Birokrasi Humanis: Antara Idealisme dan Dilema Struktural

by | Nov 4, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Kembali memikat saya sebuah esai berjudul “Birokrasi yang Humanis: Sebuah Panggilan untuk Mengubah Paradigma“, yang ditulis oleh T.H. Hari Sucahyo.

Tulisan itu membuat saya berpikir panjang—sangat panjang. Ada kerinduan akan birokrasi yang lebih manusiawi, kritik terhadap sistem yang kaku dan tak berwajah, serta harapan bahwa empati bisa mengembalikan jiwa pada pelayanan publik.

Saya sepakat dengan semangat yang diusung. Siapa yang tidak ingin dilayani dengan ramah ketika mengurus dokumen?

Siapa yang tidak berharap petugas melihat kita sebagai manusia dengan cerita dan pergulatan hidup, bukan sekadar nomor antrean?

Namun, semakin dalam saya merenungkan gagasan ini,
semakin saya menyadari bahwa jalan menuju birokrasi yang humanis jauh lebih berliku dan penuh trade-off daripada sekadar “mengubah paradigma” atau “menanamkan empati”.

Tulisan ini berupaya untuk melanjutkan percakapan—menambahkan kompleksitas yang mungkin belum tersentuh, mengeksplorasi dilema-dilema tersembunyi di balik idealisme yang indah, dan menawarkan perspektif alternatif tentang bagaimana mencapai tujuan yang sama: birokrasi yang melayani dengan bermartabat.

Pijakan Teoretis yang Luput

Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan saya menyampaikan bahwa gagasan “birokrasi humanis” sebenarnya bukan hal baru.

Dalam literatur administrasi publik, konsep ini telah berkembang puluhan tahun—meski esai asli tidak merujuk teori ini. Penting untuk menguraikan hal ini agar diskusi kita berpijak pada kontinuitas pemikiran yang telah ada—sebuah tradisi intelektual.

Janet dan Robert Denhardt (2000) memperkenalkan New Public Service yang menekankan prinsip “melayani warga negara, bukan pelanggan” dan “menghargai manusia, bukan hanya produktivitas”.

Sebelumnya, gerakan Humanistic Management awal abad ke-20 (Abraham Maslow, Elton Mayo, Mary Parker Follett) telah mengkritik birokrasi yang terlalu mekanistik dan mengabaikan dimensi kemanusiaan dalam organisasi.

Ironisnya, birokrasi Weber yang tidak jarang dikritik sebagai “tidak humanis” justru lahir sebagai bentuk humanisme impersonal—melindungi warga dari patronase dan nepotisme yang merajalela di masa lampau.

Aturan yang impersonal adalah perlindungan: Anda tidak perlu kenal siapa-siapa, tidak perlu menyuap, tidak perlu tampan atau cantik—semua diperlakukan sama berdasarkan prosedur yang jelas.

Pijakan teoretis ini penting untuk menunjukkan bahwa humanisasi birokrasi bukan sekadar soal mengubah sikap individual, melainkan mendesain ulang sistem secara komprehensif—pelajaran yang telah didokumentasikan melalui eksperimen dan kegagalan di berbagai negara.

Akar Masalah: Struktural, Bukan Sekadar Sikap

Esai asli mengidentifikasi gejala dengan tepat: birokrasi kita kaku, formalistik, mengabaikan konteks manusiawi di balik setiap berkas. Tapi pertanyaan yang terus mengganggu saya: mengapa ini terjadi?

Apakah semata karena birokrat kurang berempati? Atau ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang struktural—yang membuat bahkan birokrat bermaksud baik pun terjebak dalam pola yang sama?

Hipotesis yang barangkali penting kita ajukan di diskusi ini: birokrasi menjadi tidak humanis bukan karena kekurangan nilai moral, melainkan karena desain sistemnya yang bermasalah.

Bayangkan seorang petugas pelayanan di loket. Dia menghadapi ratusan pemohon setiap hari dengan anggaran terbatas, target kinerja ketat, dan ancaman sanksi jika ada kesalahan prosedur. Atasan menuntut efisiensi dan kepatuhan pada aturan. Sistem audit menghukum diskresi yang dianggap menyimpang. Gaji tidak memadai, beban kerja menumpuk, dan apresiasi minim.

Dalam kondisi seperti ini, apakah realistis mengharapkan setiap petugas “membimbing dengan sabar” dan “membantu dengan empati” setiap saat? Ini bukan soal kehendak baik—ini soal kapasitas manusia yang terbatas dalam sistem yang tidak mendukung.

