“Selamat pagi pak…

Untuk menyikapi penyebaran wabah COVID-19 apakah hari ini kita masih masuk kerja pak?”

“Pagi…
Untuk karyawan yang belum meninggal silakan masuk kerja seperti biasa.”

“Baik Pak, terima kasih.”


Ngeri ya, bacanya. Untunglah percakapan di atas hanya sebatas guyonan yang akhir-akhir ini sering kita lihat di berbagai grup WhatsApp. Lucu tapi miris. Pesannya seolah bilang, “Kalau Anda belum mati karena Corona, Anda masih harus datang ke kantor untuk bekerja”.

Sama mirisnya dengan membaca status kawan-kawan yang sedang terserang diare atau asam lambung. Mungkin mereka terlalu panik dengan berbagai pemberitaan Corona yang membludak di berbagai media sosial. Di tengah kepanikan dan ketidakpastian cuaca, gangguan kesehatan mulai datang, padahal Corona baru mau mulai menyerang.

Indonesia bukan negara pertama yang terkena wabah Virus Corona. Oleh karena itu, semestinya pemerintah Indonesia bisa belajar dari kasus Corona di Wuhan (Tionghoa), Singapura, atau Italia. Belajar dari mereka pula, dikaitkan dengan sebuah studi, disimpulkan bahwa:

social distancing adalah cara yang sangat sederhana tetapi terbukti efektif untuk menekan penyebaran virus Corona.

Sayangnya di Indonesia, melaksanakannya tidak semudah hasil studinya. Saat kita benar-benar harus melakukan social distancing, orang-orang malah ramai pergi berlibur dan memenuhi tempat-tempat wisata. Saat instansi pemerintah harus menginstruksikan social distancing kepada para pegawainya, keputusan yang dibuat malah lebih lama dibanding penyebaran virus Corona itu sendiri.

Para pegawai masih diwajibkan hadir ke kantor sambil menunggu terbitnya Pedoman Working From Home. Ketika akhirnya pedoman itu terbit, bisa jadi jumlah orang yang terpapar Corona sudah bertambah. Padahal, wacana bekerja dari rumah gaungnya sudah terdengar sejak akhir tahun 2019, jauh sebelum virus Corona menyerang.

Kebijakan Working from Home (WFH), Sebuah Bentuk Social Distancing

Kita tahu bahwa saat ini the Greater Jakarta menjadi kawasan paling rawan kasus COVID-19. Orang-orang yang bekerja di ibu kota tidak hanya datang dari area Jakarta saja tetapi juga dari kota tetangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Kebanyakan dari mereka adalah pengguna transportasi umum. Bisa dibayangkan, berapa besar potensi virus yang menyebar dan menempel di setiap manusia yang berdiri berhimpitan di kereta atau transportasi umum lainnya. Berapa banyak orang yang mengerti soal imunitas tubuh bahwa kalau tubuh sedang tidak fit, potensi tertular penyakit sangatlah besar.

Maka kebijakan social distancing melalui WFH selama empat belas hari ke depan adalah solusinya. Kenapa harus empat belas hari? Karena dengan empat belas hari mampu menghentikan penyebaran virus Corona secara signifikan, bahkan menyelamatkan puluhan ribu nyawa.

Sayangnya, fakta yang ditemukan di lapangan menunjukkan belum semua instansi baik di level pemerintah maupun instansi  swasta menerapkan kebijakan tersebut. Beberapa instansi menerapkan WFH melalui pembagian giliran kehadiran (shifting).

Sementara itu, instansi lainnya malah masih mewajibkan pegawainya hadir ke kantor setiap hari dengan pengurangan jam kerja. Jika kata kuncinya adalah social distancing mampu menekan penyebaran virus Corona, maka kedua metode kerja tersebut adalah sia-sia.

Apakah pemerintah Indonesia benar-benar serius dalam memerangi Corona, atau jangan-jangan pemerintah kita berpikir rakyat Indonesia mempunyai anti virus Corona yang terpasang di tubuhnya?

Bagaimana dengan Pelayanan Kepada Masyarakat?

Di situasi genting seperti ini, melayani masyarakat (secara administratif) masih kalah penting dibandingkan dengan menekan penyebaran virus. Di beberapa kelurahan di Jakarta misalnya, sudah mulai membatasi jenis pelayanan masyarakat seperti penundaan kegiatan posyandu dan hanya jenis pelayanan surat kematian saja yang akan ditangani oleh petugas kelurahan.

