
Berbicara tentang kecamatan, ia adalah sesuatu yang relatif sederhana namun sekaligus rumit. Sebagian besar orang paham bahwa kecamatan adalah pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah kabupaten. Namun, sebagian juga salah mengartikan tentang kecamatan sebagai organisasi pemerintahan.
Perbedaan pendefinisian atas kecamatan sebagai wilayah dengan kecamatan sebagai organisasi pemerintahan menyebabkan perbedaan persepsi yang membuat peran camat sebagai “pemimpin kecamatan” menjadi mengambang.
Tuntutan untuk bertanggung jawab terhadap segala hal di wilayah kerjanya berbenturan dengan kewenangannya sebagai perangkat daerah yang serba terbatas. Hal ini membuat posisi camat terjepit antara tuntutan dan kemampuan.
Kemampuan yang dimaksud bukan hanya terbatas pada sumber daya manusia atau anggaran semata, akan tetapi lebih dalam lagi pada kewenangan yang tidak melekat padanya.
Dapat dibayangkan jika seseorang atau sebuah entitas dimintai pertanggungjawaban terhadap sesuatu yang di luar kendalinya. Bukankah ini sesuatu yang tidak adil?
Artikel ini berusaha menjelaskan posisi kecamatan saat ini, permasalahan, peluang dan optimalisasi peluang yang memungkinkan camat dapat memenuhi ekspektasi masyarakat maupun pimpinan di wilayah kerjanya.
Permasalahan saat ini
Sudah lama masyarakat mengenal jabatan camat bahkan “mungkin” jabatan ini adalah jabatan aparatur sipil negara paling terkenal selain sekretaris daerah. Pendefinisian camat dalam benak masyarakat awam beragam. Namun, mayoritas orang awam menganggap camat sebagai bupati di tingkat kecamatan atau kepala wilayah kecamatan.
Istilah camat sebagai kepala wilayah sebenarnya bukan tanpa sumber yang jelas. Istilah dan praktek ini diterapkan dalam implementasi sistem pemerintahan semasa orde baru.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dipraktikkan pada saat itu menyebutkan secara jelas bahwa camat merupakan kepala wilayah kecamatan dan memimpin semua penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerjanya.
Maka tidak mengherankan jika camat semasa itu memiliki kewenangan peran dan kekuatan penuh untuk menyelenggarakan pemerintahan pembangunan dan pelayanan publik di wilayah kerjanya.
Seiring berjalannya waktu dan perubahan peraturan perundang-undangan,
posisi camat sebenarnya tidak sekuat itu. Camat saat ini adalah pemimpin perangkat daerah kecamatan dengan kewenangan mengoordinasikan urusan pemerintahan di wilayah kerjanya, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Selain itu camat juga bertugas dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum semisal urusan wawasan kebangsaan, persatuan kesatuan dan penanganan konflik.
Permasalahannya, perubahan kewenangan dan kemampuan tersebut tidak sepenuhnya dipahami masyarakat maupun segelintir pemimpin politik. Alhasil tuntutan terhadap kinerja camat saat ini terutama dari masyarakat tidak disertai dengan kemampuan camat untuk mengelola urusan tersebut.
Seringkali camat dimintai pertanggungjawaban oleh masyarakat terkait infrastruktur yang rusak atau urusan lain yang sebenarnya menjadi kewenangan dinas atau badan. Padahal jelas dalam rincian tugas dan kewenangannya camat tidak memiliki kewenangan teknis berkenaan dengan hal tersebut.
Fungsi Kecamatan
Untuk memahami kerumitan kondisi yang disampaikan penulis, perlu kiranya pembaca memahami struktur organisasi perangkat daerah yang akhirnya bermuara pada fungsi kecamatan dalam struktur tersebut. Struktur organisasi pemerintah daerah dibentuk berdasarkan urusan yang menjadi kewenangan daerah.
Terdapat 32 urusan yang menjadi kewenangan daerah. Urusan tersebut adalah bidang pemerintahan dan pembangunan yang menjadi bidang garapan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya urusan pemerintahan dibagikan kepada 6 kelompok perangkat daerah.