Inilah yang bisa kita sebut sebagai kesalahan atribusi dalam diskusi reformasi birokrasi: kita terlalu cepat menyalahkan sikap individu, padahal sistem-lah yang menciptakan insentif untuk berperilaku tidak humanis.

Dilema yang Tak Terelakkan: Standarisasi vs Fleksibilitas

Argumen bahwa “aturan harus menjadi sarana, bukan tujuan” terdengar indah—dalam teori. Tapi dalam praktik, ini salah satu trade-off paling sulit dalam dunia administrasi publik.

Perhatikan kasus berikut: Seorang pedagang kecil datang mengurus izin usaha tanpa dokumen lengkap karena tidak paham prosedur. Petugas yang “humanis” memutuskan membantu—menerima dokumen alternatif, membimbing dengan sabar, bahkan membantu mengisi formulir. Kedengarannya indah, bukan?

Tapi sekarang bayangkan: Pedagang lain datang dengan masalah serupa, bertemu petugas berbeda yang menolak karena kelelahan atau takut melanggar prosedur.

Pedagang ini pulang dengan tangan hampa. Pertanyaan krusial: Apakah ini adil? Apakah pelayanan yang bergantung pada keberuntungan bertemu “petugas baik hati” bisa disebut pelayanan publik yang adil?

Inilah paradoks humanisasi birokrasi: semakin kita memberi ruang untuk empati dan fleksibilitas, semakin besar risiko inkonsistensi dan ketidakadilan.

Birokrasi Weber yang rigid justru melindungi warga
dari kesewenang-wenangan personal. Ketika kita mengatakan “aturan harus fleksibel”, kita sebenarnya membuka kembali ruang untuk subjektivitas.

Dan subjektivitas tanpa kontrol ketat bisa berubah menjadi diskriminasi—empati yang tidak netral, yang lebih berpihak pada yang mirip dengan kita secara etnis, bahasa, atau kelas sosial (in-group bias) tanpa kita sadari.

Humanisasi atau Simplifikasi? 

Esai asli mengajak birokrat lebih empatik, sabar, peduli. Saya menghargai idealisme ini. Tapi izinkan saya mengajukan pertanyaan lebih mendasar: Apakah warga benar-benar membutuhkan birokrat yang lebih humanis, atau mereka hanya ingin sistem yang lebih sederhana sehingga tidak perlu bergantung pada kebaikan hati petugas?

Ambil contoh negara-negara Skandinavia yang birokrasinya sering dipuji sebagai terbaik di dunia. Apakah ini karena petugas mereka lebih ramah dan empatik dibanding kita? Belum tentu. Yang membuat birokrasi Skandinavia efektif adalah:

  • Sistemnya sangat sederhana: persyaratan minimal, prosedur jelas, terintegrasi
  • Data terintegrasi lintas instansi: warga tidak bolak-balik mengurus dokumen yang sama
  • Transparansi penuh dan akuntabilitas yang jelas

Mereka tidak mengandalkan “kebaikan hati” petugas individual—mereka mendesain sistem yang secara default tidak membebani warga.

Ini mengingatkan saya pada prinsip dalam desain produk: good design makes the product intuitive, not the manual. Analognya dalam birokrasi: sistem yang baik membuat pelayanan mudah tanpa perlu bergantung pada empati petugas.

Teknologi dan Akuntabilitas: Dua Sisi yang Terabaikan

Esai asli menyinggung teknologi sebagai “sekutu” birokrasi humanis dengan catatan harus ada “sentuhan manusiawi”. Tapi teknologi adalah pedang bermata dua. Ya, ia mengurangi korupsi, mempercepat proses, meningkatkan transparansi.

Namun digital divide sangat nyata: lansia, warga di daerah terpencil, atau yang berpendidikan rendah bisa terpinggirkan. Sistem otomatis cenderung lebih kaku—jika dokumen tidak sesuai format, sistem menolak tanpa memberi ruang untuk menjelaskan konteks.

Yang juga luput dari pembahasan: mekanisme akuntabilitas. Jika kita menyerukan birokrat lebih empatik dan fleksibel, pertanyaan yang harus dijawab: siapa yang mengawasi agar fleksibilitas tidak menjadi kesewenang-wenangan?

Bagaimana mengukur “empati”—apakah ada indikator objektifnya?

Bagaimana membedakan empati autentik dengan KKN yang dibalut bahasa sopan?

