Sebagai seorang pegawai yang memiliki kemampuan dan kompetensi terbatas seperti saya, diberi kesempatan untuk menjadi fasilitator dan pengajar merupakan sesuatu yang sangat membanggakan dan membahagiakan.
Dengan hanya memiliki sedikit kemampuan untuk memberi warna, memadupadankan gambar, dan menyesuaikannya dengan narasi paparan, saya sangat merasa terhormat mendapatkan kesempatan menyampaikan sesuatu yang bermanfaat berupa ilmu pengetahuan. Bagi saya, kesempatan itu sangat luar biasa sehingga setiap mendapatkannya saya selalu mempersiapkan yang terbaik.
Pelatihan, buat saya, merupakan pembelajaran bukan hanya untuk mereka, para peserta, tetapi juga bagi saya untuk meng-up date pengetahuan.
Pelatihan: Pembelajaran Bagi Semua
Dua bulan lalu kesempatan menjadi fasilitator datang pada saya. Perasaan saya campur aduk, antara gugup dan bahagia terasa menjadi satu. Saat itu, saya diminta panitia untuk menyampaikan materi tentang kualitas, manajemen kualitas tepatnya. Saya tidak pandai dan tidak pintar berbicara di depan kelas.
Modal saya hanya semangat, keinginan untuk berbagi ilmu, dan membagikannya kepada para peserta. Dari hasil belajar dan melihat para senior dalam mengajar, ada dua hal yang harus bisa saya berikan kepada para peserta, yakni mengerti isi modul dan memberikan nilai tambah agar dapat meningkatkan kapasitas peserta.
Untuk itu, dua hal yang saya lakukan adalah memaksa mereka untuk membaca modul, yang mungkin baru pertama kalinya mereka lakukan agar lulus dalam ujian, dan berdiskusi tentang pekerjaan kita sehari-hari terkait dengan materi.
Salah satu kritik terhadap pelatihan para praktisi seperti ini adalah sejauh mana pelatihan tersebut dapat memberikan manfaat di tempat kerja. Saya sering mendapati keluhan para atasan yang mengatakan bahwa para peserta datang kembali dari pelatihan dan telah mendapatkan pengakuan peningkatan kompetensi berupa sertifikasi, tapi tidak ada nilai tambahnya.
Pelatihan tersebut sepertinya tidak meningkatkan kinerja mereka. Itu salah satu hal yang saya pedomani ketika diberi kesempatan menjadi fasilitator. Harapan saya, peserta pelatihan mempunyai bekal untuk menjalani ujian sertifikasi dan mendapatkan nilai tambah, apa pun itu, untuk meningkatkan kinerja mereka.
Ide Baru dan Tantangannya
Saat saya menjumpai modul pelatihan, ternyata isinya cukup kompleks, tetapi tertata dengan baik. Modul tersebut menjelaskan dengan rinci tentang bagaimana penerapan manajemen kualitas dari pendekatan tradisional hingga yang kontemporer.
Mempelajari modul tersebut seolah mengantarkan saya untuk mendapatkan ilmu yang ‘asyik dan keren’, begitu istilah anak saya ketika melihat atau merasakan sesuatu yang membahagiakan dan mencerahkan.
Saat saya menjelaskannya di depan kelas, semua mata dan telinga peserta terpasang, fokus, dan menikmati kelas saya. Satu kebahagiaan dan kesuksesan saya dapatkan di hari itu. Hal-hal yang ‘indah’ tentang konsep dan mekanisme kerja ‘baru’, tidak hanya menyejukkan bagi peserta, tetapi juga bagi saya sebagai penyampai materi.
Ide-ide baru yang datang dari negara maju dan dari berbagai best practices, seolah menjadi pemandangan pegunungan hijau yang kami temui setelah seharian berjibaku dengan kemacetan ibukota.
Ide-ide baru itu juga menggambarkan bagaimana seharusnya sebuah entitas dapat menerapkan sebuah pendekatan manajemen terkini sehingga mampu mengoptimalkan kinerja mereka, kami temukan dari proses pembelajaran hari itu.
Semua wajah bersuka dan bahagia, sembari melihat dan mungkin membaca modul di hadapan mereka. Kami benar-benar menikmati suasana baru dalam mendapatkan pemahaman baru.
