Birokrasi Berzakat

by Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer | Jun 10, 2020 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Menghadapi pandemi COVID-19, pemerintah telah melakukan berbagai ikhtiar, salah duanya melalui pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan gerakan di rumah saja (work from home/wfh). Sayangnya, segala ikhtiar tersebut seolah hanya memperlambat penyebaran virus. Pandemi COVID-19 belum benar-benar berakhir. Namun begitu, dampaknya sudah sangat terasa. Secara kasat mata kita dapat melihat, masyarakat mulai bosan untuk menjalani gerakan di rumah saja. Indikator sederhananya berupa semakin ramainya jalan raya, pasar tradisional, pusat perbelanjaan, hingga berdesakannya para penumpang di terminal Bandara Soekarno Hatta.

Terkini, tagar #indonesiaterserah menjadi trending di jagat twitter Indonesia. Bahkan dalam waktu dekat, pemerintah menyatakan “berdamai” dengan corona dengan melaksanakan kehidupan yang bernama new normal. Sebuah tatanan kehidupan yang katanya berdampingan, seiring sejalan dengan corona. Harapannya, untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang semakin lesu.

Tanda-tanda Lesunya Perekonomian Nasional

Pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan kurang dari 3 persen. Hal ini juga menunjukan bahwa negara sangat kedodoran dalam memenuhi anggaran triliunan Rupiah guna melawan corona, sekaligus untuk mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Lebih dari 2 juta pekerja menjadi korban PHK, sementara jutaan pekerja sektor informal lainnya kehilangan pendapatan.

Selain menata kembali kehidupan menjadi normal baru, ada pula berbagai usulan penambahan anggaran yang terus digulirkan oleh berbagai pihak. Misalnya, usulan agar Bank Indonesia mencetak uang senilai 600 triliun Rupiah, hingga usulan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tentang pemotongan gaji ASN golongan III ke atas  sebesar 50%.

Semua usulan tersebut mendapat pro dan kontra. Khusus usulan gubernur Jateng mendapat resistensi dari mulai pengamat hingga ASN dengan berbagai alasan. Saking “bingungnya” dalam memenuhi anggaran terkait corona, pemerintah tetap menaikkan iuran BPJS melalui diterbitkannya PP Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Keputusan ini sontak menjadi kontroversi mengingat kenaikan iuran BPJS yang telah diputuskan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Potensi Zakat yang Belum Tergali

Saya berpendapat bahwa akan selalu ada blessing in disguise dalam suatu kejadian, artinya ada hikmah yang dapat dipetik. Melihat kondisi di mana negara benar-benar kedodoran dalam mencari sumber-sumber anggaran sementara perekonomian masyarakat merosot drastis, ada baiknya jika diapungkan kembali gagasan birokrasi berzakat.

Gagasan ini pernah diinisiasi oleh Kemenag pada tahun 2018 lalu. Pada konsepnya, dengan mekanisme zakat, dapat terkumpul dana hingga Rp 10 Triliun Rupiah per tahun dari para ASN (baik PNS maupun PPK) yang beragama Islam. Hitungan ini berdasarkan data Badan Kepagaiwaian Negara (BKN), di mana 3,5 juta dari 4,3 juta PNS saat ini tercatat sebagai penganut agama islam.

Angka ini sejatinya cukup fantastis mengingat pendapatan zakat nasional 2016 dan 2017 baru berkisar antara Rp 5-6 trilyun, dengan proporsi zakat oleh ASN baru sebesar 1,5 Trilyun Rupiah atau 25%-nya (sumber: dokumen). Sungguh masih sangat potensi zakat dari ASN yang bisa dioptimalkan.

Hingga kini gagasan Kemenag tersebut belum terealisasi. Di tengah pandemi corona yang entah kapan berakhirnya, ada baiknya konsep zakat digaungkan kembali. Alangkah baiknya jika gagasan zakat ASN ini diperluas, bukan hanya ASN yang menjadi wajib zakat melainkan juga birokrasi dalam arti luas.

