Memang suatu kesengajaan kalau saya menggunakan tanda petik di antara kata gila dan kegilaan. Sebagai pegawai yang pernah diajarkan tentang manajemen risiko, saya memitigasi risiko salah paham di antara saya dan Anda, para pembaca tulisan ini yang saya hormati.
Saya bukanlah seorang ahli kejiwaan atau psikolog apalagi psikopat, meski pernah ditugaskan di unit yang menangani Sumber Daya Manusia (SDM). Saya tetaplah auditor yang saat ini sedang senang mereka-reka gambar paparan. Meski tidak ahli, paling tidak itu yang saya jalankan sekarang.
‘Kegilaan’ di Birokrasi
‘Kegilaan’ sedang menarik perhatian saya. Seperti yang saya lihat di beberapa organisasi pemerintahan, sebuah ‘kegilaan’ yang luar biasa ketika seorang pegawai rela menghabiskan waktu berjam-jam dari kehidupan mereka untuk mengerjakan tugas rutin sehari-hari yang seperti tiada habisnya.
Kadang saya juga melihat suatu ‘kegilaan’ ketika seorang staf, yang mempunyai ide-ide luar biasa dan cemerlang, tetapi hanya bisa berbicara tentang idenya dalam bentuk kritik dan saran, sedangkan dia sendiri tak mampu mengerjakan sesuatu pun.
Suatu ‘kegilaan’ ketika seorang atasan bervisi macam-macam rupa, yang mungkin dibawa dari negara entah dari mana mereka belajar, tetapi seperti gagap memvisualisasikannya dalam gestur dan tindakan mereka dalam mengatur anak buah.
Semua ‘kegilaan’ tadi adalah wacana tanpa aksara, perspektif tanpa instruktif. ‘Kegilaan-kegilaan’ dalam birokrasi yang dari lahirnya sudah kompleks, entah apakah itu menambah rumit atau justru membuat semakin asyik.
Manajemen, dalam kacamata saya, merupakan ilmu yang salah satunya mengelola ‘kegilaan-kegilaan’ tersebut dalam suatu organisasi melalui fungsi yang sering tertulis dalam literatur klasik sebagai POAC – Planning, Organizing, Actuating, and Controlling.
Organisasi sendiri memerlukan ‘kegilaan’-nya sendiri sebagai suatu visi, misi, dan juga strategi yang disepakati. Menyandangkan mimpi-mimpi dengan berkaca dari masa depan yang sama-sama kita tak mengerti dan tidak ada yang pasti.
Namun, semua itu harus diperjuangkan, harus terus dimungkinkan untuk menjadi kenyataan. Bahkan, ada ahli yang menyatakan bahwa status quo memerlukan tantangan dan kenyamanan sehingga hal itu memerlukan perubahan.
Buat apa ya sebenarnya? Suatu keadaan sudah nyaman, tetapi memerlukan perubahan menuju ketidaknyamanan untuk memperjuangkan suatu kenyamanan lagi. Namun, itulah dinamika yang katanya membuat kita hidup.
Mengelola ‘Kegilaan’
Manajemen dan para manajer di segala lini dan tingkatan ditantang untuk mengelola ‘kegilaan-kegilaan’-nya sendiri dan ‘kegilaan-kegilaan’ berbagai komponen yang membentuknya dalam harmonisasi yang indah.
Meski mungkin terlihat ‘gila’ bagi pihak yang belum memahaminya, pengelolaan ‘kegilaan’ mestinya dapat menghasilkan nilai tambah bagi komponen utama pembentuk organisasi, yaitu manusianya.
‘Kegilaan’ yang terkelola dengan baik berupa komitmen kerja yang luar biasa, daya tahan, kegigihan, dan penggunaan sumber daya produktif dengan kesadaran value for money, menjadi kekuatan yang luar biasa bagi organisasi publik.
‘Kegilaan’ berupa inovasi dan tenaga, misalnya, yang tidak terkelola dengan baik pada akhirnya hanya akan menjadi beban organisasi. Tidak terkelolanya ‘kegilaan’ tersebut hanya akan melahirkan keputusasaan dalam organisasi dan kondisi underperform-nya organisasi.
Mengelola dan memaknai ‘kegilaan’ dalam suatu organisasi dan komponen organisasi kadang perlu penekatan ‘kegilaan’ pula. Itu mungkin yang biasa saya pahami sebagai thinking out of the box. Itu sebenarnya suatu potensi yang luar biasa yang menghasilkan pendekatan dan aksi yang benar untuk mengoptimalkan ‘kegilaan’.
Oleh karena itu, pendekatan dan kebijaksanaan untuk dapat memahami perspektif yang lebih luas diperlukan agar tidak terjerumus pada thinking out of context, yakni kegagalan memaknai makna suatu dinamika dalam wadah yang benar.
Mengungkap ‘Kegilaan’
Mengungkapkan ‘kegilaan’ juga menjadi salah satu penghantar dari potensi terpendam menjadi valuable assets. Beberapa ahli menyatakan menulis merupakan salah satu media penghantarnya. Dengan menulis, ‘kegilaan’ akan diaksarakan sehingga orang lain menangkap pesan dan kesan buah pemikiran dari seseorang.
Dengan menulis, ‘keliaran’ alam pikir akan tersaji dalam suatu gambaran yang lebih jelas sehingga menjadi realita bila memang mengandung hal yang benar dan benar-benar memberikan manfaat dengan lanjutan aksi dan implementasi.
Dengan menulis, orang akan dipaksa ‘membaca’ segala sesuatu di sekitarnya baik dalam bentuk teks atau pun fenomena yang ada. ‘Pemaksaan’ pada aktivitas ‘membaca’ tersebut akan menghadirkan sensitivitas dan respon yang lebih baik pada dinamika yang ada di lingkungannya.
Untuk itu, para birokrat yang adalah juga para pembelajar, cobalah menulis. Suatu kegiatan, yang kalaupun tidak menjadi sebuah profesi untukmu, akan dapat membantu membebaskan pikiranmu untuk terus berkreasi dan memaksamu untuk terus belajar.
Menulis dan membaca pada akhirnya juga akan mendukung peningkatan kualitas dan kompetensi bangsa. Sekilas terbaca, berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World“ yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan hanya menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. Suatu tantangan yang perlu dijawab oleh kita.
Epilog
Pada akhirnya, saya mengakui, saya mengalami ‘cinta gila’ dalam mencintai ‘kegilaan’ ini. Saya akan terus belajar mengelola dan mengungkapnya dengan cara menulis dan berupaya menyenangi membaca.
Sayup-sayup terdengar adzan yang mengharuskan saya mengakhiri lagu dari band bervokalis plontos dari headset, sekaligus menyudahi ‘kegilaan’ pikiran yang mendorong jari-jemari saya untuk terus menekan tuts keyboard pada personal computer.
“…cinta memang gila, gak kenal permisi, bila disengatnya, say no to kompromi…”
(lirik lagu ‘Cinta Gila’ yang dinyanyikan oleh NTRL-red). ***
0 Comments