Ketika mengikuti perkembangan bagaimana para tenaga kesehatan berjibaku menyelamatkan nyawa pasien di sebuah negara Eropa, saya dengan terenyuh mendengar pernyataan seorang dokter yang diwawancarai sehabis menangani pasien.
Katanya, dalam situasi saat ini, ia seperti merasa “We are not good enough“, kami tidak cukup baik. Padahal, ia telah berjibaku dengan gigihnya. Apakah artinya pernyataan tersebut?
Mari kita lihat pandangan seseorang di internet ketika menjelaskan makna yang dirasakannya terkait kalimat tersebut:
“I often consider myself to be ‘not good enough’. Mostly it stems from low self-esteem, depression, and near constant anxiety. However, these disorders have given me a very clear and unbiased picture of the kind of person I am, and it is not at all the type of person I want to be. When I think myself not good enough, for whatever thing, it is because I weigh the reality of the person I am against that thing.”
“Saya sering merasa diri saya ‘tidak cukup baik’. Perasaan ini seperti merendahkan diri, depresi, dan cemas terus-menerus. Namun, perasaan aneh ini telah memberi saya perspektif yang sangat jelas dan tidak bias tentang tipe seperti apakah saya, dan itu bukan tipe orang yang saya maui. Ketika saya merasa diri saya tidak cukup baik, dalam hal apa pun yang terjadi, sebenarnya saya itu tidaklah demikian.”
Saya begitu terenyuh dengan pernyataan itu. Terasa sekali bahwa dokter di sebuah negara di Eropa tersebut mempunyai akuntabilitas dan passion yang sangat tinggi atas pekerjaannya.
Dari pernyataannya itu, kita juga bisa melihat bagaimana profesionalitas tenaga kesehatan di sana. Kita bisa melihat bahwa mereka telah menggunakan seluruh kemampuan dan kompetensinya untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Namun, ketika mereka tidak berhasil menyelamatkan nyawa manusia, mereka merasa tidak percaya diri, depresi, dan gelisah. Ini bentuk refleksi yang sangat dalam dari seorang manusia.
Merefleksikan pada Birokrat di Indonesia
Saya membayangkan, jika saja kita, seluruh birokrat sipil dan militer di negeri ini, berusaha segigih dokter itu dalam menangani Covid-19, maka kita akan begitu dihargai oleh masyarakat kita, walaupun belum tentu kita berhasil melalui tugas berat menghadapi wabah ini dengan baik.
Sebagai birokrat sipil dan militer, berbagai usaha telah kita lakukan bersama. Bahkan, Pemerintah telah sampai pada upaya tidak saja menangani kesehatan mereka yang terkena virus ini, tetapi juga konsekuensi sosial dan ekonominya.
Karena itu, Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020. Instruksi ini meminta agar seluruh instansi pemerintah melakukan perubahan ‘radikal’ atas kegiatan dan anggarannya.
Instruksi tersebut juga meminta agar kita segera mengadakan berbagai keperluan untuk mengantisipasi (mencegah) dan menangani penyebaran penyakit yang ditimbulkan oleh virus ini, baik penyakit fisik (kesehatan) maupun penyakit non-fisik (sosial dan ekonomi).
Pencegahan penyakit tersebut tentu tidak bisa hanya dilakukan oleh para tenaga kesehatan. Pencegahan sejak dini yang melibatkan banyak orang akan dapat mengurangi kecepatan penyebaran virus ini – antara lain dengan menjaga jarak, tinggal di rumah sementara waktu, ataupun karantina mandiri.
Dengan cara tersebut, maka jika terpaksa masih ada [dan pasti banyak] masyarakat kita yang harus dirawat di rumah sakit, daya tampung rumah sakit masih tersedia. Jika berbagai usaha tersebut tidak dilakukan, maka akan semakin banyak rakyat kita yang meninggal di rumahnya saat karantina mandiri karena tidak mendapatkan layanan kesehatan.
Perlindungan bagi Tenaga Kesehatan
Penanganan penyakit, terutama pasien yang sudah terpapar oleh virus, tentu lebih banyak menjadi domain tenaga kesehatan. Sebagai prajurit terdepan yang menangani pasien, mereka harus dilindungi agar tidak terpapar oleh virus.
Karena itu, mereka harus diberikan perlengkapan yang andal, yang biasa disebut personal protective equipment (PPG) atau di Indonesia disebut alat perlindungan diri (APD). Sebenarnya, APD ini tidak saja tentang pakaian, tetapi juga segala hal yang dapat melindungi mereka, termasuk kaca mata dan masker khusus yang dapat menghindari mereka terpapar virus.
Masalah muncul ketika APD tersebut ternyata terbatas jumlahnya. Karena itu, beberapa pemerintah daerah kemudian berinovasi mengarahkan usaha mikro kecil & menengah (UMKM) setempat untuk memproduksi APD non-medis. Sebab, banyak juga tenaga non-kesehatan yang berada di garda depan, seperti yang bekerja di bandara, perlu dilindungi dengan APD ini.