Artinya, semua yang menerima pendapatan dari negara mulai dari penyelenggara negara, ASN, anggota TNI/Polri, pegawai BUMN/BUMD, dan siapapun yang menerima aliran dana yang bersumber dari anggaran negara lainnya hendaknya diwajibkan zakat. Dengan demikian, jika hitung-hitungan ASN muslim dengan jumlah 3,5 juta saja potensinya mencapai Rp 10 triliun, diperkirakan penerimaan “zakat” akan berkali lipat.

Zakat: Bureacrats Social Responsibility

Akan lebih dahsyat lagi apabila komponen objek zakat tidak hanya menyasar gaji dan tunjangan jabatan, tetapi juga tunjangan kinerja (remunerasi) bagi birokrat instansi pusat, tunjangan sertifikasi bagi guru dan dosen, serta tunjangan perbaikan penghasilan, atau apapun sebutan lainnya bagi birokrat daerah.

Kemudian jika zakat diterapkan sebagai sebuah konsep bureacrats social responsibility (BSR), semacam CSR/tanggung jawab sosial birokrasi, maka wajib “zakat” dapat diperluas tidak hanya bagi mereka yang muslim. Namun, juga dikenakan bagi semua yang menerima penghasilan dari negara tanpa memandang latar belakang agama.

Apabila hal ini diterima maka cita-cita mewujudkan keadilan sosial dapat sedikit terbantu melalui tanggung jawab sosial birokrasi. Potensi pendapatan “zakat” yang diterima pun bisa jauh melebihi potensi zakat yang dihitung oleh Baznas baru mencapai Rp 233,8 triliun.

Melembagakan Konsep Zakat

Ketika konsep zakat diterima sebagai sebuah tanggung jawab sosial birokrasi, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama terkait dengan regulasi, agar tidak melanggar hukum tata negara dan hukum administrasi negara maka diperlukan payung hukum terkait pemungutan “zakat”. Pemungutan ini perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Tanpa payung hukum, pungutan “zakat” akan berpotensi masuk dalam ranah pungutan liar (pungli).

Kedua, secara kelembagaan. Jika wajib zakat (muzakki) dibatasi hanya mereka yang beragama Islam maka pemerintah telah mempunyai BAZNAS beserta lembaga turunannya di daerah. Namun, jika “zakat” dimplementasikan sebagai sebuah “konsep” tanpa memandang agama maka perlu dibentuk lembaga baru yang mewadahi pungutan “zakat” semua umat.

Ketiga, terkait dengan wajib zakat, pengelolaan, dan objek zakat. Hal ini perlu diatur agar pendapatan “zakat” yang berpotensi mencapai ratusan triliun rupiah nantinya tidak terjadi kesalahan dalam pengelolaan dan penyalurannya, sehingga benar-benar bermanfaat bagi para mustahiq yang belum tertangani oleh negara.

Epilog

Semoga, gagasan ini dapat dijadikan bahan diskusi level elit, mengingat zakat dalam Islam merupakan Rukun Islam dan wajib dikeluarkan oleh wajib zakat. Selain sebagai wujud “membersihkan” harta, zakat juga sebagai wujud inklusivitas birokrasi dan masyarakat dalam rangka mengimplementasikan sila kemanusian yang adil dan beradab melalui gotong royong demi mewujudkan keadilan sosial dalam kerangka persatuan Indonesia. 

7
0
Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer

Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer

Author

Alumni Administrasi Negara dari UNS dan Univ. Brawijaya, serta Cooperation Policy pada Ritsumeikan Asia Pasifik University Japan. Di samping profesi sebagai PNS Kabupaten Temanggung, juga menjadi dosen pada UI UPBJJ Yogyakarta dan aktif dalam komunitas penulis Temanggung.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post