Beberapa pekan yang lalu tepatnya pada hari kedua masuk kerja setelah cuti bersama Idul Fitri 1443 H saya dikejutkan dengan aktivitas pagi hari teman satu kantor yang mulai menyusun dengan rapi kertas kerja pemeriksaan dilengkapi dengan Dokumen Barang Bukti (BB).
Kesibukan yang tidak biasa inipun diselingi tanya jawab dengan anggota timnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung bertanya, “Ada apa, Mas?” Dengan serius rekan saya yang notabene asli Yogyakarta itu menjawab, “Sidang meneh Mas. Biasa, koyo deso sing uwis-uwis.”
Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia: “Sidang lagi Mas. Biasa, seperti desa yang sudah-sudah”. Lalu, saya bertanya lagi, “Dana Desa?” dan teman sayapun menjawab, “Iyo, salah sijine,” (iya, salah satunya).
Dalam hati saya bergumam, “Desa lagi, Dana Desa lagi. Kapan ya kapoknya desa… Padahal, sudah ada contoh teman sejawatnya yang tersandung kasus Tindak Pidana Korupsi.
Yang lebih mengagetkan, sidang tersebut dilaksanakan dua hari lagi, masih dalam situasi syawal, ketika orang-orang masih menikmati suasana lebaran. Betapa luar biasa penanganan Tindak Pidana Korupsi. Tak mengenal lelah dan waktu.”
Sekilas tentang Dana Desa
PP 8 Tahun 2016 mendefinisikan Dana Desa sebagai dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa, ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Alokasi Dana Desa terus mengalami peningkatan dari 21 triliun di tahun 2015 dan menjadi Rp.72 triliun pada tahun 2021 atau secara total nasional mencapai Rp.400,1 triliun dalam periode tersebut. Adapun tahun 2022 dianggarkan sebesar Rp.68 triliun untuk 74.960 desa.
Penggunaannya diarahkan untuk program perlindungan sosial berupa bantuan langsung tunai, dukungan program sektor prioritas di desa, serta program atau kegiatan lain sesuai dengan ketentuan regulasi.
Tata Cara Penyaluran dan Penggunaan
Dana desa disalurkan melalui mekanisme yang cukup tersistem dan melibatkan koordinasi bertingkat dari pemerintah kabupaten/kota hingga sampai ke level desa. Hal ini dilakukan untuk memastikan keandalan pengendalian dalam penyaluran dana desa.
Misalnya, sebelum disalurkan dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), Bupati/Walikota harus terlebih dahulu melengkapi persyaratan berupa Peraturan Daerah mengenai APBD, Peraturan Bupati/Walikota tentang penyaluran Dana Desa, serta laporan realisasi tahap sebelumnya.
Selanjutnya, dari RKUD disalurkan ke Rekening Kas Desa (RKD) setelah terpenuhi syarat penyampaian Peraturan Desa mengenai APBDesa tahun anggaran berjalan dan Laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap sebelumnya.
Di sisi penggunaan, UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur adanya kewenangan desa untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa. Penetapan Prioritas ini mengacu kepada Peraturan Menteri Desa PDTT tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa setiap tahunnya.
Kesepakatan mengenai prioritas penggunaan Dana Desa dibahas dan disepakati dalam musyawarah Desa kemudian dituangkan dalam berita acara yang menjadi pedoman dalam penyusunan Peraturan Desa yang mengatur mengenai RKP Desa tahun berkenaan.
Berkah atau Musibah?
Dana Desa, berkah atau musibah? Pertanyaan ini mungkin pernah terbersit dalam benak orang-orang yang berurusan dengan dana desa. Jawabannya mungkin sederhana, berkah.
Dana desa menjadi berkah jika dalam pengelolaannya sesuai dengan aturan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungjawaban, maupun pelaporan.
