Ketika Danantara didirikan, tujuannya bukan hanya sekadar mengelola aset negara dalam jumlah besar, tetapi juga menjadi pondasi baru dalam membangun perekonomian nasional yang lebih tangguh dan kompetitif di kancah global.
Dengan target aset mencapai USD 982 miliar, Danantara digadang-gadang
akan menjadi salah satu Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar di dunia, berdiri sejajar dengan entitas keuangan global seperti Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dan Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi.
Namun, dengan potensi yang besar juga datang tanggung jawab yang lebih besar: bagaimana memastikan bahwa setiap keputusan investasi Danantara dikelola dengan risiko yang terukur dan tata kelola yang transparan sehingga mampu mencapai tujuan yang telah diimpikan?
Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menguraikan Danantara dan tantangannya dari point of view risiko, bukan dari kacamata pengamat politik yang sudah terlalu banyak kita temui di media massa dan sosial.
High Risk High Return, antara Fakta dan Mitos
Dalam dunia bisnis termasuk dalam dunia investasi, hubungan antara risiko dan return (pengembalian) sering kali disalahartikan sebagai hubungan linier, di mana semakin tinggi risiko yang diambil, semakin besar pula return yang diperoleh.
Sebagai pondasi diskusi awal, prinsip dasar “no risk, no return” memang benar, karena tanpa mengambil risiko sama sekali, bisnis atau investasi tentu tidak akan mendapatkan imbal hasil yang berarti.
Namun, asumsi bahwa “high risk selalu menghasilkan high return” tidak selalu benar. Dalam praktiknya, tidak semua investasi yang berisiko tinggi menghasilkan keuntungan besar—banyak yang justru berujung pada kerugian signifikan.
Inilah mengapa hubungan antara risiko dan return tidak berbentuk garis lurus, melainkan mengikuti kurva lonceng atau Bell Curve Risk.
Dari kurva lonceng di atas dapat dilihat bahwa return tertinggi umumnya ditemukan di zona tengah (zone 2), bukan di ujung ekstrem dari spektrum risiko yaitu zone 1 atau 3. Pada sisi kiri kurva, kurang beraninya mengambil risiko berdasarkan distribusi normal hanya akan memberikan return yang rendah.
Secara sederhana dapat dianalogikan karena terlalu berhati-hati maka menyebabkan dana yang terhimpun hanya ditempatkan pada komponen investasi yang ber-return kecil, atau bahkan dana tersebut tidak digunakan sama sekali atau berstatus idle.
Sementara di sisi kanan kurva, perusahaan melakukan investasi dengan risiko yang sangat tinggi, yang sayangnya tidak selalu membawa return tinggi pula. Bahkan jika risiko diambil lebih dari kapasitas perusahaan maka dapat menyebabkan kerugian yang mengancam keberlanjutan bisnisnya.
Kedua zona ini akan berujung pada muara yang sama, tujuan tidak akan dapat dicapai. Oleh karena itu, pendekatan yang optimal bukanlah sekadar mengambil risiko sebanyak mungkin, tetapi memilih tingkat risiko yang terkendali dan terukur agar menghasilkan return yang optimal.
Dalam konteks lembaga seperti Sovereign Wealth Fund (SWF), keseimbangan risiko ini menjadi semakin penting karena dana yang dikelola bertujuan untuk memberikan dampak ekonomi jangka panjang.
Jika sebuah SWF seperti Danantara terlalu berhati-hati dan hanya menyalurkan dana ke proyek berisiko rendah seperti obligasi pemerintah atau infrastruktur dasar tanpa inovasi, maka potensi pertumbuhan ekonomi bisa tertahan dan investasi tidak memberikan nilai tambah yang maksimal.
Sebaliknya, jika SWF ini terlalu agresif dalam menanamkan modal ke proyek-proyek spekulatif, seperti startup teknologi yang belum memiliki profitabilitas jelas atau ekspansi tanpa studi pasar yang matang, maka risiko kerugian besar dapat mengancam stabilitas dana investasi negara.
Oleh karena itu, SWF harus menempatkan diri di zona 2, dengan strategi investasi yang terdiversifikasi, berbasis fundamental yang kuat, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi perekonomian nasional.
Hati-hati Pengaruh Faktor Manusia
Lalu bagaimana memastikan Danantara mengambil risiko di zona 2? Dalam sistem pengelolaan aset negara sebesar ini, kesadaran risiko (risk awareness) dari para pengelola aset raksasa tersebutlah yang menjadi faktor kunci keberhasilannya.
Kesalahan dalam membaca risiko sering kali
bukan berasal dari ketidaktahuan terhadap data, melainkan banyak dipengaruhi
justru dari karakteristik kita sebagai manusia. Sepanjang sejarah, dunia ekonomi didominasi oleh konsep “homo economicus”, sebuah gambaran tentang manusia sebagai makhluk yang selalu rasional, cerdas, dan analitis dalam mengambil keputusan.
Dalam teori ini, manusia dianggap mampu mengendalikan emosi dan impulsnya, hanya bertindak demi kepentingan pribadi, dan selalu melakukan kalkulasi matang sebelum membuat keputusan ekonomi. Dengan kata lain, manusia seperti kalkulator hidup yang secara logis mempertimbangkan setiap pilihan tanpa terpengaruh oleh faktor emosional atau tekanan sosial.
