
Bayangkan sebatang pensil yang dimasukkan ke dalam segelas air. Ia tampak bengkok, padahal sejatinya lurus. Lurus, tapi tampak bengkok.
Fred W. Riggs, profesor administrasi publik dari Universitas Hawaii, menggunakan metafora ini dalam The Theory of Prismatic Society (1964) untuk menggambarkan realitas negara-negara berkembang yang sedang bertransisi dari sistem tradisional menuju sistem modern.
Dalam masyarakat prismatik,
lembaga-lembaga modern memang telah dibentuk, tetapi nilai-nilai lama masih hidup dan mengakar. Hasilnya adalah distorsi: kebijakan publik kehilangan bentuk aslinya ketika melewati prisma birokrasi yang keruh.
Situasi ini tampaknya begitu relevan untuk menjelaskan banyak fenomena birokrasi di Indonesia. Birokrasi kita memang telah mengenakan pakaian modern dengan jargon good governance, sistem meritokrasi, digitalisasi layanan, hingga evaluasi kinerja berbasis output.
Wajah Modern dengan Nilai Lama
Namun di balik wajah modern itu, nilai-nilai lama seperti patronase, nepotisme, loyalitas pada atasan, budaya ABS (asal bapak senang), dan praktik rente tetap tumbuh subur. Tidak mengherankan bila kebijakan-kebijakan yang tampak ideal di atas kertas acapkali berubah bentuk ketika sampai ke tangan masyarakat.
Seperti pensil lurus yang tampak bengkok, kebijakan publik pun menjadi bias dan kehilangan daya transformasinya. Contoh mutakhir dari situasi ini adalah program makanan bergizi gratis yang menjadi bagian dari agenda besar pemerintahan ke depan.
Secara prinsip, program ini sangat mulia: menjamin hak dasar anak-anak Indonesia atas makanan sehat dan bergizi, sebagai langkah strategis mengurangi angka stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Namun yang terjadi di lapangan menunjukkan adanya pergeseran orientasi: dari program ke proyek, dari visi kesejahteraan ke lahan pembagian kontrak.
Anggaran yang digelontorkan untuk program ini mencapai Rp71 triliun, angka yang sangat besar, namun ironisnya tidak diiringi dengan proses perencanaan yang matang.
Badan Gizi Nasional sebagai pelaksana program justru menjadi sorotan,
karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya perlakuan istimewa kepada pihak-pihak tertentu dalam proses penunjukan pengelola proyek. Prosesnya minim transparansi, terburu-buru, dan penuh intervensi kekuasaan.
Di sinilah kita menyaksikan bagaimana semangat kebijakan publik yang seharusnya didasari oleh prinsip keadilan dan partisipasi, justru dibelokkan oleh praktik-praktik lama birokrasi yang belum sepenuhnya berubah.
MBG dan Kerentanan Penyimpangan
Program makanan bergizi ini akhirnya tak ubahnya seperti proyek infrastruktur dengan segala kerentanannya terhadap korupsi dan penyimpangan. Perencanaan teknis dan kajian dampak sosial seperti dikalahkan oleh ambisi pencitraan dan ketergesa-gesaan politik.
Pemberian kontrak dilakukan secara selektif, bukan berdasarkan kapasitas, melainkan kedekatan. Padahal, jika menggunakan prinsip administrasi publik modern, penyusunan kebijakan harus melewati tahapan partisipatif, berbasis data, dan tunduk pada asas keterbukaan serta akuntabilitas.
Tetapi birokrasi prismatik tak berjalan berdasarkan prinsip-prinsip itu. Ia berjalan berdasarkan relasi kekuasaan informal yang tak terlihat di struktur formal, tetapi sangat menentukan dalam praktik.
Apa yang terjadi dalam kasus ini tidak bisa dibaca hanya sebagai penyimpangan teknis. Ia adalah cermin dari kondisi birokrasi yang belum selesai dalam proyek modernisasinya. Kita menyaksikan adanya dualism dalam sistem:
- di satu sisi birokrasi menampilkan wajah modern dengan aturan, sistem informasi, dan dokumen rencana kerja;
- tetapi di sisi lain ia tetap bekerja berdasarkan nilai tradisional: siapa dekat, dia dapat. Siapa tunduk, dia naik. Siapa kritis, dia tersingkir.
Hal ini makin diperparah dengan tidak adanya mekanisme pengawasan yang kuat dari dalam birokrasi itu sendiri. Audit internal sering kali bersifat administratif semata, tanpa menjangkau substansi.
Sementara lembaga pengawas eksternal seperti KPK atau BPK pun kerap terlambat masuk, setelah kerugian terjadi. Akibatnya, program publik berubah menjadi ladang spekulasi dan negosiasi, bukan ruang pelayanan dan pemenuhan hak warga negara.
Masyarakat yang Apatis
Lebih menyedihkan lagi, pola ini sudah begitu biasa hingga masyarakat pun menjadi apatis. Mereka mulai kehilangan harapan bahwa negara bisa benar-benar hadir untuk mereka. Ketika program makanan bergizi pun dijalankan dengan cara-cara yang manipulatif dan transaksional, maka sinisme terhadap pemerintah akan semakin dalam.
Publik tidak lagi melihat negara sebagai pelindung dan pengayom, melainkan sebagai arena permainan elite. Padahal, salah satu prasyarat utama keberhasilan negara modern adalah adanya kepercayaan publik terhadap birokrasi dan pemerintah.
Inilah tantangan terbesar birokrasi Indonesia: bagaimana keluar dari jebakan prismatik ini. Modernisasi kelembagaan tidak cukup jika tidak diikuti dengan transformasi budaya kerja dan nilai-nilai dasar.
Kita tidak bisa berharap pada sistem digital atau aturan baru jika mental birokrat tetap dikuasai oleh logika feodal dan kepentingan pribadi. Perubahan harus menyasar pada cara pandang, bukan sekadar alat kerja.
Kita juga harus menyadari bahwa birokrasi tidak hidup dalam ruang hampa. Ia dikondisikan oleh struktur politik di atasnya. Ketika elite politik menjadikan birokrasi sebagai alat kepentingan jangka pendek, termasuk untuk akomodasi politik balas jasa, maka sesempurna apa pun rancangan sistemnya akan tetap menghasilkan penyimpangan.
Maka reformasi birokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian dari reformasi politik yang lebih luas: reformasi partai, reformasi pemilu, dan reformasi sistem pengawasan publik.
Tantangan dan Harapan
Meskipun tantangannya besar, bukan berarti perubahan tidak mungkin. Masih banyak birokrat muda yang memiliki integritas dan semangat pelayanan. Masih ada ruang bagi masyarakat sipil untuk terus menekan dan mengawasi.
Media independen dan masyarakat digital juga bisa menjadi aktor penting untuk menciptakan ekosistem transparansi. Yang dibutuhkan sekarang adalah konsistensi dan keberanian: untuk bersuara, untuk menolak, dan untuk membongkar sistem yang telah lama melanggengkan ketidakadilan.
Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan program-program publik dilihat melalui prisma yang membengkokkan makna.
Jika tidak ada perubahan mendasar dalam cara kita mengelola kebijakan publik, maka program seperti makanan bergizi gratis hanya akan menjadi episode lain dari serial panjang kegagalan negara dalam merawat martabat rakyatnya.
Lebih dari itu, kita akan kehilangan kepercayaan, bukan hanya terhadap birokrasi, tetapi terhadap masa depan itu sendiri.
0 Comments