Kesesuaian dengan aturan ini menyebabkan manfaat dari dana desa bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat desa. Menjadi musibah, jika dalam pengelolaannya tidak sesuai dengan aturan, sehingga memunculkan permasalahan.
Permasalahan yang paling dikhawatirkan tentunya terkait risiko terjadinya tindak pidana korupsi yang melibatkan oknum pemerintah desa. Penyelewengan ini pun berdampak negatif terhadap masyarakat desa, sebab hilangnya manfaat dari dana desa untuk meningkatkan kesejahteraan.
Tindak Pidana Korupsi “Dana Desa”
Pada konteks cerita dari kawan saya di awal tulisan ini, dapat dikatakan bahwa dana desa sudah menjadi musibah, karena pengelolaannya tidak sesuai aturan dan berakibat adanya kerugian keuangan negara.
Oleh karenanya tidak salah jika dalam konteks persidangan, rekan saya itu dibutuhkan keterangannya dalam rangka penegakan hukum sebagai ahli yang menghitung Kerugian Keuangan Negara.
Berkaca dari kasus dugaan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani, salah satu titik rawan korupsi Dana Desa ialah pada urusan pembangunan fisik insfrastruktur desa.
Alokasi anggaran yang lebih besar dibanding bidang lain menjadi daya tarik bagi oknum-oknum untuk “bermain” dalam Pengadaan Barang/Jasa untuk kegiatan-kegiatan fisik seperti pengaspalan jalan, rabat beton, hingga pembuatan saluran irigasi.
Modus penyelewengan bermacam-macam, di antaranya:
- Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar
Modus ini bertujuan mendapatkan selisih uang dari anggaran yang dialokasikan dengan biaya riil yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena kurangnya transparansi penyusunan rancangan biaya dan detail teknis.
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah pengadaan barang/jasa dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal desa untuk mendapatkan harga riil pasar.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan Dana Desa, padahal proyek tersebut didanai dari sumber lain
Modus ini dapat dilakukan karena APBDes tidak terbuka kepada masyarakat desa, khususnya terkait sumber dan besaran pendapatan yang diterima oleh pemerintah desa, sehingga masyarakat tidak dapat mengawasinya. Untuk mengatasinya perlu didorong transparansi APBDes dalam hal penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawabannya.
3. Membuat pertanggungjawaban belanja fiktif
Modus yang paling sering dilakukan dalam tindak pidana korupsi di pemerintahan desa ini berupa pertanggungjawaban belanja yang secara fakta tidak ada kegiatannya dibuat bukti misalnya nota pembelian barang dan laporan kegiatan seolah-olah benar terjadi.
4. Penggelembungan (mark up) belanja
Modus ini biasanya tidak hanya melibatkan 1 (satu) orang, karena belanja yang dilakukan pasti lebih kecil dari nota pembelian/bukti pembayaran yang ditandatangani oleh pihak penyedia barang/jasa.
Caranya adalah dengan membeli barang kepada penyedia dengan nilai tertentu, setelah itu meminta nota pembelian/kuitansi/bukti pembayaran yang sudah ditandatangani dan dicap oleh penyedia.
Namun, rincian barang dan nilai rupiah yang dibeli masih kosong atau tidak tertulis. Setelah itu pihak yang belanja menulis sendiri rincian barang dan nilainya.
5. Melakukan permainan (kongkalingkong)
Modus ini dilakukan dengan berbagai cara di antaranya meminta jatah/mengelola proyek, penunjukan penyedia barang/jasa oleh oknum tertentu, tanpa melalui mekanisme PBJ di desa untuk mendapatkan kentungan pribadi.
6. Mengurangi volume dan atau kualitas pekerjaan
Modus ini paling sering dilakukan khususnya pada pekerjaan fisik dengan cara mengurangi volume dan kualitas bangunan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Untuk menutupi kecurangan, laporan pelaksanaan pekerjaan baik volume maupun kualitas dilaporkan sesuai dengan rencana kegiatan dan dilengkapi dengan berbagai bukti dukung dan pertanggungjawaban anggaran sesuai yang tercantum dalam APBDes.
