Pada tahun 2017 penulis terlibat dalam sebuah kegiatan untuk mengukur kebutuhan sumber daya manusia di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Dengan menggandeng para akademisi dari salah satu lembaga negara, kegiatan tersebut berhasil kami rampungkan dalam waktu 6 bulan.
Di akhir kegiatan dan sebelum kami mempresentasikan hasil penghitungan, kami melakukan pertemuan akhir bersama seluruh tim. Diskusi yang cukup alot dan menguras energi. Bagaimana tidak? Hasil yang kami temukan sangat sulit untuk dipercaya.
Terkesan mengada-ada dan cukup mengagetkan. Berdasarkan perhitungan kami, ternyata kabupaten tersebut membutuhkan 42.000 pegawai untuk mengurus seluruh pekerjaannya. Sebuah angka yang fantastis untuk ukuran sebuah kabupaten.
Kami coba membolak-balik lagi data yang kami miliki. Kami bahkan mencoba melakukan revisi terhadap data yang sudah ada. Buntu. Hasil yang relatif sama masih menjadi kesimpulan akhir. Akhirnya, karena tidak mungkin bagi kami mengelabui data, maka meskipun belum memiliki argumentasi yang kuat kamipun memberikan laporan kepada pimpinan kabupaten itu sesuai dengan hasil yang kami temukan.
Hasilnya, seperti yang sudah kami prediksi, kami dicerca oleh pimpinan dengan berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang kemudian baru terjawab beberapa minggu kemudian.
Menyelenggarakan Semua Urusan Sendiri
Selepas pertemuan tersebut tim melakukan reanalisis terhadap data yang dimiliki. Setelah beberapa kali memperhatikan data dan setelah kami membagi hasil data ke dalam sektor-sektor urusan barulah kami menyadari bahwa data yang kami terima sudah valid.
Jumlah yang SDM dibutuhkan oleh sesuai dengan hasil wawancara dan perhitungan akurat adanya. Angka kebutuhan SDM sebanyak 42.000 adalah rasional mengingat luas wilayah kabupaten tersebut yang merupakan nomor 2 terbanyak di Jawa Barat dengan 42 kecamatan dan jumlah penduduk sekitar 2,8 juta jiwa.
Permasalahan mengapa jumlah kebutuhan tersebut begitu fantastis, ada pada paradigma pemerintahan yang berkembang di birokrasi pemerintahan kabupaten tersebut, yang masih kental dengan pemikiran tradisional.
Yang penulis sebut dengan pemikiran tradisional adalah bahwa pemerintah merasa wajib menyelenggarakan semua urusan pemerintahan dengan anggaran, SDM, dan mekanisme yang ditentukan oleh pemerintah sendiri.
Pemerintah baru dianggap mengurusi urusan yang diwajibkan jika direncanakan, dianggarkan, dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah. Jika seperti itu tentu saja berat karena pemerintah harus mengurusi urusan (32 urusan untuk daerah) dari hulu hingga hilir.
Pemerintah kabupaten tersebut belum menerapkan prinsip reinventing government yang pertama yaitu “mengarahkan ketimbang mengayuh”. Maka pembengkakan struktur, SDM, dan anggaran internal pemerintah adalah sebuah keniscayaan.
Mendiskusikan masalah tersebut, dalam konteks ini, penulis mengajukan rasionalisasi kebutuhan SDM dengan menerapkan konsep Collaborative Governance.
Konsep Collaborative Governance
Penulis tidak akan secara teoritis membahas definisi dan makna collaborative governance. Penulis akan menarik kesimpulan dari pendapat para ahli tentang konsep ini, yaitu sebuah konsep kerjasama antara berbagai pihak berkepentingan untuk mencapai tujuan publik atau tujuan masyarakat umum.
Dengan demikian, dalam konsep ini masalah publik diselesaikan oleh berbagai sektor. Sektor yang sudah kita kenal adalah pemerintah, masyarakat, dan swasta. Meskipun dalam perkembangannya kemudian menjadi beberapa sektor, misalnya muncul sektor akademisi, kemudian muncul lagi diaspora yang kemudian menjadi istilah pentahelic.
Konsep ini terlahir karena berbagai faktor mulai dari keterbatasan sumber daya yang dimiliki terutama oleh pemerintah, adanya politisasi kebijakan, hingga perkembangan tuntutan masyarakat yang semakin lama semakin sulit jika dilakukan oleh hanya satu aktor yakni pemerintah.
