Dalam perbincangan dan perdebatan mengenai kondisi birokrasi publik saat ini, acapkali terlontar visi jauh ke depan yang sepertinya hampir mewujud menjadi buzzword: Mewujudkan birokrasi cergas (agile) dan inovatif.
Karakter dasar birokrasi—dalam hal ini Weberian—yang berdiri di atas pilar keajegan, kontrol dan hirarki yang tersentralisir, dalam banyak praktiknya dianggap menjadi penghalang bagi upaya mendorong birokrasi menjadi organ yang adaptif dan mampu menjawab berbagai masalah publik.
Ketika Birokrasi Menerjemahkan Agilitas
Dinamika global yang diwarnai dengan diskursus Revolusi Teknologi 4.0 pun ibarat ombak besar yang menghantam berbagai sektor, tak terkecuali birokrasi publik. Kecepatan, fleksibilitas, dan inovasi, menjadi term yang menggaung di mana-mana dan semakin akrab di telinga para birokrat, mulai dari sudut kantor kelurahan sampai kantor kementerian di tengah ibukota.
Beberapa upaya digulirkan untuk mewujudkan visi di atas, antara lain lewat intervensi Reformasi Birokrasi (RB) pada 8 area perubahan yang kini telah diacu oleh seluruh instansi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, lewat adopsi teknologi.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas delivery pelayanan serta implementasi kebijakan publik, sampai pada langkah revolusioner berupa penyederhanaan birokrasi yang mengarah pada pemangkasan eselonisasi menjadi hanya 2 level, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo pada saat pelantikannya pada bulan Oktober 2019 lalu.
Dalam banyak kasus, kecergasan (agility) juga acapkali diterjemahkan oleh para birokrat—tak terkecuali di daerah—dengan membangun banyak aplikasi digital, dengan akronim unik dan berbagai macam fungsi yang dianggap menjadi terobosan pelayanan publik.
Pengadaan barang/jasa pemerintah yang berkaitan dengan piranti teknologi informasi dan komunikasi bukan lagi menjadi hal yang aneh demi mendukung akselerasi e-government sebagai salah satu langkah mencapai agility.
Namun pertanyaannya, apakah penerjemahan atas pemanfaatan teknologi dalam birokrasi publik seperti di atas selalu dapat menjadi terobosan, panacea dari patologi birokrasi yang dihadapi selama ini?
TIK: Menggugat Bangunan Birokrasi Weberian
Dalam Reformasi Birokrasi Kontekstual (2015), Agus Dwiyanto mencatat beberapa keuntungan dari pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam kerja birokrasi publik, seperti memperpendek hierarki pimpinan-pegawai, memudahkan delivery pelayanan pada masyarakat, dan meningkatkan efektivitas pengawasan tanpa hirau akan hirarki kekuasaan.
Komitmen pemanfaatan TIK juga menjadi salah satu prasyarat dalam menggugat bangunan birokrasi Weberian karena sifatnya yang ‘disruptif’.
Selain itu, dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya di UGM, Kebijakan Publik yang Agile dan Inovatif dalam Memenangkan Persaingan di Era VUCA (2019), Erwan Agus Purwanto menyebutkan bahwa pengunaan TIK dalam perumusan kebijakan publik telah melahirkan policy maker era baru, yang mampu menampilkan korelasi-korelasi antarvariabel yang sebelumnya tersembunyi dan hampir mustahil ditemukan jika dilakukan lewat pendekatan konvensional.
Namun, semua ada batas dan takarannya. Menganggap semua hal berbau teknologi mutakhir sebagai terobosan mewujudkan birokrasi cergas hanya akan menghasilkan sikap pendewaaan dan dependensi yang tak sehat, apalagi tanpa adanya kecermatan dalam membaca masalah yang dihadapi.
Fajri Siregar (*Warisan Menteri adalah Institusi, bukan Aplikasi*, 2019) mengingatkan bahwa yang utama harus dilakukan adalah mendudukkan teknologi dalam konteks yang tepat sembari—meminjam bahasa pengembangan aplikasi digital—memahami dan menggali User Experience (UX).
Problem yang sering ditemukan di tengah ‘demam’ aplikasi digital tersebut adalah perbedaan cara pandang dalam melihat ketepatgunaan aplikasi tersebut. Birokrat memandangnya sebagai obat mujarab, namun tidak dengan masyarakat umum.
Techno-Fantasy
Beberapa akibat kurang sosialisasi, tetapi lebih banyak karena konteks sosial-kultural yang gagal dibaca oleh para birokrat. Pada akhirnya, mereka terjebak pada—mengutip Nayanika Mathur—techno-fantasy yang dibayangkannya sendiri.
