Birokrat (Seharusnya) Berfilosofi

by Fitriati Anom ♥ Associate Writer | Mar 5, 2025 | Literasi | 2 comments

silhouette of child sitting behind tree during sunset

Ada Apa Dengan Filsafat?

Ketika mendengar kata “filsafat”, kebanyakan orang membayangkan sesuatu yang berat dan rumit. Hal ini menyebabkan seseorang tidak tertarik untuk mencari tahu dan memelajari filsafat. “Filsafat itu susah”, demikian anggapan mereka.

Apalagi dengan kemajuan media sosial sekarang, gempuran informasi dan konten hiburan tidak dapat dibendung, serta anggapan sebagian kalangan bahwa belajar filsafat bisa berakibat “ateis” dan “murtad”, seakan semakin menjauhkan minat orang-orang dari filsafat.

Namun pada kenyataannya, sadar atau tidak sadar,
setiap manusia sebenarnya pernah bersentuhan dan bahkan mempraktekkan filsafat dalam hidupnya. Karena filsafat itu adalah sebuah keniscayaan, sebuah bagian penting dari kehidupan dan peradaban manusia. Tidak percaya?

Berkenalan Dengan Filsafat

Istilah Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia. Philosophia terdiri dari dua kata yaitu philos atau cinta dan sophos atau kebijaksanaan. Makna singkat Philosophia adalah “cinta kebijaksanaan”.

Dengan demikian seseorang yang berhasil memelajari filsafat secara benar seharusnya merepresentasikan diri sebagai yang cinta kebijaksanaan.

Bukanlah seorang pemelajar filsafat jika masih menutup mata dan tidak bijaksana terhadap segala hal, terutama yang berbeda dengan dirinya. Apatah lagi hanya sibuk berdebat kusir dan merendahkan. Itu sangat jauh dari makna Sophia.

Filsafat atau filosofi adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Hal ini karena sifat dari filsafat yang ingin selalu mengetahui seluk beluk hingga hakikat sesuatu, apapun yang ada di alam semesta. Keingintahuan tersebut melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan metodologi penelitiannya, hipotesa, teori-teori, hasil penelitian hingga penemuan dan inovasi.

Para ahli ilmu pengetahuan zaman dahulu adalah juga seorang filsuf, karena mereka memiliki kecintaan yang sangat besar terhadap keingintahuannya.

  • Demokritus seorang filsuf dari Yunani Kuno juga seorang penemu Atom,
  • Plato dan Thales filsuf dari Yunani juga seorang matematikawan,
  • Carl Sagan dalam bukunya Cosmos, menyatakan sains tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat didiskusikan tanpa melibatkan dan berhadapan langsung dengan isu sosial, politik, agama dan filsafat (Sagan, 2016).

Filsafat adalah dasar dari perkembangan segala ilmu pengetahuan

Mengapa Harus Filsafat

Semua berawal dari rasa ingin tahu. Begitulah seorang manusia bersentuhan dengan filsafat. Sehingga setiap manusia sejatinya telah berfilsafat sejak dilahirkan.

Seorang bayi yang didorong oleh rasa ingin tahu, nalurinya selalu ingin memasukkan benda apapun ke mulutnya. Seorang kanak-kanak yang baru bisa berbicara, tanpa lelah selalu mengajukan pertanyaan kepada orang terdekatnya mengenai “apa ini?”, “apa itu?”, “mengapa begini?” dan “mengapa begitu?”.

Begitulah filsafat bermula.

Sebagai manusia ciptaan Tuhan yang diberi akal, sudah seharusnya seseorang itu gelisah akan banyak hal. Gelisah disini maksudnya adalah banyaknya pertanyaan yang timbul dalam benaknya tentang dirinya dan hakikat penciptaannya beserta alam semesta, dan pertanyaan itu mendorongnya untuk mencari tahu akan jawabannya. 

Memelajari filsafat membuat seorang manusia tercerahkan, alih-alih menyimpang (berdasarkan anggapan kebanyakan orang). Membaca adalah Koentji (meminjam istilah kekinian). Keterampilan membaca yang baik akan melatih kemampuan memahami.

