Ketika Anda terkejut mendengar berita bahwa Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) menetapkan jam masuk sekolah pada jam 05.00 pagi, sesungguhnya saya juga sama kagetnya dengan Anda.
Bukan hanya karena kebijakan ini terkesan nyeleneh dan ugal-ugalan, tapi juga baru pertama sekali menyaksikan seorang Gubernur nyasar sampai membuat regulasi baru di bidang pendidikan.
Tentunya jika kita merujuk pada kelaziman yang berlaku selama ini, keputusan pemerintah daerah (pemda) kurang lebih hanyalah pelaksanaan dari regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, sehingga kebijakan pemda di bidang pendidikan biasanya adalah pelaksanaan dari regulasi yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan.
Hal ini sesuai dengan asas otonomi daerah, yaitu pelimpahan kekuasaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2001, bukan pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti yang berlaku pada negara federasi.
Carut Marut Pendidikan dalam Bingkai Otonomi Daerah
Menurut tirto.id, sentralisasi pada zaman orde baru ternyata turut merasuk dalam bidang pendidikan.
Satu contoh kecil saja, pada zaman penjajahan oleh Belanda dan era awal kemerdekaan, Kepala Sekolah disebut sebagai Direktur, dan untuk tingkatan sekolah dasar disebut dengan Guru Besar, yang menurut Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA, sebutan ini masih berlaku di Malaysia.
Kemudian gelar jabatan ini direduksi menjadi Kepala Sekolah yang merupakan pegawai struktural di bawah Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud / Depdiknas) (siekurpmu).
Dengan perubahan tersebut, maka pola kerja yang sebelumnya otonom, berubah menjadi feodal-bapakisme dengan cara meneguhkan pola relasi atasan – bawahan seperti bapak dengan anaknya.
Memang, di akhir orde baru, ada kebijakan pemerintah untuk mendelegasikan kewenangan pendidikan dasar kepada Daerah Tingkat II. Hal ini ditandai dengan terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 1989.
Sejak bergulirnya reformasi yang merupakan antitesis terhadap sentralisasi a la orde baru, maka kewenangan di bidang pendidikan juga termasuk yang diurus oleh pemda.
Dalam hal ini, dengan menggunakan kerangka otonomi daerah, diharapkan agar daerah masing-masing mampu menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
Sentralisasi kekuasaan nan feodalistik a la orde baru seharusnya ikut musnah seiring dengan masuknya era reformasi. Namun anehnya di bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, pola feodalisme ini justru semakin parah.
Tak usah terlalu jauh mencari buktinya, silahkan cari di google dengan keywords “jual beli jabatan kepala sekolah”, Anda akan menemukan berbagai kasus yang terjadi. Hal ini semakin diperparah karena posisi Kepala Sekolah yang tidak jelas kedudukannya di Pemerintahan Daerah.
Berbeda daerah, maka berbeda juga regulasi tentang Kepala Sekolah. Ambil contoh di Sumatera Selatan (Sumsel), berdasarkan Peraturan Gubernur Sumsel Nomor 6 tahun 2021, Kepala Sekolah adalah pejabat negara yang bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Pendidikan.
Inilah penjabaran yang paling bagus menurut saya, karena sesuai dengan filosofi yang seharusnya. Gubernur bertanggung jawab kepada Rakyat, dan Kepala Sekolah sebagai salah satu pelayan masyarakat, harusnya bertanggung jawab kepada Gubernur sebagai pejabat pilihan rakyat secara langsung.
Kebijakan yang serupa dapat kita temukan di Kabupaten Wonosobo melalui terbitnya Peraturan Bupati Wonosobo Nomor 28 tahun 2011. Namun di banyak daerah, Kepala Sekolah malah hanya bertanggung jawab kepada Kepala Dinas (Eselon II) melalui Kepala Bidang (Eselon III).
Bahkan ada yang menempatkan Kepala Sekolah di bawah Kepala Seksi (Eselon IV), hingga tak urung terjadilah dualisme kepemimpinan di sekolah-sekolah negeri antara Kepala Sekolah dengan Kepala Tata Usaha, karena ketidakjelasan struktur organisasi ini.
Belajar dari Amerika Serikat dan Swiss
Jika pengaturan pendidikan di Indonesia begitu birokratis, tidak demikian halnya dengan sistem yang ada di Amerika Serikat. Sebagai salah satu negara federal, kewenangan pendidikan juga turut terdesentralisasi.
Kewenangan ini dikelola oleh seorang “Superintendent”, tergantung dari tingkatannya. Pada tingkat negara bagian, seorang “Superintendent” memimpin Departemen Pendidikan. Masyarakat biasa yang bukan birokrat dapat menduduki jabatan ini, karena jabatan tersebut merupakan jabatan publik.
Hal serupa juga kita dapati di Swiss, yang mendudukkan seorang pejabat publik di bidang pendidikan. Pejabat ini biasanya juga berasal dari Dewan Kanton, semacam DPRD jika di Indonesia.
Sementara itu, untuk wilayah yang lebih kecil, setingkat distrik atau kecamatan, urusan pendidikan dipimpin oleh “Superintendent”, yang kalau diterjemahkan mungkin lebih tepat sebagai “Pengawas Sekolah”.
Pengawas ini dipilih oleh “Board of Education”, mirip Dewan Pendidikan jika di Indonesia. Seorang “Pengawas Sekolah” adalah atasan dari para Kepala Sekolah, dan ia juga berasal dari seorang guru atau praktisi pendidikan.
Sedangkan Dewan Pendidikan adalah organisasi dari masyarakat setempat yang anaknya menempuh pendidikan di sekolah yang berada di wilayah kecamatan tersebut, hampir mirip dengan Komite Sekolah di Indonesia.
