BLU: Sebuah Catatan tentang Proporsionalitas dan Pengentasan Kemiskinan

by | Dec 16, 2021 | Birokrasi Melayani | 2 comments

“Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”, kedua frase ini merupakan landasan  dibentuknya Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berdasarkan ketentuan pasal 68 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004.

Sebagai sebuah keunggulan, instansi pemerintah yang telah ditetapkan sebagai BLU diberikan relaksasi dalam pengelolaan keuangannya berdasarkan prinsip ekonomi dan produktifitas, serta penerapan praktik bisnis yang sehat.

Harapan dalam Pembentukan BLU

Dengan adanya relaksasi, diharapkan instansi pemerintah yang utamanya bergerak di bidang layanan kesehatan, pendidikan, otoritas tertentu dan lainnya yang telah mendapatkan legitimasi Pengelolaan Keuangan (PK) BLU dapat lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang optimal, lebih fleksibel, dan responsif.

Kita ketahui bahwa kesejahteraan umum yang menjadi landasan dibentuknya BLU dapat dinilai dari tiga aspek yaitu: kesehatan, pendidikan, dan perekonomian. Oleh karenanya, terdapat 107 instansi pemerintah yang telah ditetapkan sebagai PK BLU bidang pendidikan, 106 instansi bidang kesehatan, 24 instansi bidang barang jasa lainnya, 9 instansi bidang pengelola dana, serta 6 instansi bidang kawasan.

Ratusan BLU tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas kesehatan, mutu pendidikan, dan laju perekonomian bangsa. Secara historis, BLU mulanya hanya berjumlah 13 satuan kerja (satker) di tahun 2005. Namun, seiring dengan kebutuhan akselerasi pembangunan, kini BLU telah berjumlah 271 satker yang tersebar di 32 Provinsi di Indonesia.

Sebelum ditetapkan sebagai BLU, satker-satker tersebut harus memenuhi syarat-syarat substansif (memiliki sumber pendapatan dari layanan), teknis (punya kinerja yang terukur), dan administratif (dapat dipertanggungjawabkan). Tentu, tidak semua satker dapat memenuhi persyaratan tersebut.

Hal ini mengingat sebagian besar instansi pemerintah masih “tertatih-tatih” dalam menyusun kinerja yang terukur dan “bersusah-payah” mempertanggungjawabkan anggarannya berikut dengan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang kadang-kadang bisa mencapai 50% sebab kesulitan dalam melaksanakan serapan anggaran.

Hak dan Kewajiban

Satker yang telah ditetapkan sebagai BLU kemudian mendapatkan hak-hak seperti fleksibilitas pelaksanaan anggaran, mempekerjakan tenaga profesional non-PNS serta remunerasi bagi pegawai sesuai kontribusinya.

Selain hak, kewajiban yang mesti dipenuhi satker tersebut berupa peningkatan pelayanan, kinerja, output, penghitungan harga pokok, serta penghitugan dan penyajian anggaran.

Oleh karenanya, keseriusan pemerintah dalam mendorong percepatan penetapan BLU pada ratusan satker – yang telah terbentuk sejak 2005 – sesuai dengan persyaratan ketat tersebut layak untuk diapresiasi.

Bukti nyata keseriusan pemerintah itu kemudian dapat terlihat dari peningkatan yang signifikan dari total pendapatan BLU dari tahun ke tahun. Bahkan di tahun 2021 ini, pendapatan BLU mencapai Rp 69,6 triliun dari target Rp 50 triliun atau 139 persen lebih dari target (money.kompas.com Edisi 19/03/2021).

Catatan Pertama: BLU Belum Merata di 34 Provinsi

Berdasarkan uraian dari capaian pemerintah dalam perjalanan BLU di atas, terdapat beberapa catatan yang kiranya dapat menjadi acuan dalam pengembangan BLU di masa depan:

Pertama, belum merata di 34 Provinsi. Terdapat 2 Provinsi yang hingga saat ini belum memiliki instansi yang telah ditetapkan sebagai BLU, yaitu : Bangka Belitung (Babel) dan Sulawesi Barat (Sulbar). Dua wilayah ini bukanlah provinsi baru di Indonesia.

Babel dan Sulbar dengan jumlah penduduk masing-masing 1,4 juta dan 1,5 jiwa itu tidak ubahnya seperti Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara dengan penduduknya yang berjumlah masing-masing 1,2 juta jiwa.