Dalam skala kecil, unit-unit pelayanan sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik dalam menekan penyebaran virus Corona. Percayalah, self isolating dan social distancing juga merupakan salah satu bentuk pelayanan masyarakat, atau lebih luasnya, bentuk kepedulian terhadap sesama manusia sebagai upaya menekan penyebaran virus Corona.

Supaya apa? Supaya tidak makin merepotkan petugas kesehatan kita yang jumlah personilnya (dan juga fasilitasnya) terbatas. Supaya orang tua kita, nenek-kakek kita tidak memiliki risiko tinggi terkena paparan virus Corona.

Karena berbagai sumber menyebutkan bahwa orang-orang yang paling rentan terkena Corona adalah golongan lanjut usia dengan pneumonia dan sebagian lainnya adalah golongan orang-orang yang memiliki penyakit penyerta termasuk diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular.

Selanjutnya Bagaimana?

Para pegiat Birokrat Menulis berhari-hari ini ramai berdiskusi membahas wabah Corona yang sedang melanda Indonesia. Sebagai pergerakan yang ingin merintis perbaikan dalam birokrasi dari jalur literasi, inilah kesimpulan sederhana kami tentang WFH untuk kita semua khususnya yang berada di wilayah rawan Corona:

  1. Jika tugas Anda dalam rangka penanggulangan COVID-19, kami dukung dan doakan agar Anda selalu sehat dan aman. Andalah pemberani dan pahlawan.
  2. Jika tugas Anda dalam rangka pelayanan langsung kepada masyarakat – yang sulit ditunda, kami dukung dan doakan agar Anda selalu sehat dan aman. Anda juga adalah pemberani dan pahlawan.
  3. Jika tugas Anda tidak terkait dengan nomer 1 dan 2, tolong bekerjalah dari rumah saja. Tidak perlu sok pemberani, segera minta izin kepada atasan.

Akan tetapi, jika Anda masih saja disuruh bekerja, baik di kantor pemerintah ataupun swasta, tetap beranikanlah untuk meminta izin pada atasan. Jika atasan tidak memberikan izin, sementara tugas dan tanggung jawab pekerjaan pun bukan merupakan bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat, carilah momentum bicara.

Untuk menyeimbangi guyonan percakapan dengan bos seperti di bagian awal artikel ini, balaslah guyonan bos Anda sehingga versi lengkapnya:

“Untuk karyawan yang belum meninggal silakan masuk kerja seperti biasa”

“Baik, Pak/Bu Bos.

Tapi (maaf) Anda ini Covidiot”

Penutup

Sebelum artikel ini saya akhiri, saya ingin mengutip sebuah pernyataan dari seorang pegiat Birokrat Menulis:

Saat wabah ini melanda, KPI kantor adalah ‘seberapa utuh tim kantor selepas wabah ini berlalu’. Kehilangan satu saja anggota, berarti kegagalan jajaran pimpinan kantor.

Tinggallah di rumah, sebelum keadaan semakin memburuk. Semoga kita semua dijauhkan dari segala macam bahaya. Teruntuk para atasan yang belum memberikan izin kepada kami yang menjadi bawahan, teman-teman saya menitipkan pesan:

“Pak/Bu Bos, Percayalah…. Kami bisa WFH”

6
0
Rista Nur Farida ▲ Active Writer and Associate Poetry Writer

Seorang perempuan biasa yang cinta keluarga. Kadang menulis cerita anak, kadang menulis artikel, tapi lebih sering menulis status di Facebook.

Rista Nur Farida ▲ Active Writer and Associate Poetry Writer

Rista Nur Farida ▲ Active Writer and Associate Poetry Writer

Author

Seorang perempuan biasa yang cinta keluarga. Kadang menulis cerita anak, kadang menulis artikel, tapi lebih sering menulis status di Facebook.

2 Comments

  1. Avatar

    Saya bertanya dalam hati: Apakah kebiasaan bercanda seperti itu untuk menghilangkan rasa ketakutan, kegelisaan, kekawatiran dsbnya atau yang bersangkutan kehilangan rasa kepekaan bahwa hidupnya sendiri sedang dalam bahaya atau bercanda seperti itu menunjukan yang bersangkutan adalah manusia super? ……..
    Kiranya setiap kita dapat mengintropeksi diri untuk peduli terhadap sesamanya
    Salam pergerakan

    Reply
  2. Avatar

    Saat saya berangkat ke kantor, saya menitipkan pesan untuk anak saya yang berumur 3 bulan:
    ‘Nak, sehat-sehat ya di rumah. Kalau sakit negara hanya berkata kasihan, kalau gugur hanya dikirimi bunga.’

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post