Lewat penelitiannya di India yang dituangkan dalam buku Paper Tiger (2016), Mathur memotret bentuk techno-fantasy yang digandrungi birokrat India dalam menerapkan kebijakan pemberian bantuan keuangan (NREGA) kepada masyarakat perdesaan.
Alih-alih membayarkannya langsung via ‘kepala desa’ (village headperson) mengingat kondisi sosial-kultural masyarakat perdesaan India yang masih perlu beberapa tahapan menuju digital and technologically literate, para birokrat menerapkan pemberian bantuan lewat rekening bank yang jarang ditemui, serta jaraknya amat jauh dari kawasan perdesaan.
Sistem yang diberlakukan pun rumit sehingga masyarakat yang sudah berjalan jauh ke bank, harus pula menghadapi kerumitan teknologi dan administratif sebelum mendapatkan bantuan uang secara tunai.
Dari sini dapat kita pahami, apa yang dibayangkan birokrat sebagai sesuatu yang ‘baik’ melalui pemanfaatan teknologi, justru tidak sejalan dengan realita di lapangan.
Merefleksikan Nilai Publik
Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud untuk menolak pemanfaatan teknologi dalam kerja birokrasi. Revolusi Teknologi 4.0 telah menjadikan kecanggihan teknologi sebagai piranti dasar yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari sehingga adopsinya menjadi hal mutlak.
Namun sebagaimana namanya, apa yang dilakukan dan dicita-citakan birokrasi publik harus mampu merefleksikan nilai-nilai ‘publik’ itu sendiri. Mengutip Pius Kartasasmita (Bringing the Public Back In, 2006), birokrasi publik harus mampu menangkap masalah dan kepentingan berkaitan hajat hidup orang banyak, serta memberikan respons kebijakan, sebagai raison d’etre bagi eksistensinya.
Oleh karenanya, upaya mewujudkan birokrasi cergas, apakah melalui pemanfataan teknologi secara masif ataupun upaya struktural lainnya, mesti disandingkan dengan kepentingan dan kondisi masyarakat luas.
Berbagai permasalahan dan keruwetan masyarakat dalam menghadapi model birokrasi yang kaku, lamban, dan berbelit-belit harus dijadikan pijakan dalam memformulasikan langkah strategis mewujudkan birokrasi cergas, dengan penekanan bahwa kepentingan dan kondisi masyarakat berbeda-beda di tiap lokusnya sehingga diperlukan intervensi khas yang kontekstual.
Beberapa wilayah dapat langsung ‘tancap gas’ menerapkan pengunaan teknologi dalam birokrasi secara masif sejalan dengan maturitas SDM, kelembagaan dan proses bisnis, sarana-prasarana, serta kondisi sosial-kultural cum literasi teknologi masyarakatnya.
Akan tetapi, jangan dilupakan mayoritas wilayah yang harus didampingi dan didorong secara intensif untuk melakukan reformasi birokrasi esensial sebagai fondasi menuju agility, dengan penahapan bertingkat mulai dari pendekatan mikro, meso, dan makro.
Epilog: Menjadi Agen Demokratisasi
Praktik birokrasi publik telah mengalami bermacam perubahan paradigma yang mendudukkan masyarakat dalam berbagai tingkatan posisi, mulai hanya sebagai objek pasif, pelanggan (customer) dalam bingkai praktek sektor swasta, sampai pada warga negara (citizen) yang pada dirinya melekat hak dan kewajiban publik di alam demokrasi.
Mengacu pada paradigma terakhir, upaya mewujudkan birokrasi cergas seyogyanya tidak hanya ditargetkan pada keinginan menjadikan birokrasi sebagai organ yang adaptif, fleksibel lagi **padat teknologi yang berjalan satu-arah, namun juga sebagai agen demokratisasi yang tangkas memfasilitasi dan mengelaborasi aspirasi serta praktek-praktek inovasi yang muncul dari masyarakat dalam kerangka governance.
Pada akhirnya, birokrasi diharapkan bukan lagi organ yang tenang berdiam pada zona amannya, tapi sebagai entitas yang memiliki sensitivitas khas untuk menuntaskan permasalahan publik, dengan mengelaborasi suara publik secara cergas dan inovatif.
Mengabdi sebagai policy analyst pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, membantu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai policy analyst di bidang Aparatur Negara selama empat tahun. Meminati isu-isu reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. Dapat dihubungi melalui surel [email protected]
Tulisan dan ulasan sangat bagus. Saya sangat setuju bahwa pendekatan Itu haruslah mempertimbangkan nilai publik itu sendiri. Terima kasih