Budaya Overwork pada Aparatur Sipil Negara

by Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer | Feb 18, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Beberapa waktu yang lalu ramai terjadi diskusi di jagad maya mengenai problematika kerja yang melebihi ambang batas (overwork). Berbagai pendapat bertebaran, baik yang setuju dengan berlebihnya beban kerja maupun yang tidak setuju. Kebanyakan pendapat tidak setuju.

Karenanya, ramai netizen yang menyambi sebagai pakar ketenagakerjaan ikut berkomentar. Menariknya, isu ini dibahas dari beragam perspektif dan sudut pandang, mulai dari isu burnout syndrome hingga masalah feminisme yang ikut-ikutan nimbrung pada pembahasan ini.

Problematika overwork ini menyasar kaum-kaum pekerja, baik pada sektor formal (buruh, karyawan kantor, kurir) hingga pada sektor informal (ojek daring, pekerja jasa, dll). Namun, satu hal yang luput dibahas publik adalah bahwa overwork juga dialami oleh kaum abdi negara.

Pembahasan yang Tabu bagi Abdi Negara

Persoalan overwork bagi aparatur sipil negara (ASN) memang minim diperbincangkan. Hal ini mungkin terjadi karena ia dianggap bukan persoalan oleh khalayak ramai. Sebabnya, ada asumsi umum bahwa semua unsur penunjang kebutuhan hidup para abdi negara ini sudah dipenuhi secara maksimal oleh negara.

Selain itu, masyarakat juga masih menganggap profesi ASN sebagai profesi prestisius dan memiliki beban kerja yang sangat ringan. Bahkan tak sedikit yang menganggap ASN terbiasa makan gaji buta, memperoleh imbalan penghasilan yang tidak sepadan dengan pekerjaan.

Di satu sisi saya tidak membantah tudingan ini karena presentase “pelaku” tudingan ini di pemerintahan memang masih tinggi. Memang ada benarnya anggapan masyarakat seperti itu. Faktanya, kita masih kesulitan untuk membantah persepsi yang sudah dibangun puluhan tahun tersebut. Namun, saya akan mencoba membahas mengapa overwork di kalangan abdi negara ini perlu diketahui secara umum.

Adakah Ketentuannya?

Orang yang bekerja pada instansi pemerintahan dan turunannya bisa kita bagi menjadi dua yaitu ASN dan PNS. Aparatur Sipil Negara (ASN) menurut UU no 5 tahun 2014 adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

Sedangkan pegawai negeri sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Dari pengertian tersebut bisa dilihat ada dua tipe profesi terhadap orang-orang yang bekerja di pemerintahan. Masing-masing profesi  tersebut terikat kepada satu aturan yang sama yaitu Undang Undang (UU) ASN No 5 Tahun 2014. UU ini lah yang menjadi payung hukum keberadaan profesi tersebut di pemerintahan.

Berbicara overwork pada profesi PNS dan ASN ini, kita harus merujuk pada peraturan yang menaungi profesi ini yaitu undang-undang dan peraturan pemerintah. Menariknya, tidak satupun peraturan ini yang secara eksplisit membahas mengenai jam kerja dan lembur.

Untuk lembur, satu-satunya aturan yang bisa dijadikan rujukan hanyalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.125 tahun 2009 yang memberi defenisi pada lembur dan acuan untuk membayar uang lembur.

Peraturan ini jelas sangat riskan dikarenakan selain payung hukum yang masih lemah (peraturan menteri levelnya jauh di bawah UU dan PP) juga masih memungkinkan bias tafsir pada peraturan tersebut. Sebab, lembur yang dimaksud dalam PMK tersebut hanya spesifik membahas masalah besaran uang yang didapat seorang ASN dan PNS ketika memenuhi jam lembur.

Pertanyaannya adalah: Apakah semua melulu tentang uang? Atau apakah pegawai yang terpaksa lembur tersebut layak diganjar dengan uang? Atau apakah terhadap setiap waktu lembur berhak diganjar dengan uang, dan bagaimana jika tidak?

Membuktikan Overwork dalam Pemerintahan: Jam Kerja Berlebih

Banyak instrumen yang bisa dijadikan landasan terhadap isu overwork ini, mulai dari jam kerja berlebih, beban pekerjaan yang tidak setara, waktu tempuh perjalanan dari dan menuju kantor, hingga waktu untuk mendapat hiburan yang tidak ada. Dari instrumen di atas, saya akan mengambil 2 yang pertama untuk dijadikan isu bahwa overwork ini juga menyerang profesi pada pemerintahan.

Pertama, jam kerja berlebih. Isu ini merupakan hal yang umum dan mayoritas yang bisa didapat para PNS. Mulai dari secara teratur pulang kantor lebih lambat karena pekerjaan yang masih ada, atau hingga karena bos belum pulang, di mana etikanya bawahan tidak boleh pulang duluan.

Ya, begitulah adanya. Tak heran jika persoalan ini banyak menimbulkan burnout atau kecemasan kerja. Bayangkan jika secara teratur kita harus sudah mulai bekerja pada pukul 7.30 dan pulang dari kantor pada 18.00 setiap hari.

Tidak bermaksud tendensius, tapi situasi seperti ini tidak relevan jika dibanding-bandingkan dengan ragam profesi lain, seperti karyawan BUMN, pegawai bank, kurir paket, atau bahkan ojek online. Kita harusnya sepakat bahwa membudayakan work life balance pada setiap aspek profesi haruslah terlaksana.