Pada kasus yang ditangani teman saya, modus yang dilakukan adalah membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, membuat pertanggungjawaban belanja fiktif, penggelembungan (mark up) belanja, dan melakukan permainan (kongkalingkong) yang berakibat timbulnya kerugian keuangan negara.
Mengapa terjadi?
Mengapa tindak pidana korupsi terhadap dana desa bisa terjadi? Rupanya hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai sebab seperti:
- Minimnya kompetensi aparat pemerintah desa
- Tidak adanya transparansi dari pemerintah desa
- Kurang adanya pengawasan dari pemerintah dan masyarakat
- Adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu
- Adanya kultur memberi barang/uang sebagai bentuk penghargaan
- Mindset bahwa korupsi lumrah terjadi di mana saja
Dalam Audit Investigatif dikenal teori Fraud Triangle atau Segitiga Kecurangan yang dikembangkan oleh Donald R Cressey. Ada tiga tahap penting yang memengaruhi seseorang untuk melakukan kecurangan, yaitu tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan pembenaran (rationalization).
Dalam kasus penyelewengan atas dana desa, tekanan yang dimaksud misalnya adanya masalah finansial pribadi yang mendorong seseorang melakukan fraud. Sedangkan peluang melakukan fraud dapat terjadi karena lemahnya pengawasan, tidak adanya SOP, adanya multijob bendahara sebagai pelaksana, dan situasi kerja kurang kondusif.
Uniknya, di sisi rasionalisasi terjadinya fraud ialah adanya pemakluman untuk melakukan penyelewenagan karena alibi gaji/pendapatan yang diberikan terlalu kecil sehingga dijadikan alasan pembenar untuk membela diri.
Ketiga jenis faktor ini sejatinya menjadi awal dari Musibah Dana Desa. Jika dibiarkan tanpa adanya pencegahan maka Tindak Pidana Korupsi pasti terjadi.
Hal ini tentunya ironis, mengingat upaya pembangunan Indonesia dari desa diharapkan berjalan secara terkendali tanpa kebocoran dana yang kontraproduktif bagi misi menyejahterakan masyarakat Indonesia.
Mari Selamatkan Dana Desa
Upaya pencegahan atas tipikor sudah banyak diupayakan oleh berbagai pihak di antaranya KPK melalui kegiatan Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah), Sosialisasi terkait Tindak Pidana Korupsi oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Namun, korupsi masih saja terjadi.
Sebuah pertanyaan kini mengemuka, “Apakah budaya korupsi sudah begitu mendarah daging di republik ini? Ataukah motif ekonomi dan tidak adanya efek jera dari hukuman yang terlalu ringan menjadi penyebabnya?” Mungkin para pelakulah yang paling tahu jawabannya.
Namun menurut penulis, sikap mental yang buruk/bobrok adalah yang perlu mendapat perhatian lebih. Upaya pencegahan maupun penindakan sehebat apapun takkan berhasil jika mental tidak diperbaiki.
Para pelaku akan terus mencari celah, kelemahan dan kesempatan untuk melakukan korupsi tanpa memedulikan akibat dari perbuatannya, meskipun berbagai ancaman hingga hukuman mati telah menanti (pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Maka sekali lagi, segenap pihak yang terkait tidak boleh lelah untuk berperan mengatasi permasalahan korupsi dana desa. Edukasi tentang tindak pidana korupsi, dukungan terhadap pengelolaan dana desa, kepedulian masyarakat, tindakan pencegahan dan penindakan oleh aparat penegak hukum, semuanya sangat diperlukan.
Mari bersama, selamatkan Dana Desa!
ASN/ AUDITOR MUDA pada APARAT PENGAWAS INTERNAL
PEMERINTAH (APIP) di Salah Satu Kabupaten di Propinsi Jawa
Tengah.
0 Comments