini adalah mewujudkan Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur melalui pemanfaatan AI. Fokus utamanya mencakup lima sektor prioritas: layanan kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, serta kota pintar dan mobilitas.

Strategi ini juga menekankan pentingnya pengembangan talenta AI, pembangunan infrastruktur digital, dan penerapan prinsip etika dalam setiap aspek pengembangan teknologi. Salah satu inisiatif penting adalah penerapan program Satu Data Indonesia untuk menciptakan sistem data nasional yang terpadu dan dapat diakses lintas sektor.

Dalam mengelola teknologi AI, prinsip etika menjadi fondasi yang tidak bisa ditawar. Pemerintah Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip yang telah diterapkan oleh negara-negara maju dan organisasi internasional, antara lain:

  • privasi dan perlindungan data,
  • akuntabilitas,
  • keselamatan dan keamanan,
  • transparansi dan kemampuan dijelaskan,
  • keadilan dan inklusivitas,
  • kendali manusia atas teknologi,
  • tanggung jawab profesional, dan
  • peningkatan nilai kemanusiaan.

Kerangka tata kelola AI juga mencakup struktur kelembagaan, mekanisme pengawasan, dan panduan operasional yang memungkinkan pemerintah menjalankan program AI secara transparan dan berkelanjutan.

Pendekatan Bertahap Berbasis Kebutuhan

Adopsi AI di sektor publik tidak bisa dilakukan secara instan. Pemerintah perlu merancang pendekatan bertahap yang fleksibel dan berbasis kebutuhan. Proses ini mencakup identifikasi masalah, pengembangan solusi, pengujian prototipe, penerapan skala kecil, dan evaluasi berkelanjutan.

Tiga fondasi utama yang harus dibangun adalah: arsitektur teknologi yang terintegrasi, interoperabilitas sistem, dan standarisasi data.

Negara juga perlu memperbaiki masalah “silo data” yang membuat informasi terpisah-pisah dan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dengan membangun sistem data yang terintegrasi, pemerintah bisa mengambil keputusan berbasis bukti dan meningkatkan efisiensi layanan publik.

Pemerintah memiliki peran sentral dalam memastikan bahwa perkembangan AI tetap berpihak pada kepentingan manusia.

Beberapa langkah strategis yang dapat diambil antara lain:

  1. menyusun kebijakan berbasis etika dan kontekstual,
  2. mendorong kolaborasi lintas sektor,
  3. menjaga transparansi dan akuntabilitas,
  4. mengembangkan kapasitas SDM dan pendidikan STEM,
  5. memperkuat regulasi keamanan digital dan perlindungan privasi,
  6. memberikan insentif untuk inovasi dan kewirausahaan teknologi, serta
  7. mengelola risiko secara sistematis.

Transformasi institusi publik melalui AI bukan hanya soal teknologi, tetapi tentang membangun masa depan yang lebih adil, efisien, dan inklusif. AI harus menjadi alat untuk memperkuat pelayanan publik, bukan menggantikan peran manusia.

Pemerintah diharapkan terus menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap langkah digitalisasi, agar suara rakyat tetap didengar dan hak-hak tetap dilindungi.

Dengan semangat gotong royong dan visi yang jelas, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam ekonomi digital global. AI bukanlah akhir dari peran manusia, melainkan awal dari kolaborasi yang lebih bermakna demi Indonesia yang cerdas, berdaulat, dan berkeadilan.

1
0
Rian Ismaya Pirony ♥ Associate Writer

Rian Ismaya Pirony ♥ Associate Writer

Author

Seorang ibu rumah tangga dan ASN pada BPK RI, senang belajar dan berbagi tentang teknologi. Lewat tulisan, berharap bisa ikut mendorong transformasi digital yang lebih manusiawi dan inklusif.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post