Perangkat daerah tersebut terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan dan Kecamatan. Fungsi dari sekretariat daerah dan sekretariat DPRD adalah unsur staf yang bertugas membantu Bupati/Wakil Bupati dan DPRD dalam perumusan kebijakan dan lain sebagainya.
Sementara, inspektorat adalah unsur pengawas internal pemerintah. Dinas adalah pelaksana urusan pemerintahan. Badan adalah pelaksana urusan penunjang pemerintahan. Sedangkan Kecamatan bertugas untuk meningkatkan koordinasi urusan pemerintahan di wilayah kerjanya.
Dari penjelasan ringkas tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksana urusan pemerintahan adalah dinas. Sehingga ketika berbicara urusan jalan dan jembatan maka pelaksananya adalah dinas yang terkait dengan pekerjaan umum. Jika berbicara tentang persampahan dan lingkungan hidup maka pengampunya adalah dinas yang terkait kebersihan dan lingkungan hidup, dan seterusnya.
Pada dasarnya tidak ada pekerjaan pemerintah yang langsung berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang tidak dilaksanakan oleh dinas. Badan, sekretariat daerah/DPRD, inspektorat adalah organisasi yang tidak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat.
Mereka adalah unsur staf dan penunjang yaitu urusan berhubungan dengan administrasi dan sumber daya pemerintah. Pertanyaannya, jika seperti itu maka apakah sesungguhnya keberadaan kecamatan itu masih diperlukan?
Secara teoritis dalam konteks organisasi pemerintah, kecamatan dapat saja dihilangkan. Namun pemerintah dan penyusun kebijakan undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sepertinya masih memandang bahwa posisi kecamatan diperlukan. Hal ini bersandar pada minimnya rentang kendali antara pemerintah kabupaten/kota dengan masyarakat dan wilayahnya.
Kecamatan masih dibutuhkan untuk memastikan komunikasi masyarakat dengan pemerintah kabupaten/kota berjalan efektif dan juga untuk mengoptimalkan koordinasi lintas perangkat daerah dan antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten dengan masyarakatnya.
Hal ini jelas disampaikan dalam undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa:
“Daerah Kabupaten/Kota membentuk kecamatan dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat Desa/Kelurahan.”
Potensi Perluasan dan Penguatan Fungsi Kecamatan
Peningkatan fungsi kecamatan sehingga memiliki kemampuan lebih luas dan berdaya sebenarnya memungkinkan dalam skema peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan selain memiliki kewenangan yang melekat, camat juga dapat diberikan kewenangan delegatif yaitu kewenangan spesifik dari bupati. Kewenangan tersebut adalah berkaitan pelaksanaan teknis urusan pemerintahan.
Dengan kewenangan delegatif ini suatu kecamatan atau camat dapat difungsikan melebihi fungsi dasarnya sebagai perangkat daerah koordinatif. Itu artinya camat dapat melaksanakan tugas teknis yang seyogyanya dilaksanakan oleh dinas atau kepala dinas.
Sebagai contoh jika camat mendapatkan pendelegasian kewenangan dalam urusan pekerjaan umum dan penataan ruang, maka pembangunan jalan kabupaten di wilayah kerjanya bisa saja dilaksanakan oleh camat.
Dengan kondisi ini maka kewenangan camat bukan hanya terbatas mengkoordinasikan kegiatan PUPR dengan pihak berkepentingan di kecamatan akan tetapi juga membangun jalan secara langsung. Dengan begitu camat menjadi lebih kuat dan luas dalam urusan jalan dan jembatan.
Upaya penguatan fungsi kecamatan seperti itu memang tidaklah mudah.
Terdapat kendala terutama berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia dan pengetahuan (knowledge) camat. Oleh karena itu upaya ini tidaklah sesederhana memberikan kewenangan begitu saja. Terdapat pra-kondisi yang perlu dipersiapkan untuk memastikan upaya ini bernilai guna.
Pra-kondisi yang penulis maksud adalah melakukan, di antaranya:
- Pertama, menentukan jenis pendelegasian yang disesuaikan dengan karakteristik kecamatan. Masing-masing kecamatan memiliki karakter yang berbeda dari aspek geografi, topografi maupun sosial budaya. Oleh karena itu pendelegasian kewenangan yang dibutuhkan tidaklah sama antara satu kecamatan dan kecamatan lainnya. Semakin sesuai jenis kewenangan yang didelegasikan dengan karakter tersebut semakin efektif pelaksanaannya.
