Birokrasi (ala) La La Land

by M. Rizal ♣️ Expert Writer | Feb 14, 2017 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Seperti saya menulis artikel ini, membacanya akan lebih syahdu jika ditemani alunan musik yang menjadi soundtracknya.., A Lovely Night, Another Day of The Sun, Summer Montage, hingga City of Stars..

Boleh juga sambil membayangkan Ryan Gosling atau Emma Stone disamping anda..

 ….….

La La land, sebuah film yang sungguh membawa penonton ke alam fantasi. Penonton dimanjakan oleh visualisasi yang jernih, penuh warna, shot-shotnya yang hampir sepanjang film menarik untuk di-capture. Naskahnya yang solid, penuh dengan dialog sarat makna. Musik yang jazzy, lembut kadang menghentak sesuai alur cerita. Koreografi yang fantastik dengan gerakan detil dan memukau sejak scene pertama. Tidak heran film yang bertema mengejar impian ini mendapatkan tujuh penghargaan utama Golden Globe, sebuah rekor dalam sejarah Golden Globe itu sendiri.

Sebastian dan Mia sebagai tokoh sentral di film ini mengajarkan bagaimana memelihara gairah (passion) dalam menggapai impian. Sebastian seorang musisi jazz sederhana nan idealis ingin sekali mempunyai klub jazz nya sendiri. Dia ingin para pemain musik di klubnya bebas memainkan instrumen kesukaannya hingga terdengar harmonisasi tangga nada bersama pemain instrumen lainnya. Seperti yang dia katakan dalam sebuah dialog, bermusik jazz adalah sebuah kebebasan, bebas berimproviasi. Tidak pakem dalam not-not tertentu agar instrumennya terdengar mengalun indah. Begitu pun kebebasan yang dimiliki oleh pribadi Sebastian, dia merasa memiliki otonomi dalam berkarya dan mengejar impian melalui pengetahuan dan keahliannya. Hingga pada suatu ketika dia harus menggadaikan passion nya untuk memenuhi kebutuhan finansialnya.

Mia seorang wanita muda bertalenta pemain peran ingin sekali menjadi artis tersohor. Berbagai kesempatan audisi dilaluinya di sela-sela pekerjaaan sementaranya sebagai seorang bartender di sebuah kafe. Mia merasa mempunyai kebebasan untuk mencari peluang dalam menggapai impiannya.  Passion nya mengantarkan pada suatu titik dimana dia berputus asa lalu pada titik yang lain dia menyadari bahwa kesempatan datang di saat tidak diharapkan.

Keduanya lalu bertemu dan terjadi dialektika saling dukung dalam meraih impian masing-masing. Meskipun ending cerita romansa nya terlihat pahit, namun impian keduanya terwujud dengan sempurna.

Bagi saya, Film ini bukan film modern yang menampilkan kecanggihan teknologi, tapi beyond modern, karena mampu menampilkan sebuah tema biasa, cerita yang klise, dan bahkan drama musikal yang sebenarnya kuno, menjadi sebuah pertunjukan yang penuh kebahagiaan, terlebih mampu memberi pelajaran tersendiri dalam mendobrak kemapanan teknik sinematrografi. Seseorang yang pada dasarnya tidak menyukai film drama musikal ataupun bukan penyuka musik jazz menjadi ingin menyaksikannya berulang kali.

Di lain cerita, kisah di film tadi menjadi sebuah metafora…

Dalam birokrasi sering kita terjebak dalam kemapanan dan pakem sebuah struktur yang menghalangi kebebebasan. Kebebasan berkreasi, berinovasi dan mengembangkan diri. Birokrasi dalam perspektif post (beyond) modern, mengartikulasi kebebasan bukan sebagai antitesis dari kekuasaan. Kebebasan bukan untuk melawan sebuah kekuasaan (dominasi), tapi bagaimana menggunakan kekuasaan dirinya untuk menggapai sebuah kebebasan. Kebebasan yang sebenarnya diinginkan namun selalu diingkarinya karena kungkungan keadaan. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang birokrat sebenarnya mampu membuat dirinya berkuasa untuk mencari sebuah kebebasan.

Post-bureaucracy adalah birokrasi dipandang dari perspektif kritis post-modern, sebuah birokrasi yang mendobrak kemapanan standar dan hirarki, yang berusaha membebaskan individu dari belenggu kerangkeng besi.