Kemampuan memahami yang mumpuni menyebabkan seseorang dapat mengembangkan pemikiran logis nan tajam. Sehingga apapun pengetahuan yang diserapnya, pikirannya tetap kritis dan memiliki hak prerogatif dalam memutuskan keyakinannya.

Pada akhirnya, apa yang kita pelajari belum tentu menjadi apa yang kita yakini. Pengetahuan tetaplah sebuah pengetahuan, sedangkan keyakinan berada di atas pengetahuan tersebut.

Keyakinan itu merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan yang menjadi tesis dan antitesisnya. Keyakinan, yang pada awalnya bernuansa dogmatis, menjadi realistis begitu kita mengetahui hakikatnya.

Belajar dan menggunakan akal adalah perintah Tuhan. Seperti Alquran yang menyuruh manusia untuk memperhatikan alam semesta menggunakan akalnya sebagaimana kalam:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran ayat 190).

Begitu juga dengan kisah Ibrahim dalam proses mencari dan menemukan keberadaan Tuhan, sebagaimana yang diceritakan dalam QS. Al-An’am ayat 76-79. 

Orang yang berfilosofi memiliki visi jauh ke depan, meskipun hanya berbekal mengamati fenomena yang sedang dihadapinya di masa kini. Dia memiliki kerangka berpikir yang terstruktur dan paripurna. Sebagaimana dijabarkan oleh Benjamin Bloom tentang suatu kesatuan kemampuan berpikir dalam enam tingkatan, yaitu:

Pengetahuan => Pemahaman => Penerapan => Analisis => Sintesis => Evaluasi/Kreasi/Menciptakan

Seorang yang mampu berfilosofi, mampu mengimplementasikan metode berpikir yang sistematis. Keilmuan yang dimilikinya dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Ketajaman intuisinya berperan dalam memberikan sentuhan kebijaksanaan dalam setiap keputusannya, sehingga keputusan tersebut tidak hanya tepat, tapi juga bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Birokrat (Seharusnya) Berfilosofi

Kesadaran akan pentingnya berfilosofi mengantarkan seseorang pada hidup yang lebih bermakna. Akal sehatnya tidak dapat berhenti untuk berpikir dan selalu dalam mode skeptis akan sesuatu. Demokritus pernah menyatakan bahwa “lebih baik saya memahami satu penyebab daripada menjadi Raja Persia”.

Birokrat yang berjiwa melayani dengan menggunakan akal sehatnya,
lebih berorientasi pada pengetahuan untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dengan kebijaksanaan, alih-alih mengejar suatu posisi dalam keadaan pikiran hampa dari misi apatah lagi visi. Seperti prinsip Demokritus, jabatan itu levelnya ada di bawah pengetahuan, bahkan jabatan sekelas Raja Persia sekalipun.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai birokrat, abdi negara dan pelayan masyarakat bukanlah sebuah roda yang hanya bisa berputar dengan pasif mengikuti irama mesin. PNS (katanya) berfungsi sebagai inisiator, katalisator, inovator dan pelopor kemajuan.

Fungsi-fungsi tersebut dapat terwujud, jika seorang PNS menggunakan akalnya untuk berpikir mendalam. Tidak hanya melihat masalah yang terjadi di permukaan, namun juga mampu mengidentifikasi potensi masalah, serta mencari antisipasi.

Selain itu, dengan akalnya yang mendalam, seorang PNS mampu mengonsepkan dan mengaplikasikan inovasi untuk rekayasa sistem maupun rekayasa sosial. Minimal di lingkungan kerjanya, atau dalam lingkup paling kecil yaitu mindset dan caranya menyelesaikan tanggung jawab.

Seorang PNS sebagai birokrat sejatinya dipersiapkan untuk menjadi leader di kemudian hari. Seorang leader idealnya memiliki ketajaman intuisi, sehingga sebagai decission maker, dia mampu memutuskan kebijakan yang paling tepat dan tentunya bijaksana. Bukan kebijakan “cek ombak” atau kebijakan “coba-coba”. 