Sementara itu di Swiss, otonomi di tingkat sekolah jauh lebih besar lagi. Menurut penelusuran yang kami lakukan terhadap beberapa laman web sekolah di Swiss (salah satunya dari laman https://rgzh.ch/schulkommission), gelar bagi Kepala Sekolah adalah rektor.
Adapun badan tertinggi di sekolah di sana adalah “Schulkommission”, kurang lebih sama dengan Komite Sekolah di Indonesia.
Bedanya, Komite Sekolah di Indonesia cenderung hanya membantu sekolah dalam bidang pembiayaan, sebaliknya Komite Sekolah di Swiss bahkan mengevaluasi kemajuan sekolah tersebut. Hal ini sangat memungkinkan karena Komite Sekolah diisi juga oleh guru dan praktisi pendidikan.
Bahkan menurut salah satu laman web sekolah (https://www.oregard.dk/bestyrelsen/), di Denmark dengan pola yang hampir mirip dengan di Swiss, Komite Sekolah juga diisi dari perwakilan siswa, sehingga tidak akan memungkinkan munculnya Kepala Sekolah atau Rektor yang diktator.
Dengan adanya desentralisasi seperti ini, maka permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pendidikan akan langsung teratasi dengan cepat tanpa melewati birokrasi yang berbelit-belit.
Hal ini karena penyelesaiannya dapat langsung diputuskan pada tingkat lokal, tidak harus menunggu menjadi masalah nasional baru kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Pendidikan.
Selain itu, sistem desentralisasi ini akan menghargai kompetensi setiap siswa, sehingga mereka akan belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, bukan hanya karena tuntutan kurikulum belaka.
Dengan demikian, tingkat daya saing dapat ditingkatkan dan angka pengangguran menjadi menurun, karena para siswa yang merupakan output dari desentralisasi tersebut memang memiliki keahlian dan kecakapan di bidangnya masing-masing
Bahkan yang lebih menarik dari itu semua, pendidikan dasar dan menengah di Amerika Serikat (AS) dan Swiss yang dikenal sebagai negara kapitalis ternyata berbiaya sangat murah sekali, untuk tidak menyebutnya gratis.
Hal ini karena anggaran pendidikan di sana dikelola secara transparan. Padahal di sisi lain, mereka justru tidak memiliki birokrat yang banyak untuk mengurusi segala macam administrasi yang terkait dengan anggaran pendidikan.
Dan tak kalah pentingnya, gaji guru di negara-negara tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan negara kita yang anggaran pendidikannya 20% dari APBN.
Melalui desentralisasi pendidikan, menurut Subijanto dalam Prinsip-Prinsip dan Efektivitas Desentralisasi Pendidikan Dalam Rangka Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan, setidaknya akan memberi dampak terhadap:
a. perluasan dan pemerataan akses pendidikan;
b. peningkatan mutu dan relevansi pendidikan;
c. efisiensi keuangan; dan
d. efisiensi administrasi
Mau Sampai Kapan Kita Begini?
Selama pandemi COVID-19 berlangsung, banyak orang tua yang mengeluh karena merasa anaknya tidak mendapat pendidikan yang seharusnya. Malahan siswa harus disibukkan dengan Zoom Meeting dan tugas sekolah yang berjibun.
Maka tak heran jika banyak pihak menyalahkan “Mas Menteri” Nadiem Makarim. Namun ada satu yang terluput di sana, yaitu sesungguhnya teknis pelaksanaan lebih merupakan tanggung jawab Dinas Pendidikan. Mereka juga patut dipersalahkan atas kekacauan pembelajaran selama pandemi.
Maka tak salah jika kita mempertanyakan kompetensi para Kepala Dinas Pendidikan di bidang pendidikan. Anda sudah tahu sendiri, kebanyakan Kepala Dinas Pendidikan memiliki latar belakang bukan guru, malah berasal dari birokrat sejati.
Ada yang merupakan mantan Camat kemudian naik pangkat menjadi Kepala Dinas Pendidikan, atau ada juga yang dirotasi dari Kepala Dinas lain. Hal ini sangat kontras dengan Kepala Dinas Kesehatan yang berasal dari dokter atau mantan Kepada Puskesmas.
Oleh karena itu, sudah saatnya desentralisasi pendidikan diwujudkan oleh Pemerintah, jika tidak maka kita harus mendesak pemerintah untuk mewujudkannya. Apalagi kebijakan desentralisasi pendidikan selaras dengan implementasi Kurikulum Merdeka Belajar.
Desentralisasi yang bukan hanya sekadar pelimpahan wewenang pendidikan kepada Pemerintah Daerah, tapi menyerahkan otonomi pendidikan kepada Masyarakat, Guru dan Siswa.
Apalah gunanya banyak birokrat yang bahkan bukan pendidik kemudian mengurus pendidikan, toh sudah lama juga kita terapkan seperti itu dan ternyata pendidikan kita tetap begitu-begitu saja:
- masih banyak siswa putus sekolah, daya saing yang rendah, kesejahteraan guru yang belum merata,
- kurikulum yang berganti setiap pergantian menteri,
- birokrat yang membuat kebijakan pendidikan seenaknya, dan
- kasus jual beli jabatan Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah, ups!
Jejaka yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah.
Benar, kami juga merasakan hal yang sama, sebagai organisasi yang mengelola banyak sekolah swasta, sulit sekali untuk mengurus administrasi kepada pihak birokrasi
Ya begitulah realita di negeri tercinta, harapannya semoga kedepannya berubah ke arah yg positif