Permasalahannya, meskipun konsep ini sudah lama berkembang, dalam tataran implementasi terutama di Indonesia, konsep ini belum dapat dipraktikkan secara maksimal. Isu-isu seperti privatisasi, termasuk perdebatan pasal 33 UUD 1945 “…Hajat hidup orang banyak dikuasai negara” seringkali menghambat pelaksanaan konsep ini.
Padahal, sebenarnya konsep ini tidak menyingkirkan peran negara (pemerintah) dalam setiap aspek yang dikerjasamakan. Jika kita merujuk pada konsep Reinventing Government-nya Peter Plastrick, kolaborasi yang dimaksud adalah pembagian tugas antara pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Sudut Pandang Perhitungan Kebutuhan
Berkaca dari pengalaman penulis saat menghitung kebutuhan SDM seperti yang penulis sampaikan di awal, pemerintah terutama pemerintah daerah masih belum mempraktekan pemerintahan kolaborasi secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus.
Kasus Pertama, saat kami menghitung kebutuhan pegawai di sektor pendidikan. Didapat informasi berkenaan dengan jumlah sekolah negeri yang ada di seluruh wilayah kabupaten. Ketika kami konfirmasi dengan keberadaan sekolah swasta yang selevel, instansi yang menjadi responden tidak mampu menyajikan data proporsi antara jumlah masyarakat dengan kebutuhan sekolah yang ada.
Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan kelebihan jumlah sekolah dari yang seharusnya. Jumlah sekolah yang ada sangat berhubungan dengan jumlah SDM yang dibutuhkan. Semakin banyak jumlah sekolah semakin banyak jumlah SDM yang harus disiapkan.
Dengan begitu, solusi untuk merampingkan jumlah kebutuhan SDM adalah merampingkan jumlah sekolah. Jika saja proporsi antara kebutuhan sekolah berdasarkan jumlah warga tersedia maka dapat dilakukan penggabungan bahkan penghapusan sekolah yang sudah ada.
Kasus Kedua, saat kami menghitung kebutuhan SDM Kesehatan, hal yang sama terjadi. Tidak didapat data proporsi jumlah puskesmas yang harus ada berdasarkan jumlah penduduk dibandingkan dengan keberadaan klinik pratama swasta. Padahal, klinik pratama menjamur hampir di seluruh kecamatan.
Kedua kasus tersebut menunjukkan tidak adanya kolaborasi antara pemerintah dan swasta dalam hal ini sekolah swasta dan klinik swasta. Padahal, sesungguhnya keduanya melayani warga masyarakat yang sama.
Kondisi tersebut tentu saja menciptakan pemborosan SDM yang dibutuhkan. Andaikan tercipta kolaborasi maka jumlah organisasi pemerintah yang dibutuhkan kemungkinan lebih sedikit dari yang sudah ada.
Mindset Swasta Membebani Masyarakat
Salah satu faktor yang menciptakan kondisi ini adalah mindset pengambil kebijakan yang berpikiran bahwa dengan mengandalkan swasta akan terjadi peningkatan biaya yang akan membebani masyarakat. Sekolah swasta atau klinik swasta cenderung mahal dan tidak menerima pasien/murid tidak mampu.
Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika tercipta pembagian tugas yang jelas antara pemerintah dengan swasta. Pada konteks inilah pentingnya prinsip Reinventing Government yang pertama yaitu Steering Rather Than Rowing. Pemerintah wajib mengarahkan bukan melaksanakan.
Artinya, pemerintah bisa menekan harga yang mahal atau menjamin teraksesnya kesehatan/pendidikan oleh rakyat miskin melalui kebijakan. Kewajiban pemerintah seyogyanya bukanlah melaksanakan urusan pendidikan ataupun kesehatan, melainkan menjamin masyarakat mendapatkan akses kedua urusan tersebut.
Jika hal ini berjalan maka pemerintah akan fokus pada penyusunan kebijakan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan, sementara pemangku kepentingan lain melaksanakan kebijakan dan diawasi.
Dengan berkurangnya pekerjaan pemerintah maka jumlah sumber daya yang dibutuhkan akan berkurang, sementara tujuan mencerdaskan dan menyehatkan masyarakatnya akan tetap terpenuhi. Jika hal ini berjalan di seluruh sektor dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada, maka perampingan organisasi pemerintah akan dapat terealisasi.
Mungkin kita tidak membutuhkan lembaga litbang jika sudah tersedia Lembaga Pengembangan dari perguruan tinggi. Kita tidak butuh organisasi khusus untuk mengelola gedung kesenian jika sudah ada kelompok kesenian masyarakat yang mampu mengelolanya.
