
Setelah setidaknya sepuluh tahun pernah bekerja di Bappeda, berkecimpung di dunia kelitbangan daerah yang salah satu core business-nya adalah mendorong inovasi pemerintahan dan pelayanan publik, saya melihat satu hal yang salah kaprah:
Dalam beberapa tahun terakhir, narasi tentang inovasi birokrasi menjadi tema yang begitu populer. Pemerintah daerah berlomba-lomba meluncurkan aplikasi pelayanan publik, kementerian menggelar kompetisi inovasi, dan para kepala daerah memamerkan terobosan administratif mereka di berbagai forum.
Namun, di balik gemerlap promosi inovasi ini, perlu kita pertanyakan kembali: apakah birokrasi benar-benar berinovasi, ataukah yang kita saksikan hanyalah ilusi inovasi yang dikemas dengan retorika modernisasi?
Fenomena “Inovasi” yang Seremonial
Kita sering menyaksikan peluncuran aplikasi dan sistem baru dengan pertunjukan yang meriah. Namun, tidak jarang aplikasi tersebut berakhir sebagai “zombie digital”—ada tetapi tidak berfungsi optimal, atau bahkan ditinggalkan penggunanya.
Inovasi menjadi proyek yang sifatnya seremonial: ada untuk dipamerkan, bukan untuk menyelesaikan masalah riil masyarakat.
Contoh nyata dapat dilihat dari banyaknya aplikasi pelayanan publik yang duplikatif. Satu kementerian atau daerah meluncurkan aplikasi sendiri-sendiri, tanpa interoperabilitas, sehingga masyarakat justru kebingungan harus mengunduh berapa banyak aplikasi hanya untuk mengurus berbagai keperluan administratif.
Ini bukan inovasi—ini adalah pemborosan yang dibalut dengan jargon modernisasi.
Fenomena ini mengingatkan pada konsep institutional isomorphism dari DiMaggio dan Powell (1983), di mana organisasi cenderung meniru praktik organisasi lain untuk mendapatkan legitimasi, bukan karena praktik tersebut efektif.
Birokrasi kita terjebak dalam mimetic isomorphism—meniru inovasi yang terlihat “modern” tanpa benar-benar memahami esensinya.
Inovasi Tanpa Pembelajaran Organisasi
Masalah mendasar dari inovasi birokrasi kita adalah ketiadaan transformasi budaya kerja. Sistem baru diimplementasikan, tetapi mindset lama tetap bertahan. Prosedur berbelit-belit hanya berpindah dari berkas fisik ke berkas digital. Meja ke meja tetap ada, hanya saja sekarang dalam bentuk “approval” berjenjang di sistem elektronik.
Argyris dan Schön (1978) membedakan antara single-loop learning dan double-loop learning.
Single-loop learning hanya memperbaiki kesalahan tanpa mempertanyakan
asumsi dasar, sementara double-loop learning mengubah nilai dan asumsi yang mendasari tindakan. Sayangnya, sebagian besar inovasi birokrasi kita hanya single-loop: mengubah tools
tanpa mengubah mindset.
Inovasi sejati memerlukan keberanian untuk memangkas birokrasi yang tidak perlu, menyederhanakan prosedur, dan memberikan kepercayaan kepada aparat untuk mengambil keputusan. Tanpa transformasi mendasar ini, teknologi canggih sekalipun hanya akan menjadi lapisan baru yang menutupi sistem lama yang tetap tidak efisien.
Tiga Patologi Inovasi Birokrasi
- Pertama, orientasi pada penghargaan, bukan dampak. Banyak inovasi dirancang untuk memenangkan “Top 99 Inovasi Pelayanan Publik” atau penghargaan sejenis. Ketika inovasi menjadi ajang kompetisi, yang terjadi adalah inflasi klaim keberhasilan.
Indikator keberhasilan lebih sering diukur dari jumlah pengguna atau penurunan waktu layanan di atas kertas, bukan dari kepuasan riil masyarakat.
- Kedua, tidak berkelanjutan. Ketika pejabat yang menginisiasi berpindah tugas, program inovasi tersebut mati suri. Inovasi sering kali melekat pada individu tertentu, bukan menjadi bagian dari sistem kelembagaan. Inovasi sejati seharusnya terinstitusionalisasi, menjadi bagian dari standar operasional prosedur.
- Ketiga, inovasi sebagai tugas tambahan. Akar masalah utama adalah positioning-nya yang keliru. Inovasi diperlakukan sebagai program khusus atau beban ekstra di luar tupoksi.
Ada unit inovasi terpisah, ada kompetisi inovasi tahunan—seolah inovasi adalah sesuatu yang eksternal dari pekerjaan birokrasi sehari-hari. Paradigma ini harus dibalik total: inovasi bukanlah add-on, melainkan cara kerja itu sendiri.
Bagaimana Seharusnya Inovasi Dilakukan?