Seperti Vladimir Putin: Memahami Misi

Vladimir Putin pernah menyatakan, bahwa ia tidak membaca buku yang ditulis oleh orang-orang yang mengkhianati tanah airnya. Sepintas ini hanya kalimat biasa, soal selera, soal suka dan tidak suka.

Namun jika kita mendalami kalimatnya tersebut, kita bisa merasakan kuatnya ia menghormati kesetiaan, dan sebegitu antinya ia dengan pengkhianatan, dalam hal ini pengkhianatan terhadap tanah air.

Tentunya kita mengenalnya sebagai seorang pemimpin yang disegani tidak hanya di Rusia namun juga salah satu pemimpin negara yang disegani di dunia. Artinya apa? Dia memiliki visi yang tajam dan misi yang jelas. Dia dengan sadar memilih salah satu bentuk integritasnya. Dia paham apa yang dia lakukan.

Negara dan masyarakat di Republik Indonesia yang luas ini butuh pengelolaan yang berasal dari pemahaman mendalam akan kompleksitasnya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu bukan hanya pajangan dan hafalan anak sekolah semata.

Semboyan itu menjadi petunjuk sekaligus peringatan, bahwa pengelolaan negara itu salah satunya berbasis diversitas dan inklusivitas. Seorang birokrat semestinya tahu dan paham apa yang telah dan akan dilakukan.

Negara ini tidak hanya butuh birokrat-birokrat yang memiliki kompetensi manajerial semata. Negara ini membutuhkan birokrat pemikir dan gemar merenung. Sehingga setiap usulan, keputusan dan kebijakan yang diambil telah benar-benar kokoh landasannya (filosofi, hukum dan sosiologis), diidentifikasi, dianalisis, diperhitungkan resiko, sistematis dan pada akhirnya realistis.

Negara ini membutuhkan keputusan dan kebijakan yang tidak hanya populis semata. Karena negara seluas ini bukanlah sebuah laboratorium uji coba raksasa, serta rakyat sebanyak ratusan juta ini bukanlah sekumpulan obyek percobaan massal. 

Epilog: Filsafat adalah “Koentji

Demokrasi memang digadang-gadang sebagai suatu sistem yang dapat melahirkan kepemimpinan untuk kesejahteraan rakyat, karena dalam demokrasi pemegang kedaulatan tertinggi adalah rakyat. Namun terkadang aspek kebijaksanaan belum menjadi variabel utama dalam proses tersebut.

Karena basis rakyatnya sendiri belum terbiasa dan akrab berfilosofi, seperti keadaan pada Prolog di atas. Ann Druyan dalam sambutannya pada buku Cosmos, menyatakan sebuah kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaan demokrasi dan rakyat sebagai pemegang kedaulatannya.

Kata Druyan, demokrasi memerlukan masyarakat tepelajar yang merupakan pengambil keputusan yang bertanggungjawab. Meminjam logika berpikir Druyan, dunia birokrasi juga memerlukan para birokrat tepelajar sebagai pengambil keputusan yang bertanggungjawab serta bijaksana.

Semoga filsafat akan menjadi (lagi-lagi) koentji. Filsafat akan menjadi trend di masa depan, ia datang laksana obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit akal yang akut dan kronis pada masa kini dan nanti. Mari kita berdoa dan mulai membaca buku, agar ini menjadi nyata.  

0
0
Fitriati Anom ♥ Associate Writer

Fitriati Anom ♥ Associate Writer

Author

Seorang Abdi Negara pada Mahkamah Agung RI

2 Comments

  1. Avatar

    Saat ini, banyak birokrat yang mengambil suatu “kebijakan” tanpa didasari oleh evidence yang kuat, melainkan didasarkan pada logika pemimpin semata yang seringkali salah. Benar juga ketika birokrat mengerti filsafat, mereka harusnya bisa paham mengapa suatu kebijakan tersebut harus diambil dan seharusnya kebijakan yang disusun akan lebih mengena.

    Reply
    • Avatar

      Totally agree, ayo kita menjadi salah satunya.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post