Tak terasa, sudah 30 tahun saya mengabdi pada negara tercinta ini, dari periode ‘Orde Baru’ hingga periode ‘Era Reformasi’ saat ini. Negara ini pun sudah mengalami banyak perubahan. Perubahan dari segi ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Perubahan di segala bidang tersebut dilakukan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sesuai pesan di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu menjadi sebuah negara yang sejahtera, adil, dan makmur serta beradab.
Namun, apakah cita-cita dan harapan itu sudah terwujud? Atau malah stagnan dan justru menjadi lebih buruk? Tentunya, kita sendiri yang bisa menilai secara jujur dan obyektif.
Perubahan-perubahan yang dimulai dari peraturan perundang-undangan, sistem, maupun kebijakan semestinya dapat membuat Indonesia menjadi negara maju dan rakyatnya semakin sejahtera.
Tetapi, kita lihat fakta sampai hari ini kondisinya tetap berjalan di tempat. Berstatus sebagai negara berkembang, di mana produktivitas dan kualitas hidup masyarakatnya masih rendah, tingkat kemiskinan tinggi sebesar 10,86% (Sumber: BPS, 2016), serta perekonomiannya masih banyak tergantung pada negara lain.
Sampai kapan keadaan seperti ini akan berlangsung? Apa sebenarnya yang salah? Padahal, kita sudah merdeka selama 72 tahun. Semestinya, keadaan negeri ini menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Tapi, mengapa dengan semakin bertambahnya umur keadaannya semakin menyedihkan dan memperihatinkan?
Indonesia yang kita cintai ini tak henti-hentinya digoncang berbagai masalah dan isu yang menyesatkan. Carut marut negeri ini seperti tiada hentinya selalu terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, musibah dan bencana juga terjadi di mana-mana. Sebagai anak bangsa sekaligus abdi negara, ternyata saya juga tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa.
Terbersit sebuah pertanyaan besar yang selama ini belum pernah terpecahkan. Mengapa problematika serta goncangan itu semakin membesar? Dalam bahasa medisnya, negeri ini seperti digerogoti berbagai penyakit kronis dan ganas yang susah diobati dan disembuhkan. Sampai-sampai, alam pun seolah tidak bersahabat dengan kita.
Apakah ini karena ketiadaan keteladanan para pemimpinnya (birokratnya)? Atau karena kebodohan rakyatnya? Apakah ini sistemnya yang amburadul dan banyak rekayasa (birokrasinya)? Siapa yang salah dan kenapa salah? Jawaban yang mungkin mendekati benar adalah bisa jadi negeri ini “Salah Asuhan“!
Berbicara tentang Salah Asuhan, kita menjadi teringat dengan sebuah karya sastra Indonesia terbaik sepanjang masa yang terbit pada tahun 1928 di masa Hindia Belanda. Novel yang ditulis oleh Abdul Muis itu berjudul “Salah Asuhan”.
Novel tersebut menceritakan seorang anak pribumi bernama Hanafi yang diasuh oleh ibunya. Meskipun ibunya seorang janda, tapi kemauannya sangat keras untuk mencerdaskan anaknya hingga dikirimlah Hanafi ke Batavia untuk sekolah di Hindia Belanda Scholl (HBS).
Selama sekolah, Hanafi dititipkan kepada keluarga Belanda. Karenanya, pergaulannya pun tidak lepas dari orang-orang Belanda. Karena itu pula, tidaklah heran jika sikap, pemikiran, gaya hidup, tingkah laku, dan karakternya berubah menjadi kebarat-baratan (Westernised). Bahkan, tingkah lakunya melebihi orang Belanda asli.
Hingga akhirnya, Hanafi menikah dengan gadis pribumi bernama Rapiah dan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Syafei. Namun, rupanya rumah tangganya tidak berjalan mulus (bercerai) karena tergoda oleh gadis Belanda bernama Corrie.
Setelah menceraikan Rapiah, Hanafi kemudian menikahi Corrie. Namun, bukan kebahagiaan yang diperolehnya. Kehidupan rumah tangga Hanafi bersama Corrie justru terasa bagai neraka dunia. Corrie yang dulunya supel dan lincah kini menjadi nyonya yang pendiam. Hanafi justru malah menjadi suami yang pencemburu, kasar, dan bengis.
Tak lama setelah Corrie meninggal, Hanafi pun jatuh sakit. Setelah sembuh, Hanafi menyadari kesalahannya dan pulang ke kampung tanah kelahirannya. Dia meminta maaf pada ibu dan mantan istrinya serta menemui anaknya dengan harapan semoga anaknya tidak mengikuti jejak ayahnya yang sesat.
Dari kisah tersebut, kita dapat mengambil hikmah bahwa pada dasarnya setiap manusia itu tercipta dalam keadaan suci hati dan jiwanya. Tetapi, karena salah dalam mendidik (salah dalam pengasuhan), maka hati dan jiwa yang suci/baik itu lambat laun akan terkikis dan berubah menjadi hati dan jiwa yang kotor. Hal ini tampak dari sikap dan perilaku yang buruk sesuai dengan asuhan dan kebiasaan di sekelilingnya.
Dari sini timbul pertanyaan, apakah kondisi negara kita hari ini juga akibat dari salah asuhan sebagaimana cerita Hanafi di atas?
