Birokrasi dan Dinamika Demokrasi Lokal: Seumpama Catatan Kecil Penetapan APBD 2026

by | Dec 4, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Saya sering merasa bahwa pekerjaan sebagai abdi negara seumpama buku tipis yang selalu saya bawa, tetapi tidak pernah benar-benar selesai ditulisi.

Ada hari-hari halaman itu kosong hanya karena saya tidak tahu harus menuliskan apa, dan ada hari-hari lain justru terlalu banyak yang ingin saya tulis, tetapi tidak ada ruang.

Pembahasan Anggaran: Sebuah Perang

Di luar sana, dinamika pemerintahan daerah dalam menetapkan APBD 2026 menemukan kerumitannya sendiri. Hampir setiap pembahasan anggaran berubah menjadi adu nyali, adu wacana, atau bahkan adu panggung. Beberapa wakil rakyat tampil memperebutkan panggung digital, panggung depan.

Mereka seperti menemukan ritme baru dalam “perang” terhadap kepala daerah terpilih, yang bisa jadi bukan jagoannya. Di meja-meja rapat, suara meninggi lebih sering terdengar dibanding argumentasi produktif.

Debat yang dipertontonkan seperti permainan domino yang disusun dan dijatuhkan demi efek bunyi, bukan demi hasil akhir.

Saya membacanya sambil meneguk kopi yang tetiba terasa dingin. Barangkali, benar tulis Goenawan Muhammad (GM), “politik kadang bergerak seperti badai: datang dengan suara keras, pergi meninggalkan kekacauan kecil yang menetap di hati.”

Rapat yang penuh interupsi itu bukan sekadar suasana riuh. Suasana diskusi berubah menjadi arena saling serang atau saling curiga.

Potret Klasik Setiap Tahun

Bagi seorang birokrat, kondisi itu dapat menghilangkan ruang untuk penjelasan substantif, mengaburkan detail informasi, dan menciptakan tekanan politik yang tidak proporsional. Sesiapa tentu, walkout menjadi pilihan yang sulit namun menurut saya sah secara etika birokrasi.

Di sisi lain, kenyataan bahwa daerah mengalami ruang fiskal yang sempit sebab pemotongan transfer daerah dan pendapatan asli daerah yang minim seperti ruang sempit dan lampunya redup.

Eddy Supriadi, akademisi uniper, menulis, di banyak daerah, terutama di tingkat kabupaten dan kota, belanja pegawai bisa menembus di atas 50% dari total APBD.

Sebuah potret klasik yang terus diulang setiap tahun. Bukan karena daerah miskin gagasan, tapi karena terlalu banyak energi habis untuk mempertahankan “struktur” daripada membangun “kinerja”.

Iya, belanja wajib menumpuk seperti tumpukan batu yang harus dipikul, sementara harapan berdiri di ujung, menunggu dengan sabar yang entah sampai kapan. Namun bahkan dalam ruang sempit itu, kami harus melangkah. “Akselerasi” adalah kata yang diulang di rapat-rapat, seolah ada pedal gas yang bisa diinjak begitu saja.

Tapi Rakyat Hanya Butuh Ketenangan

Sayangnya, pedal itu sering direbut, dipatok, atau ditarik mundur oleh mereka yang duduk di kursi. Beberapa wakil rakyat tampil seperti pengemudi yang kehilangan kemudi.

Anggaran bukan lagi alat untuk memetakan masa depan, tetapi menjadi papan catur bagi manuver yang kadang terasa terlalu manusiawi. Ambisi, kepentingan, dan dendam kecil dikemas atas nama rakyat.

Di tengah itu semua, kepala daerah meski bermodal partai pendukung dan prosentase kemenangan hasil pemilihan kepala daerah lalu tampak seperti seseorang yang berusaha menahan pintu dari hembusan angin besar.

Saya tidak ingin berpura-pura tahu lebih baik
dari para pengambil keputusan. Saya hanya mencatat bahwa terkadang, yang rakyat butuhkan hanyalah ketenangan: keputusan yang tidak dibuat dalam amarah, anggaran yang tidak disusun seperti permainan tebak-tebakan dalam labirin kekuasan.

Kekuasaan, seperti yang pernah ditulis GM, “kadang lebih mirip ruang sempit yang tidak menyediakan banyak tempat bagi orang yang ingin duduk tenang.” Dan saya bisa membayangkan, betapa sempitnya ruang itu saat oposisi mendominasi.

Di tengah hiruk pikuk itu, saya tetiba merasa seperti burung kecil yang menyimpan suaranya, takut menyanyi di tengah badai. Tapi seorang guru tua pernah berkata kepada saya: “Dalam birokrasi, keheningan kadang lebih keras dari teriakan.” Esai ini adalah keheningan yang lain.

Adonis pernah menulis bahwa “kekuasaan membangun kota dari kata-katanya, tetapi rakyat membangunnya dari tubuh mereka.” Sebagai abdi negara, saya berada di antara keduanya, di antara kata-kata yang menjulang dan tubuh yang menunduk.

Ada Pekerjaan yang Harus Segera Selesai

Sebagai abdi negara yang tidak punya otoritas untuk menegur, tidak punya legitimasi untuk menjadi guru bagi para elite pilihannya tentu hanyalah meja kerja, regulasi yang harus ditegakkan, dan kewarasan.

Kewarasan bahwa yang paling penting adalah apa yang tetap bekerja diam-diam. Mungkin birokrasi adalah salah satu dari “yang diam-diam” itu. Tak terlihat di sorotan kamera, tak disebut dalam pidato politik. Tapi tanpanya, negara berpotensi menjadi raksasa yang hanya pandai berteriak namun tak mampu berjalan.

Dalam renungan itu, dari tempat saya melihat, anggaran barangkali lebih mirip peta perjalanan ketimbang arena adu tenaga; sebuah upaya mencari jalan pulang bersama, bukan saling menjatuhkan di tikungan.

Dan perdebatan politik, sekeras apa pun, mestinya menemukan heningnya pada satu arah: mereka yang tak punya kursi, tak memegang mikrofon, dan jarang singgah di halaman berita. 

Saya belum tahu apakah badai politik di luaran akan segera reda. Tetapi yang saya juga tahu pasti: ada pekerjaan yang harus segera selesai.

Ada pelayanan yang harus tiba pada warga. Dan ada keyakinan kecil yang tetap saya simpan, tentang negara yang masih bisa berjalan saat orang-orang di dalamnya memilih untuk tetap bekerja meskipun dunia di sekitarnya gaduh.

Di sanalah tempat kami berdiri: di antara riuh dan sunyi, seperti kalimat GM yang menggantung, “dunia jarang benar-benar selesai dijelaskan.” 

Demikian kini, giliranmu bercerita kawan.

Di tempatmu, barangkali dunia memilih cara yang berbeda.

0
0
Ahmad Kohawan ♥ Associate Writer

Ahmad Kohawan ♥ Associate Writer

Author

Penulis adalah ASN di Kota Parepare. Giat menulis esai dan puisi dengan nama pena Ahmad Kohawan. Aktif dan membaur di beberapa komunitas literasi lokal.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post