Dengan mengerahkan UMKM untuk memproduksi APD non-medis, maka para tenaga kesehatan tidak perlu berebutan APD dengan pihak lain, termasuk masyarakat yang membutuhkan masker non-medis agar tidak terpapar virus. UMKM juga bisa terselamatkan kehidupan ekonominya dan tetap membayar upah kepada pekerjanya.
Beberapa negara juga sudah melakukan tindakan drastis terkait Covid-19 ini, yaitu memerintahkan perusahaan-perusahaan swasta untuk memproduksi APD dan juga ventilator. Di Amerika Serikat, Presiden Trump memerintahkan perusahaan mobil untuk memproduksi ventilator.
Presiden Trump bahkan menggunakan Defense Protection Act untuk dapat memaksa perusahaan-perusahaan swasta berproduksi alat-alat yang dibutuhkan untuk penanganan penyakit ini. Di sebuah negara di Eropa, seluruh rumah sakit swasta juga sudah diambil-alih pengelolaannya oleh pemerintah.
Pemerintahan di Indonesia Telah Berupaya
Di Indonesia, Pemerintah juga sudah memulainya. Ventilator akan diusahakan diproduksi oleh perusahaan otomotif, selain mengimpornya dari luar negeri. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga sudah mendekati sebuah perusahaan yang biasanya memproduksi pakaian tentara agar memproduksi APD medis.
Beberapa hotel swasta sudah diserahkan pengelolaannya ke Pemerintah melalui Gugus Tugas masing-masing untuk digunakan oleh tenaga kesehatan. Pengendalian komando Gugus Tugas menurut edaran Menteri Dalam Negeri terbaru juga sudah memerankan Kodam, Korem, Kodim, dan Koramil, termasuk kepolisian.
Di sisi penanganan dampak sosial dan ekonomi, Pemerintah sudah selangkah lebih maju. Bahkan, kecenderungannya, penanganan ini malah menjadi pertimbangan awal dalam mengambil keputusan terkait pencegahan dan penanganan virus ini.
Berbagai paket kebijakan juga baru-baru ini sudah kita dengar, terutama dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang pendapatannya berbasis harian. Sebuah desa di Pulau Jawa juga sudah ada yang mengalokasikan Rp80 ribu per hari per warga yang pendapatannya terpengaruh negatif akibat penyakit ini.
Di tengah situasi kita mesti bekerja dari rumah (work from home) ini, para auditor juga masih banyak yang bekerja di kantor. Mereka mesti melayani pendampingan dan pengawasan agar instansi pemerintah mau memfokuskan kembali kegiatan dan anggarannya kepada pencegahan dan penanganan penyakit ini.
Pertanyaannya, apakah kami – birokrat sipil dan militer – ini telah bekerja dengan baik? Are we good enough?
Andalah yang lebih tahu jawabannya.
Catatan: Tulisan ini disusun di tengah munculnya pertanyaan apakah Indonesia bisa menangani Covid-19 ke depan dan munculnya harapan-harapan baru yang menggembirakan di lapangan.
Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis.
Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI).
Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”.
Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia).
Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management.
Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.
Menarik Prof Rudy! Dalam kondisi seperti ini, sepertinya kita akan lebih dapat menilai siapa pemimpin, baik pemerintah, DPR/DPRD maupun politisi yang benar2 bergerak sigap dan cepat untuk kepentingan rakyat banyak khususnya rakyat yg sangat terdampak tanpa mementingkan diri atau golongannya. Bahkan kalau diminta dipotong gaji atau tunjangan untuk realokasi anggaran utk penanganan covid-19 ini juga bersedia dg segera, ikhlas dan lapang dada. Moga tidak ada pihak2 yang selalu berusaha mengambil keuntungan utk pribadi/golongan dlm proses penyaluran dananya termasuk aturan yg dibuat utk memonitor/mengawasi penyalurannya. Kalau masih ada, bisakah dikatakan bahwa mereka turut andil dlm peningkatan angka kematian karena wabah covid-19 ini?
Sepertinya sudah direspon Presiden, ya? https://nasional.tempo.co/read/1358870/simak-kinerja-kementerian-kementerian-yang-ditegur-keras-jokowi/full&view=ok
Lae Prof…
Kebangetan klo ada yg berani mengklaim sdh 100% dgn capaian spt sekarang. Jumlah positif yg relatif kecil jangan2 krn yg ditest juga masih sangat kecil. Peremehan thd covid 19 di awal2 kasus pertama terjadi dan sebelumnya jelas terjadi kok…
Saatnya sekarang bekerja bersama lebih serius. Anggap semua pihak sbg mitra bukan pesaing.
Sekarang semakin meningkat dengan semakin bertambahnya kemampuan pengetesan PCR.