Kita tidak butuh menganggarkan anggaran khusus untuk satu kegiatan jika kita bisa mengarahkan Kuliah Kerja Nyata (KKN) kepada satu kegiatan dengan target pencapaian tertentu, dan seterusnya. Banyak kegiatan yang bisa saling dilengkapi oleh pranata masyarakat yang sudah ada.
Kendala yang Dihadapi
Tidak dapat dipungkiri, konsep Collaborative Governance terbentur oleh berbagai faktor. Penulis mengidentifikasi beberapa faktor yang akan membuat konsep ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Beberapa faktor tersebut di antaranya:
1. Mindset atau pola pikir para birokrat dan pemimpin pemerintahan
Untuk membuat pemerintah menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada aktor lain sangat dibutuhkan kesukarelaan para pengambil kebijakan. Pemimpin pusat maupun daerah yang dipilih berdasarkan jalur politik maupun para birokrat yang diangkat berdasarkan jalur karir, sesuai dengan kewenangannya harus merubah pola pikir mereka dari rowing menjadi steering.
2. Praktek Penyalahgunaan Kewenangan
Salah satu konsep kolaborasi yang sudah mulai diterapkan di beberapa instansi pemerintahan adalah KSP (Kerja Sama Pengelolaan) suatu wilayah atau suatu pekerjaan. Praktiknya penetapan pemenang atau aktor swasta yang digandeng dalam kerjasama tidaklah nihil kepentingan.
Banyak dari para pemenang bukanlah yang kompeten melainkan yang memiliki kedekatan dengan para pemimpin pemerintahan maupun birokrat. Hal ini tentu akan membuat KSP tersebut tidak berjalan sesuai harapan.
3. Minimnya Pemahaman Pelaku Pemerintahan (birokrat) terhadap konsep ini
Banyak peluang kerja sama dengan sektor pentahelic yang sejauh ini tidak termanfaatkan. Sebagai contoh adalah adanya Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang seringkali dilaksanakan oleh Institusi Perguruan Tinggi. Seyogyanya kegiatan KKN ini dapat diatur dan diarahkan pada pencapaian target pemerintah yang belum tercapai.
Kenyataanya, belum ada (setidaknya di kabupaten tempat penulis bekerja) pedoman umum pelaksanaan KKN. Andaikata KKN ini dapat diatur dan diarahkan, sungguh banyak pekerjaan rumah pemerintah yang dapat diselesaikan olehnya.
Alternatif Solusi
Bersandar pada persepsi para birokrat kita yang masih berlandaskan pada aturan (law based beaurocracy) solusi yang mungkin bisa dilaksanakan adalah adanya kebijakan yang mengatur pelaksanaan kolaborasi.
Sejauh ini memang sudah ada aturan berkenaan dengan kerja sama pengelolaan. Akan tetapi belum terdapat aturan yang langsung mengarahkan pada penyelenggaraan urusan dan konsep pengelolaannya.
Aturan yang saya maksud adalah aturan yang secara jelas mengarahkan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang menjadi kewenangan mutlak instansi pemerintah dan pekerjaan apa yang wajib atau setidaknya bisa dikolaborasikan.
Misalkan di bidang kesenian, disebutkan dalam aturan tersebut bahwa pekerjaan perumusan kebijakan, perencanaan, dan pengawasan dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sementara, pekerjaan Pengelolaan Seni dan Budaya dilaksanakan secara kolaboratif antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan kelompok-kelompok seni budaya.
Memang aturan seperti ini membatasi inovasi dan fleksibilitas. Akan tetapi, dalam kondisi law based beaurocracy kondisi ini dapat mempercepat terjadinya kolaborasi.
Epilog: Menyederhanakan Pekerjaan Birokrasi
Dalam konteks penyederhanaan birokrasi dan menjadikannya lebih efisien, tidak rasional jika berbicara penyederhanaan struktur semata. Akar persoalan dari gemuknya birokrasi adalah besarnya pekerjaan birokrasi.
Dengan demikian, jika ingin mengurangi struktur dan besaran birokrasi, kurangilah pekerjaannya. Hal ini terbuka lebar dengan konsep kolaborasi. Dengan konsep ini negara tetap hadir di tengah-tengah masyarakat melalui kebijakan dan pengawasan.
Dengan fokus pada perumusan kebijakan dan pengawasan saja maka setidaknya tiga hal akan menjadi terealisasi: pertama kualitas kebijakan yang semakin baik, kedua sumber daya akan yang dibutuhkan semakin sedikit, ketiga pencapaian tujuan akan semakin mudah dilaksanakan karena dibantu oleh aktor lain yang lebih kompeten.
Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.
0 Comments