Hingga tiba saatnya kami memasuki bagian kedua dari rencana pengajaran saya, yaitu mendiskusikan materi dengan realita pekerjaan dan lingkungan kerja mereka. Kelas mulai ‘meriah’ dengan diskusi-diskusi yang dipicu dari ide dan pemikiran yang dihasilkan dari kening yang berkerut.
Salah satu pertanyaan dasarnya adalah, apakah konsep tersebut bisa diterapkan di tempat kerja Anda? Apakah dapat dijalankan sebagai pendekatan baru di pengelolaan perusahaan atau entitas publik di mana Anda bekerja sekarang?
Kelas mulai ‘bersuara’ dengan berbagai sharing, yang mungkin lebih dekat kepada curhat, bagaimana kondisi yang ‘belum memungkinkan’ bila ide baru tersebut diterapkan di lingkungan kerja mereka. ‘Penolakan’ berupa kondisi hubungan antara atasan dan bawahan yang masih belum baik, dipenuhi dengan para yes men (dan juga yes women) adalah salah satu tantangan tersendiri.
Selain itu, masih belum tertatanya hubungan yang baik antarlembaga, tumpang tindihnya aturan, dan lain-lain yang biasa kita dengar, adalah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Itu pengalaman saya sekitar dua bulan yang lalu.
Minggu lalu, saya mendapatkan kehormatan yang sama di kelas yang berbeda dengan materi yang berbeda. Saat itu saya diminta untuk menyampaikan materi internal control. Sebuah pengkinian konsep control pada manajemen dan organisasi yang pada pendekatan terdahulu dimasukkan dalam kerangka POAC (Planing Organizing Actuating Controlling).
Sebuah ‘pendekatan baru’ itu mengatakan bahwa control atau pengendalian mengharuskan partisipasi seluruh komponen organisasi dalam kerangka good (corporate) governance. Seru, asyik, dan keren. Dua kerangka pengajaran tetap saya jalankan dengan konsisten, yaitu ‘memaksa membaca’ dan ‘mari berdiskusi’.
Lalu, cerita berikutnya lebih kurang sama dengan pengalaman dua bulan sebelumnya. Kelas diawali dengan keheningan dan keasyikmasyukan peserta dalam menyelami ilmu-ilmu dan pandangan-pandangan baru, hingga akhirnya diakhiri dengan keriuhan kelas dan berbagai tanggapan. Salah satunya adalah pertanyaan, “Bisakah konsep itu diberlakukan pada lingkungan kerja saya sekarang?”
Prakondisi Penerapan Ide Baru
Dari kedua pengalaman tersebut, terdapat benang merah yang saling terkait, bahwa berbagai instrumen baru, pendekatan baru, apalagi yang dibawa dari negara manca yang lebih maju, mempunyai prakondisi bagi lingkungan lain yang akan menerapkannya.
Berbagai pertanyaan dan pernyataan para peserta seolah menegaskan harus adanya penyiapan lingkungan terlebih dahulu. Bukan hanya penyiapan lingkungan fisik saja yang harus disiapkan, tetapi juga penyiapan nonfisik yang paling tidak berupa mental para pelaku-pelakunya.
Suatu simpulan sederhana mengemuka ketika saya mengakhiri kedua sesi pembelajaran tersebut bersama para praktisi sebagai peserta pelatihan. Suatu simpulan muncul ketika tanpa sadar semuanya mencoba mengomparasi dengan kondisi dan lingkungan di mana konsep dan latar belakang yang mendasari adanya ‘instrumen-instrumen’ baru tersebut lahir.
Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam tulisan saya terdahulu, saya bukan anti perubahan, apalagi anti perbaikan. Namun, untuk mengaplikasikan sesuatu yang baru, yang menuntut perubahan yang mendasar daripada sekedar pola kerja, rasa-rasanya yang pertama-tama kita lakukan adalah mengubah pola pikir terlebih dahulu.
Upaya penyiapan sikap mental yang tepat perlu dilakukan agar menjadi media yang tepat dan efektif untuk menjalankan suatu instrumen baru, dalam berbagai disiplin ilmu, sebagai upaya perbaikan kinerja organisasi kita.