Ada sebuah kejadian menarik di awal cerita, saat Sebastian memainkan piano disebuah klub, manajer klub terlihat sangat kesal dengan Sebastian karena Sebastian tidak memainkan musik sesuai yang diinginkan manajer. Hal itu membuat Sebastian merasa terkungkung dan ketidaknyamanannya berbuah kekesalan personal yang membuat pertemuannya dengan Mia tidak punya makna bahkan menularkan kekesalan lain pada sosok Mia. Kejadian ini, lalu diandaikan dengan sangat baik secara flashback di akhir cerita. Seandainya manajer tidak membuat batasan, Sebastian akan bermain piano dengan gembira dan pertemuan dengan Mia menjadi pertemuan yang menyenangkan. Dalam bayangan keduanya, justru inilah saat penting yang menentukan kebahagiaan mereka abadi sampai akhir cerita.

Post-birokrasi berusaha menyeimbangkan work-life, antara pekerjaan dan kehidupan sosial birokratnya. Bertolak dari pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, disinilah lalu power (kekuasaan) individu menjadi bagian dari freedom (kebebasan).

Menurut Maravelias, kebebasan dalam Post-birokrasi bisa dipandang sebagai sebuah otonomi ataupun sebuah peluang. Dalam memandang kebebasan sebagai sebuah otonomi, seorang birokrat cenderung memiliki komitmen penuh dan bersemangat dalam mempertahankan idealismenya dalam bekerja, idealisme sesuai dengan minat dan keahliannya. Jika tugas yang diemban tidak sesuai dengan minat dan keahlian, terpaksa melakukan negosiasi dengan keadaan namun sifatnya sangat sementara.

Seperti misalnya, Sebastian yang merasa memiliki otonomi dengan keahlian jazz nya, terpaksa menerima tawaran dari Keith (John Legend) untuk bermain musik yang berjenis pop-oriented untuk menjamin kemampuan finansialnya. Tapi itu hanya sementara karena impian sejatinya adalah musik jazz. Sebagai konsekuensi, seseorang yang menganggap kebebasan sebagai otonomi cenderung untuk lalu menghambakan dirinya pada pekerjaan yang digelutinya. Sebastian akhirnya mendapatkan tawaran konser di berbagai kota yang membuat dirinya lalu semakin jauh dengan Mia. Namun akhirnya dia berhasil mendirikan the Seb’s, klub jazz milikya sendiri.

Sedangkan kebebasan yang dipandang sebagai sebuah peluang membuat seorang birokrat menjadi seorang oportunis yang berarti mampu memanfaatkan peluang untuk mencapai keinginan terbaiknya dalam bekerja. Setiap peluang selalu dicarinya demi mendapatkan pekerjaan yang diimpikannya. Pantang putus asa menjadi rumusnya, meskipun pada suatu titik dia akan merasa menjadi orang yang sangat tidak berbakat karena peluang tak kunjung berpihak kepadanya.

Mia akhirnya meraih peluang itu, menjadi seorang artis, persis seperti dalam impiannya setelah melalui proses panjang, berliku dan tidak jarang diremehkan.

“A bit of madness is key, to give us to color to see, who knows where it will lead to us? “ Demikian sebuah bait mengalun dalam salah satu soundtrack yang berjudul Audition (the fools who dream). 

Begitulah dialektika kekuasaan dengan kebebasan dalam birokrasi, kadang terjadi ambivalensi. Disaat menginginkan kebebasan, tapi justru pada saat itu pula kebebasan mengikatnya. Namun kebebasan akan menemukan arah sejatinya di saat seorang birokrat mampu memahami potensinya lalu mampu mengartikulasikannya menjadi sebuah otonomi ataupun peluang untuk memberdayakan dirinya.

Di level organisasi, fleksibilitas menjadi penting. Individu bukan lagi digerakkan secara rule-driven, tapi bagaimana memberikan kesempatan yang cukup bagi setiap individu untuk melepaskan potensi dalam ruang kerjasama yang harmoni. Mirip sebuah pertunjukan musik jazz.

Birokrasi, ibarat kota penuh bintang (talenta)..

Kota yang tidak hanya dimiliki oleh sekumpulan elit, tapi seluruh penduduk kota, semua adalah bintang bertalenta yang berhak bersinar menerangi penjuru kota..

“City of Stars..

are you shining just for me?

City of Stars..

There’s so much that I Can’t see..

Who knows?

I felt it from the first embrace I shared with you..

That now our dreams, they’ve finally come true..”

 

 

0
0
M. Rizal ♣️ Expert Writer

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

M. Rizal ♣️ Expert Writer

M. Rizal ♣️ Expert Writer

Author

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post