  • Setidaknya, Gorontalo telah memiliki 2 BLU yaitu Universitas Negeri Gorontalo dan Bandara Djalaluddin Gorontalo dan Maluku Utara dengan Universitas Khairun-nya. Sementara Babel dan Sulbar belum mempunyai bahkan satu BLU pun.
  • Babel mempunyai RS Umum Daerah Dr. (H.C.) Ir. Soekarno yang sudah bertipe B. Babel juga punya Universitas Bangka Belitung yang terakreditasi B. Tidak kah dua institusi besar Babel ini layak untuk ditetapkan sebagai BLU?
  • Begitupun dengan Sulbar  yang memiliki 10 unit RS Umum masing-masing dengan tipe C dan D. Sulbar juga punya Universitas Sulawesi Barat yang terakreditasi B. Selain memang berhak, rasanya Sulbar juga layak untuk mendapatkan salah satu atau salah dua institusinya ditetapkan sebagai BLU.

Catatan Kedua: Sektor yang Belum Mengentaskan Kemiskinan

Kedua, belum menyasar pengentasan kemiskinan secara maksimal. Capaian tujuan untuk “memajukan kesejahteraan umum” yang juga merupakan landasaran pembentukan BLU kiranya dapat dilihat dari proporsi jumlah BLU bidang pengelola dana, kawasan, dan barang jasa lainnya. Ketiga bidang tersebut saat ini baru berjumlah 9 satker di 12 Provinsi.

Provinsi Jawa Timur (Jatim) dengan jumlah total penduduk miskin terbesar (4,6 juta jiwa), hanya memiliki 2 BLU bidang barang jasa lainnya yaitu Pusat Veterinaria Farma Surabaya dan Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari.

Begitu pula Provinsi Papua dan Papua Barat dengan peringkat wilayah termiskin se-Indonesia (masing-masing 26,8% dan 21,7% penduduk miskin) tidak memiliki BLU selain bidang kesehatan dan pendidikan berupa Rumah Sakit dan Balai Pendidikan.

Pusat Farma dan Balai Besar Jatim pun terasa belum menyentuh upaya pengentasan kemiskinan di wilayah dengan penduduk terbesar itu. Begitu pula dengan RS dan Balai Pendidikan yang ada di Papua dan Papua Barat yang jelas-jelas bukan merupakan institusi yang bergerak di bidang pemberdayaan perekonomian masyarakat?

Jika BLU dimaksudkan untuk memegang peran dalam peningkatan perekonomian masyarakat. Bukankah penetapan lembaga bidang perekonomian juga sangat layak untuk dijadikan BLU di wilayah-wilayah tersebut?

Epilog: Pemerataan dan Pembentukan

Kita sepakat bahwa maksud dari proporsionalitas dalam pemerataan BLU di setiap wilayah bukanlah bahwa setiap Provinsi harus memiliki jumlah BLU yang sama. Kita memahami bahwa setiap wilayah memiliki karaktertistik yang berbeda-beda. Mulai dari jumlah penduduk, luas wilayah, hingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Namun, sektor kesehatan dan pendidikan yang menjadi prioritas utama dalam pembentukan BLU kiranya menjadi hak setiap wilayah (Provinsi). Maka, Provinsi Babel dan Sulbar sangat layak untuk mendapatkan hak penetapan BLU pada instansi yang berada di wilayahnya.

Perjalanan BLU selama 16 tahun terbentuk semestinya mengedepankan pemerataan dalam artian yaitu satu Provinsi satu BLU (minimal). Begitu pula peran BLU dalam peningkatan perkonomian seharusnya dapat termanifestasi dengan keberadaannya pada wilayah-wilayah darurat kemiskinan untuk mendorong laju peningkatan pendapatan masyarakat setempat.

Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat dalam hal ini menjadi sorotan karena besarnya jumlah penduduk miskin. Namun, dalam kaitannya dengan peran BLU sebagai promotor penggerak perekonomian di wilayah tersebut rasanya belum terwujud hingga saat ini.

Oleh karenanya, dua hal yang menjadi catatan terhadap perbaikan BLU di masa depan yaitu: pemerataan BLU yang proporsional di setiap provinsi dan pembentukan BLU yang bergerak di bidang perekonomian bagi wilayah-wilayah termiskin.

0
0
Fauzan Hidayat ◆ Active Writer

Fauzan Hidayat ◆ Active Writer

Author

ASN pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Republik Indonesia

2 Comments

  1. Avatar

    Siap terima kasih banyak atas masukannya pak sangat bermanfaat

    Reply
  2. Avatar

    mungkin sebaiknya diurai lebih lanjut mengenai BLU atau BLUD, karena keduanya memiliki hulu yang berbeda. BLUD di pemerintah daerah sedang BLU di pemerintah pusat (satker vertikal). Agar pembaca tidak bias dalam mencerna tujuan dan esensi tulisan dalam lingkup yang lebih pas

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post