- Mulai dari masalah nyata, bukan solusi mencari masalah. Terlalu banyak inovasi birokrasi yang lahir dari ketersediaan teknologi: “Ada anggaran untuk aplikasi, mari kita buat aplikasi”. Inovasi sejati dimulai dari pemahaman mendalam tentang pain points masyarakat. Lakukan riset etnografis, identifikasi hambatan riil yang mereka hadapi.
- Adopsi pendekatan iteratif dan eksperimental. Birokrasi cenderung ingin meluncurkan solusi yang “sempurna” sekaligus. Ini adalah resep kegagalan. Inovasi memerlukan proses trial and error, prototyping cepat, dan perbaikan berkelanjutan. Terapkan metodologi design thinking atau agile. Buat pilot project dalam skala kecil, evaluasi cepat, dan iterasi.
- Co-creation dengan pengguna. Jangan desain layanan di belakang meja. Libatkan masyarakat sejak tahap perancangan melalui focus group discussion, user testing, dan feedback loop yang kontinyu. Masyarakat adalah expert dalam pengalaman mereka sendiri.
- Fokus pada outcomes, bukan outputs. Ukur keberhasilan dari dampak riil: apakah waktu tunggu benar-benar berkurang? Apakah kepuasan masyarakat meningkat? Apakah biaya kepatuhan menurun? Apakah korupsi berkurang?
- Strategi Menginstitusionalisasi Inovasi. Untuk mengubah inovasi dari ilusi menjadi kenyataan, diperlukan tiga pilar institusionalisasi:
- Struktur dan sistem.
Integrasikan inovasi ke dalam SKP setiap aparat, bukan hanya tim khusus. Ciptakan “safe space to fail”—zona di mana aparat boleh bereksperimen tanpa takut diaudit jika gagal. Reformasi sistem pengawasan agar auditor memahami konteks inovasi dan membedakan eksperimen dari kelalaian.
2. Budaya dan kepemimpinan.
Budaya “menghindari risiko” harus berubah menjadi “mengelola risiko”. Budaya “tunggu perintah atasan” harus berubah menjadi “inisiatif dan akuntabilitas”. Pimpinan harus menjadi role model yang berani mengambil risiko, terbuka terhadap kritik, dan memberikan ruang bagi tim untuk bereksperimen.
3. Kapasitas dan ekosistem.
Bekali aparat dengan kompetensi baru: design thinking, data analytics, digital literacy. Bangun manajemen pengetahuan yang efektif agar inovasi berhasil didokumentasikan dan direplikasi. Ciptakan ekosistem kolaboratif yang melibatkan akademisi, kelompok masyarakat, dan sektor privat melalui innovation lab, hackathon, atau open innovation challenge.
Kesimpulan: Inovasi sebagai DNA Birokrasi
Pertanyaan apakah birokrasi berinovasi atau sekadar ilusi tidak bisa dijawab secara hitam-putih. Yang terjadi adalah spektrum: ada inovasi genuine, namun porsi ilusi inovasi yang sekadar kosmetik masih mendominasi.
Yang paling krusial adalah perubahan cara pandang: inovasi bukan pekerjaan tambahan. Ketika seorang aparat bertugas melayani masyarakat, mencari cara yang lebih baik untuk melayani adalah bagian dari tugas itu sendiri.
Analoginya: apakah “melayani dengan sopan” adalah tupoksi atau tugas tambahan? Tentu saja tupoksi. Demikian pula, “melayani dengan cara yang efisien dan efektif” adalah tupoksi, dan itu berarti harus terus berinovasi.
Tantangan kita adalah mengubah inovasi dari sesuatu yang “dilakukan kadang-kadang” menjadi “cara kerja setiap hari”. Ini memerlukan reformasi sistemik: bukan hanya teknologi baru, tetapi mindset baru, struktur baru, sistem insentif baru, dan keberanian politik untuk mengubah status quo.
Ketika setiap aparat memahami bahwa terus mencari cara yang lebih baik adalah bagian dari tupoksinya, ketika sistem mendukung eksperimentasi dan pembelajaran dari kegagalan, ketika kepemimpinan memberikan ruang untuk inisiatif—di situlah inovasi berhenti menjadi ilusi dan mulai menjadi kenyataan.
Tanpa transformasi menyeluruh ini, birokrasi akan tetap terjebak dalam siklus “inovasi musiman”: ramai saat kompetisi, sepi saat selesai. Saatnya kita bergerak dari ilusi inovasi menuju institusionalisasi inovasi yang sejati—menjadikan inovasi sebagai DNA birokrasi, bukan sekadar proyek sampingan atau kompetisi tahunan.














Membaca tulisan ini, mengingatkan kembali betapa banyak uang negara habis “terserap sia-sia”, gegara memperturutkan sebuah keinginan “digital melayani”, namun bukannya mempercepat malah kenyataannya masih melambat. Hal itu barangkali disebabkan mindset inovasi yang belum berubah pada diri birokrat. Terima kasih, tulisan ini telah memberikan insight.