Ide Biasa Hasil Luar Biasa
Sampai diskusi terakhir sore itu, ingatan saya kembali pada cerita seorang sahabat tentang suatu proyek yang dipimpinnya. Proyek yang bertajuk perubahan tersebut, merupakan salah satu tugas dalam rangka pendidikan dan pelatihan setelah menduduki suatu jabatan struktural tertentu dalam organisasi pemerintahan.
Proyek tersebut dirancangnya dalam suatu tujuan besar untuk membuat sistem kerja unitnya menjadi berbasis digital dan otomatis karena sifat layanannya berupa berbagai surat keputusan. Satu hal yang menarik, dalam kerangka waktu hampir dua pertiga dari masa proyek tersebut dirancang, sahabat saya ini menggunakannya untuk mengenalkan kepada staf yang dipimpinnya untuk memberikan perhatian lebih pada penyimpanan dokumen yang tertib.
Setiap pegawai sebenarnya sudah diberikan tempat penyimpanan dari rekondisi peralatan yang ada di kantor. Pendekatan baru yang ditawarkan memungkinkan untuk melakukan penyimpanan dengan lebih teratur.
Berkas berupa dokumentasi fisik berbagai macam surat, diatur rapi berdasarkan abjad atau dengan indeks yang terklasifikasi dengan baik sehingga memudahkan untuk diambil dan digunakan kembali dalam proses layanan unit tersebut. Rancangan teratur dan ringan dipersiapkan terlebih dahulu sebelum beranjak pada hal-hal yang bersifat digital.
Suatu hal yang menarik, dengan penjelasan yang tidak kalah menarik saya dapatkan. Semua hal tersebut dilakukan oleh teman saya ini untuk memberikan pengalaman dan feel bekerja dengan sistematis, sebagai karakteristik digitalisasi dan otomasi yang dirancang.
Pengondisian tersebut, menurut teman saya, sangat diperlukan untuk mengubah sikap dan kebiasaaan stafnya, yang mohon maaf, masih didominasi oleh para pegawai senior yang masih belum terbiasa menggunakan teknologi komputer, kecuali untuk mengetik. Perubahan kebiasaan dalam bekerja tersebut merupakan dasar perubahan pola kerja yang diangankan, yakni serba digital dan otomatis.
Proyek tersebut terlihat biasa, bila dibandingkan dengan rekan-rekan seangkatan dalam kelas pendidikan dan pelatihan yang diikutinya. Namun, ternyata proyek tersebut justru berhasil mengubah mental dan pola pikir para pegawai. Selain itu, proyek perubahan tersebut mendapatkan penghargaan dari para pengujinya. Sesuatu yang biasa, tetapi berdampak luar biasa.
Epilog
Pengalaman sahabat saya itu memberikan satu pelajaran berharga bagi pembelajar yang mendapatkan kesempatan mengajar seperti saya. Satu pelajaran penting lainnya saya dapatkan dari salah satu peserta. Dia adalah seorang pegawai dari badan usaha yang dimiliki pemerintah.
Peserta tersebut menyatakan bahwa kita terkadang tidak perlu membingungkan banyak konsep. Kita juga mungkin tidak perlu terlalu rajin melakukan studi banding untuk mencari pembanding yang sebenarnya mungkin tidak sebanding. Cukup kita kerjakan saja apa yang bisa kita lakukan di hadapan kita dengan kesungguhan hati agar lebih presisi dan berkualitas. Yang lebih penting dari semua itu adalah pengondisian sikap mental untuk dapat bekerja dengan semangat dan berpikir maju.
“Percayalah”, kata peserta tersebut. “Semua instrumen baru dari manca ataupun temuan terkini, bukan tongkat ajaib dari para penyihir. Semua itu tak akan berubah dengan sendirinya tanpa ada upaya dari kita untuk menyiapkan diri terlebih dahulu”.
Satu ilmu dan pemahaman penting itu, sekali lagi yang saya dapatkan dari sebuah pelatihan, dapat menjadi pembelajaran yang bernilai dan berharga untuk semua.
di sekitar Pancoran, 17 September 2018
0 Comments