Karena itu, homo economicus diyakini akan selalu menimbang setiap fakta, menghitung biaya dan manfaat, lalu memilih opsi yang paling menguntungkan demi memaksimalkan kesejahteraannya. Model ini menjadi dasar bagi banyak teori ekonomi klasik yang mengasumsikan bahwa pasar berjalan secara efisien karena manusia bertindak rasional.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Dalam kehidupan nyata, manusia tidak selalu logis; emosi, intuisi, dan bahkan bias kognitif sering kali mempengaruhi keputusan yang kita buat. Inilah alasan mengapa banyak ekonom modern mulai mempertanyakan seberapa relevan konsep homo economicus dalam menjelaskan perilaku ekonomi yang sebenarnya.
Pada tahun 1979, Daniel Kahneman dan Amos Tversky memperkenalkan konsep Prospect Theory dalam publikasi mereka “Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk”. Teori ini menantang pandangan klasik homo economicus yang mengasumsikan bahwa manusia selalu bertindak rasional dalam mengambil keputusan.
Prospect Theory menunjukkan bahwa manusia sering kali tidak membuat keputusan berdasarkan perhitungan matematis yang objektif, melainkan dipengaruhi oleh emosi, persepsi risiko, dan cara informasi disajikan. Dengan kata lain, keputusan kita lebih banyak dipengaruhi oleh bagaimana kita merasakan keuntungan dan kerugian, bukan hanya oleh nilai absolut dari pilihan yang tersedia.
Dari teori ini, lahirlah cabang ilmu Behavioral Economics, yang mempelajari bagaimana faktor psikologis, sosial, dan emosional membentuk keputusan ekonomi.
Behavioral economists menemukan bahwa manusia sering menggunakan mental shortcuts, seperti rules of thumb, intuisi, dan common sense, untuk memproses informasi dan membuat keputusan cepat.
Meskipun mental shortcuts ini sering membantu dalam situasi sehari-hari, mereka juga dapat menyebabkan bias kognitif yang mengarah pada kesalahan berpikir dan pengambilan keputusan yang tidak optimal.
Bias Kognitif: Ancaman Tersembunyi
Salah satu bias yang paling sering terjadi adalah overconfidence bias—di mana para pengambil keputusan merasa terlalu yakin dengan analisis mereka sendiri dan cenderung mengabaikan faktor eksternal yang bisa mengganggu kinerja investasi.
Dalam konteks Danantara, jika para pengambil keputusan disana terlalu percaya diri dalam memilih proyek infrastruktur atau saham strategis tanpa mempertimbangkan skenario terburuk, keputusan tersebut bisa menjadi bumerang.
Selain itu, availability bias juga sering mempengaruhi cara kita sebagai manusia menilai risiko. Ketika sebuah investasi tampak menjanjikan karena pernah sukses di negara lain, atau di masa lalu, ada kecenderungan untuk menganggapnya akan berhasil di Indonesia saat ini tanpa mempertimbangkan perbedaan regulasi, kondisi pasar, atau budaya bisnis saat ini.
Misalnya, keberhasilan investasi SWF Abu Dhabi dalam sektor properti dan infrastruktur, bisa saja tidak terulang di Indonesia jika faktor risiko politik dan regulasi tidak diperhitungkan dengan cermat.
Tak kalah penting, berkebalikan dengan bias sebelumnya
yang cenderung mendorong kita menjadi lebih berani mengambil risiko, ada bias lain yaitu loss aversion bias. Bias ini mendorong manusia untuk cenderung lebih takut mengalami kerugian daripada mengejar keuntungan—dapat membuat Danantara
terlalu konservatif dalam mengambil keputusan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Kahneman & Tversky pada tahun 1979, di mana kita punya kecenderungan menghindari kerugian dibanding memperoleh keuntungan dengan nilai yang sama.
Dalam berbagai riset lanjutan bahkan dijelaskan perasaan mengalami kerugian terasa secara psikologis dua kali lipat dibanding mendapatkan keuntungan. Padahal, dalam dunia investasi, mengambil risiko yang terukur adalah bagian utama dari strategi pertumbuhan.
Jika Danantara terlalu fokus pada perlindungan modal tanpa berani melakukan ekspansi yang diperhitungkan dengan baik, maka peluang besar untuk meningkatkan nilai aset bisa terbuang sia-sia.
Epilog
Keberhasilan Danantara tidak cukup hanya ditopang oleh regulasi yang ketat atau nilai aset yang besar. Pada akhirnya, keberlanjutan dan kesuksesan investasi ditentukan oleh mereka yang berada di balik setiap keputusan strategis.
Apakah kita benar-benar yakin bahwa orang-orang yang diberi kendali atas hampir satu triliun dolar ini memiliki ketajaman, keberanian, dan kebijaksanaan yang diperlukan? Tanpa kesadaran risiko yang matang, bahkan strategi terbaik bisa runtuh karena bias kognitif, overconfidence, atau ketakutan berlebihan dalam mengambil keputusan.
Untuk memastikan Danantara tidak hanya tumbuh besar tetapi juga berkelanjutan, mitigasi risiko tidak boleh berhenti pada aturan dan prosedur. Sistem check and balance yang ketat, evaluasi independen, dan budaya transparansi harus menjadi fondasi utama. Sebab, dalam dunia investasi, bukan angka yang membuat keputusan—tetapi manusia di baliknya.
0 Comments