Membandingkan ragam profesi dengan profesi lain hanya akan membuat kita berkubang pada situasi yang sama atau bahkan memburuk, ditindas pemilik modal dan penghamba kenaikan jabatan.

Tidak sedikit para ASN yang harus bekerja hingga larut malam hanya karena ingin memuaskan birahi atasan terhadap kepuasan kerja yang tidak ada juntrungannya. Belum lagi fakta bahwa pekerjaan masih (harus) dibawa ke rumah dan atau handphone dengan Whatsapp-nya harus tetap dalam keadaan standby, hanya untuk mendefinisikan “loyalitas”.

Belum lagi ketika Sabtu dan Minggu ASN masih harus bekerja di rumah atau sebagian bahkan tetap ke kantor karena alasan klasik “perintah atasan” dengan tugas mengutak-atik Power Point dan membuatnya sesuai dengan selera atasan, sesuatu yang seringkali dinilai oleh level IQ yang kurang tinggi.

Kelebihan Beban Kerja dan “Penindasan”

Tunggu, ini kita baru berbicara masalah kelebihan jam kerja, belum yang kedua tentang beban kerja. Profesi PNS biasanya memenuhi aspek analisis jabatan. Analisis jabatan harusnya bisa menjadi acuan untuk rekrutmen dan mengatasi kelebihan beban kerja.

Namun sayangnya, pada pelaksanaannya, fakta seringkali tidak sesuai dengan analisis jabatan. Yang mau dan bisa bekerja itulah yang ditindas. Dan ini masih menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan PNS. Bayangkan saja, kepada pegawai yang cakap akan sesuatu cenderung dilimpahi pekerjaan yang berlebihan. Hanya karena dia mampu mengerjakannya.

Hal semacam ini sudah menjadi budaya karena para atasan tidak mau pusing membagi beban pekerjaan dan mau ambil aman. Menjadi sebuah garansi bila pegawai tersebut yang mengerjakan, hasilnya akan baik.

Bisa dibayangkan bila hanya faktor kesenangan atasan terhadap seorang pegawai dalam mengerjakan pekerjaannya, dia diberi pekerjaan tambahan karena pegawai lain dianggap tidak mampu, dan atasan malas mengatur beban kerja. Jadilah seluruh pekerjaan di sebuah kantor tersebut dibebankan kepada satu ata dua orang, sangat ironi bukan.

Budaya overwork pada profesi PNS ini memang sudah terjadi bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh anggapan kuno bahwa bekerja berlebihan merupakan tanda seseorang rajin dan pekerja keras, hingga akan bermuara pada kesuksesan.

Banyak atasan masih mendewa-dewakan asumsi bahwa kerja berlebihan akan membuat seseorang menjadi sukses karena ditempa oleh beban yang berat. Bahkan, ada jargon di salah satu instansi pemerintahan yang mengatakan, “Kerja Keras, Kerja Lebih Keras, Kerja Lebih Keras Lagi”.

Meskipun mungkin sebenarnya tidak diniatkan, tapi bukankah jargon ini sangat berhimpitan dengan isu perbudakan? Jargon tersebutlah yang dipakai kaum pemilik modal pada zaman awal revolusi industri untuk “menindas pekerja”.

Epilog: Apakah Sukses hanya karena Kerja Keras?

Meskipun isu overwork untuk segala ragam profesi sudah ramai dibahas di negara-negara barat sejak beberapa dekade lalu, tapi di Indonesia kita masih setia dengan pernyataan “Kerja keras sampai sakit” akan mendatangkan kesuksesan.

Tidak sedikit motivator-motivator pada setiap kesempatan menceritakan background-nya dulu dalam bekerja keras hingga titik darah penghabisan. Itulah yang mendatangkan kesuksesan pada dirinya.

Cerita kesedihan ini selalu diulang-ulang agar heroisme muncul, sehingga menghipnotis masyarakat yang ingin ikutan sukses. Padahal, cerita klasik untuk menghipnotis ini menjadi ‘dagangan’ supaya masyarakat rela membeli tiket seminar atau sekadar buku tips sukses untuk jadi orang sukses.

Menariknya, masih banyak glorifikasi bahwa ASN dan PNS pantas bekerja overwork karena mereka digaji oleh uang rakyat untuk bekerja seperti itu. Di satu sisi anggapan ini tidak bisa dibantah. Namun di sisi lainnya muncul pertanyaan:

Apakah jika seorang ASN atau PNS terkena “burnout syndrome” atau kecemasan kerja yang berujung pada gangguan mental, ia masih bisa kita pantaskan bekerja keras?

Menurut hemat saya, memang sangat mungkin kerja keras mendatangkan hasil yang bagus dan berujung kesuksesan. Akan tetapi perlu dipikirkan, apakah kesuksesan dalam bekerja itu hanya dipengaruhi oleh kerja keras? Hmhmhm…

14
0
Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Seorang ASN yang bertugas menjaga pintu gerbang negara, "A Border Enthutiast", dan senang memberi kritik kepada diri sendiri. Bertugas sejak 2017 dan senang memperhatikan maladministrasi yang dilakukan para pejabat.

Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN yang bertugas menjaga pintu gerbang negara, "A Border Enthutiast", dan senang memberi kritik kepada diri sendiri. Bertugas sejak 2017 dan senang memperhatikan maladministrasi yang dilakukan para pejabat.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post