Kenyataan itu tak bisa kita pungkiri. Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia dijajah dan diasuh oleh kolonialis Belanda selama 350 tahun. Dalam kurun waktu yang sangat lama itu, bangsa ini ditindas oleh Belanda. Belanda menindas dan menguasai wilayah negeri ini dengan menerapkan politik adu domba atau pecah belah (devide at impera) antar kerajaan-kerajaan nusantara.
Dengan kombinasi strategi politik, ekonomi, dan militer, Belanda menjalankan kekuasaannya dengan cara mengangkat seorang pemimpin untuk dijadikan pemimpin tandingan dari pemimpin (raja) yang telah ada di jajaran nusantara. Hal itu dilakukan oleh Belanda dengan terencana, baik di lingkungan pemerintahan maupun di masyarakat. Karenanya, pada waktu itu, lazimlah lahirnya dua pemimpin dalam suatu kerajaan nusantara maupun suatu sistem kemasyarakatan yang sering menimbulkan konflik sosial.
Bahkan, Belanda tak segan-segan memunculkan isu-isu, provokasi, propaganda, desas-desus, serta fitnah terhadap pemimpin yang lama (yang dilegitimasi oleh masyarakat setempat), Mereka membumbu-bumbui permusuhan dalam suatu tubuh kerajaan agar suatu kerajaan menjadi tidak solid.
Maka, tak heran bila strategi pecah belah dan adu domba itu saat ini menjadi sebuat tabiat buruk yang — secara sadar atau tidak sadar — telah mempengaruhi setiap jiwa masyarakat Indonesia. Pengaruh lainnya, pemimpin (birokrat) saat ini berperilaku sebagai tuan/priyai yang selalu ingin dilayani, padahal seharusnya berperilaku sebagai abdi yang melayani bangsanya.
Perilaku buruk itulah yang sekarang melanda negeri ini. Dampaknya, korupsi seperti merajalela, gratifikasi tidak dilaporkan, dan suap (bribery) pun menjadi praktik normal. Upeti-upeti itu adalah hal yang biasa. Isu dan fitnah merajalela. Kemiskinan pun di mana-mana. Ini tidak lain karena ulah oknum sebagian pemimpin (birokrat) selaku pemegang kekuasaan yang mempertahankan sistem birokrasi yang korup akibat salah asuhan; di mana masyarakat pun juga turut andil mempengaruhi kebiasaan nista tersebut.
Inilah saatnya, sebagai anak bangsa sekaligus abdi negara, kita peduli terhadap kondisi bangsa ini dan mau bersungguh sungguh meninggalkan budaya nista akibat salah asuhan. Marilah kita renungkan salah satu Firman Allah SWT dalam Al Qurán, yaitu surat Al Maidah yang berbunyi:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Firman Tuhan tersebut sangat jelas dan gamblang, bahwa kita dilarang saling membantu dalam dosa dan pelanggaran. Akan tetapi, faktanya, tak sedikit masih kita temukan dalam birokrasi negeri ini pemimpin (birokrat) yang bermental korup. Mental ini akan bertahan dan lestari berkat usaha saling bantu-membantu, bahu membahu, bahkan bersama-sama dalam berbuat curang dan pelanggaran.
Tak cukup dalam ayat suci, bahkan Nabi dan UtusanNya juga memberi anjuran kepada umat manusia dalam hadist shahih:
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim).
Hadist di atas mengandung makna anjuran bagi siapa saja yang melihat kemungkaran, kebathilan, ataupun kejahatan wajib baginya untuk mengubah kemungkaran itu dengan tiga cara.
Yang pertama, dengan tangannya. Ini artinya bahwa kewajiban utama untuk mencegah kemungkaran itu ditujukan kepada para pemimpin (birokrat) karena mempunyai mempunyai kekuasaan.
Kedua, bila pemimpin itu tidak mampu, maka dengan lisannya. Ini adalah kewajiban masyarakat (rakyat) yang hanya bisa menyampaikan untuk menasehati pemimpin dengan tutur kata maupun dengan wasiat atau tulisan seperti yang telah dilakukan di Birokrat Menulis ini.
Ketiga adalah dengan hati nya (berdoa), dan inilah selemah-lemahnya iman. Yang ketiga inilah yang kita takutkan banyak terjadi di negeri ini. Meski pilihan ketiga ini tidak salah, tetapi jika terlalu banyak yang hanya berdoa saja tanpa berikhtiar/bertindak, maka kondisi negeri ini tak akan berubah.
Jika kita ibaratkan negara itu bagai sebuah kapal, akan dibawa ke mana arah kapal ini? Ibarat sebuah kapal yang mengangkut penuh penumpang, tetapi ada segelintir orang yang melubangi kapal itu dan semua penumpang acuh-tak acuh serta diam tidak mencegahnya, maka lambat laun kapal itu pasti tenggelam. Bila tidak ada upaya, maka kapal akan tenggelam di tengah laut.
Dengan usaha yang sungguh-sungguh, salah satunya upaya yang mesti dilakukan saat ini adalah melalui pendidikan reformasi mental, terutama bagi para pemimpin dan birokratnya.
Semoga ke depan dapat membuahkan hasil yang gemilang.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja atau lembaga lain.
Siiip Pak
Mantap