Bagaimana menjamin “humanisme” tidak selektif—hanya untuk satu etnis, kelompok, atau yang bisa “memberi sesuatu?”

Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, “humanisasi” bisa jadi sekadar jargon kosong—atau lebih buruk lagi, bisa jadi euphemisme untuk kembalinya patronase dan nepotisme yang justru kita coba hindari dengan birokrasi rasional.

Alternatif yang Lebih Realistis

Setelah semua refleksi ini, saya sampai pada kesimpulan yang mungkin kurang heroik tapi lebih membumi: yang kita butuhkan bukan birokrasi yang bergantung pada kebaikan hati individual, melainkan sistem yang manusiawi by design.

Ini berarti:

Simplifikasi radikal – Kurangi persyaratan dokumen secara drastis. Integrasikan data antar-instansi. Jangan minta warga mengurus yang bisa diverifikasi otomatis.

Standarisasi diskresi – Jika petugas perlu fleksibilitas, buat guidelines sangat jelas: kapan boleh, untuk kasus apa, dengan dokumentasi bagaimana. Bukan “terserah kebijaksanaan petugas”.

Transparansi dan akuntabilitas – Semua keputusan harus dilacak dan bisa diaudit. Ini melindungi warga dari penyalahgunaan sekaligus melindungi petugas yang bekerja dengan integritas.

Investasi pada SDM – Rekrut petugas dalam jumlah memadai, beri gaji layak, berikan pelatihan yang berkualitas, dan ciptakan lingkungan kerja yang sehat. Orang yang diperlakukan dengan baik cenderung memperlakukan orang lain dengan baik.

Desain inklusif – Baik sistem manual maupun digital harus mempertimbangkan warga yang paling rentan: lansia, disabilitas, tinggal di daerah terpencil.

Penutup: Humanisme Bukan Hanya tentang Sikap

Esai “Birokrasi yang Humanis” mengajak kita bermimpi tentang birokrasi yang lebih baik. Saya menghargai mimpi itu, dan saya percaya mimpi itu perlu. Tapi mimpi tanpa peta jalan yang jelas bisa berubah menjadi frustrasi.

Yang ingin saya tambahkan adalah ini: humanisme dalam birokrasi bukan sekadar soal sikap dan paradigma, melainkan soal struktur.

Kita bisa melatih seribu birokrat untuk lebih ramah dan empatik, tapi jika sistem tetap rumit, beban kerja tetap berat, dan insentifnya salah arah, hasilnya tidak akan bertahan lama. Sebaliknya, jika kita perbaiki sistemnya—sederhanakan prosedur, integrasikan data, tingkatkan transparansi—maka bahkan tanpa “kampanye empati” yang masif, pelayanan akan membaik secara alamiah.

Ini bukan berarti empati tidak penting. Empati tetap krusial. Tapi empati tidak bisa kita bebankan sepenuhnya pada individu ketika sistem tidak mendukung. Empati harus diinstitusionalisasikan—dibangun ke dalam struktur, protokol, dan desain sistem, bukan hanya ditanamkan dalam hati setiap petugas.

Jadi mari kita bermimpi tentang birokrasi yang humanis. Tapi mari juga realistis tentang apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi itu: bukan hanya perubahan paradigma atau nilai, melainkan perubahan sistem yang berkelanjutan.

Karena pada akhirnya, birokrasi yang benar-benar humanis adalah birokrasi yang tidak membuat warga bergantung pada keberuntungan bertemu petugas yang baik hati—melainkan birokrasi yang secara sistematis dirancang untuk melayani dengan bermartabat, untuk semua, tanpa kecuali.

3
0
Irsyadinnas ♥ Active Writer

Irsyadinnas ♥ Active Writer

Author

Seorang birokrat muda yang menempa dirinya di garis depan transformasi digital pemerintahan. Perjalanan intelektualnya dimulai dari dunia angka dan data di Statistika IPB University, berlanjut menjelajahi perspektif global melalui program pendidikan singkat di University of Sydney, hingga mendalami seluk-beluk inovasi regional di Universitas Padjadjaran. Sejak 2010, ia mengabdikan dirinya sebagai ASN di Belitung Timur—sebuah pulau kecil dengan potensi besar. Dari Bappeda hingga kini memimpin Bidang Keamanan Informasi, Persandian dan Statistik di Diskominfo. Terpesona oleh kompleksitas birokrasi dan dinamika kebijakan publik, dan mulai tertarik membagikan pikirannya dalam format tulisan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post