- Kedua, penyiapan sumber daya manusia. Aspek ini lumayan rumit karena kewenangan tertentu membutuhkan kompetensi tertentu. Oleh karena itu, penting untuk dipersiapkan sumber daya manusia pelaksana yang akan membantu camat dalam pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan tersebut. Selain itu, camat pun tentu memerlukan peningkatan kompetensi dalam bidang kewenangan yang telah didelegasikan itu.
- Ketiga, pola hubungan kerja antara camat dengan perangkat daerah (dinas) yang biasanya melaksanakan kewenangan tersebut. Jangan sampai terjadi tumpang tindih kewenangan ataupun saling lempar tanggung jawab.
- Keempat, tentu distribusi anggaran. Pendelegasian kewenangan tidak akan berjalan tanpa pendelegasian anggaran. Kecamatan yang telah mendapatkan pendelegasian kewenangan berhak dan harus mendapatkan suplai anggaran untuk pelaksanaan kewenangan tersebut.
Hanya jika pra-kondisi ini telah disiapkanlah maka pendelegasian kewenangan dapat berjalan baik dan kecamatan memiliki keberdayaan dan kemampuan lebih di wilayah kerjanya masing-masing.
Plus-Minus Kebijakan Penguatan Fungsi Kecamatan
Dalam konteks pendekatan pelayanan kepada masyarakat, penguatan fungsi kecamatan memiliki dampak positif. Dengan camat yang mampu melakukan tindakan nyata (bukan sebatas koordinasi) terhadap permasalahan masyarakat, penyelesaian permasalahan tersebut tentu akan berjalan lebih cepat.
Penetapan prioritas pembangunan di wilayah pun akan lebih akurat mengingat camat dapat dianggap sebagai unsur pemerintahan yang paling memahami kebutuhan pembangunan di wilayah.
Penulis sendiri sangat mendukung jika kebijakan tersebut akan dilakukan. Akan tetapi perlu kiranya kita secara obyektif mengidentifikasi persoalan/tantangan yang akan muncul jika kebijakan ini diterapkan. Penulis mencatat beberapa tantangan yang akan hadir di antaranya:
- Beban kerja berlebihan pada pundak camat. Fungsi koordinasi sendiri pada dasarnya bukanlah beban yang ringan. Menggkoordinasikan masyarakat dengan pemerintah dan antara organisasi pemerintahan secara optimal bukanlah hal mudah. Dengan mendapatkan beban tambahan berupa tugas teknis tentu menambah beban kerja yang bisa saja tidak dapat dilaksanakan secara optimal.
- Akan terjadi perubahan pola kerja dan budaya kerja. Jika selama ini camat dan perangkatnya mengedepankan komunikasi sebagai senjata utama dalam pekerjaan. Mengedepankan “seni dalam bekerja. Maka ke depan camat dan perangkatnya harus mampu bekerja dalam sebuah manajemen proyek yang sistematis dan terukur.
Untuk menyelesaikan tantangan tersebut dibutuhkan tim kerja yang optimal. oleh karena itu sistem penempatan dan pembinaan sumber daya manusia perlu menjadi perhatian utama agar kebijakan penguatan fungsi kecamatan dapat berhasil.
Epilog
Berdasarkan observasi, penulis melihat bahwa mayoritas kedudukan kecamatan pada saat ini berada pada fungsi dasar mereka yaitu pelaksana koordinasi urusan pemerintah di wilayah kerjanya. Masih sedikit atau mungkin tidak ada kecamatan yang secara optimal mendapatkan pendelegasian wewenang dari bupati/wali kota sesuai dengan karakter wilayahnya.
Kondisi ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang salah, namun dengan kondisi ini sulit bagi masyarakat maupun pemimpin politik baik bupati maupun walikota untuk mengandalkan camat dalam mengembangkan wilayahnya secara optimal.
Sebab, fungsi koordinasi tidak bisa memastikan keberhasilan namun hanya sebagian dari faktor keberhasilan. Akhirnya, tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang berada di luar kendalinya.
0 Comments