Benarkah Masyarakat Kita Tidak Patuh Bayar Pajak?

by Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer | Mar 26, 2025 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Baru-baru ini sebuah laporan yang dirilis Bank Dunia mengumumkan kualitas pemungutan pajak kita. Media massa bahkan ada yang menulisnya dengan judul “Bank Dunia Bongkar Buruknya Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia”, seperti ditulis detik.com pada Rabu (26/3). 

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa rasio pajak kita sebegitu rendahnya jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, yaitu hanya mencapai 9,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2021. Penyebab utamanya pada dua hal, yaitu kepatuhan wajib pajak dan kebijakan perpajakan itu sendiri. 

Benarkah demikian? 

Menurut saya, kalau karena kebijakan perpajakan, biasanya jumlah pajak secara keseluruhan akan tetap tercatat sebagai penerimaan pajak. Sebagai contoh, pajak penghasilan pegawai negeri itu ditanggung oleh Pemerintah. Akan tetapi, bukan berarti Pemerintah tidak mencatatnya sebagai penerimaan pajak. 

Tetap saja pajak penghasilan pegawai negeri itu dicatat sebagai penerimaan pajak. Dengan demikian, tidak terlalu tepat jika rasio pajak terhadap PDB yang rendah itu sepenuhnya karena adanya kebijakan perpajakan. 

Saya lebih melihat penyebab utamanya adalah kepatuhan warga negara Indonesia dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini tentu tidaklah aneh. Sebagaimana pernah saya tulis dalam detik.com pada 14 September 2017, tantangan pemungutan pajak kita adalah mengubah masyarakat dari “mental gratis” menjadi “sadar pajak”.

Kita tentu memahami bahwa salah satu sebab
rakyat Indonesia memerdekakan diri dari penjajah adalah karena pemungutan pajak melalui upeti oleh penjajah pada waktu itu. Karenanya, setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya tahun 1945, masih banyak masyarakat kita yang “merayakan” kemerdekaannya dengan tidak membayar pajak sampai dengan saat ini. 

Hal ini juga terdeteksi dari besarnya shadow economy di Indonesia. Kita bisa melihat dari variasi bisnis di Indonesia. Selain bisnis material, banyak sebenarnya “bisnis keagamaan” yang jumlahnya signifikan, tetapi tidak terkena pajak. Banyak kalangan yang berlindung di bisnis keagamaan agar tidak terkena pajak. 

Aparat pajak pun seperti sungkan menyentuh perpajakan bisnis keagamaan tersebut. Lagi pula, bisnis keagamaan ini sudah terkena zakat, infaq, dan sodaqoh. Jika kita ingin memajakinya, tentu akan menjadi isu yang sensitif. 

Itu sebabnya, saya berpandangan sudah saatnya Pemerintah mengintegrasikan pemungutan “pajak kenegaraan” dengan “pajak keagamaan” tersebut.  Dengan demikian, angka rasio pajak terhadap PDB tidak dikesankan rendah lagi. 

Sebagai contoh, sudah saatnya Pemerintah menerapkan mekanisme seperti di Selandia Baru, yaitu setiap warga negara dan korporasi yang menyumbang (termasuk sumbangan keagamaan) Rp100 ribu akan mendapatkan pengembalian dari sistem perpajakan senilai Rp30 ribu (sekitar 30 persen). 

Hal tersebut secara tidak langsung akan memungkinkan Pemerintah Indonesia mendeteksi berapa sebenarnya pembayaran “pajak” masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Kemudian, Pemerintah juga akan terbantu karena distribusi pembiayaan publik melalui sumbangan keagamaan tersebut dikelola langsung oleh pemberi dan penerima dana. Hal ini akan mengurangi biaya administrasi keuangan negara. 

Sisi lainnya, Pemerintah akan terbantu mendongkrak jumlah masyarakat yang mau mendaftar dan disiplin membayar pajak. Soalnya, jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya, jumlah wajib pajak kita sebenarnya begitu rendah. 

Banyak di antara masyarakat kita
yang tidak merasa memiliki kepentingan dengan perpajakan. Itulah kenapa rakyat yang memiliki nomor pokok wajib pajak juga sangat rendah jika dibandingkan negara maju.

 

Kedua, selain integrasi pajak kenegaraan dan pajak keagamaan, Pemerintah harus terus membangun kesadaran tentang pentingnya pajak sejak usia dini. 

Sebagai contoh, dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mestinya dimunculkan spanduk “Makan Bergizi Gratis Ini Dibayar dari Pajak” di sekolah-sekolah.

Dengan demikian, sejak di sekolah dasar, anak-anak kita sadar bahwa pajak telah banyak memberikan manfaat bagi mereka. Kemudian mereka akan bertanggung jawab membayar pajak ketika bekerja atau memperoleh penghasilan. 

Ketiga, tentunya penting sekali perbaikan sistem informasi perpajakan. Jangan sampai terulang kembali kegagalan pembangunan sistem informasi ini. 

Pemerintah bisa memanfaatkan perbankan untuk menguatkan sistem informasi perpajakan. Sebagai contoh, beberapa bank sudah mencantumkan akumulasi setahun pendapatan bunga tabungan nasabah dalam aplikasinya.

Wajib pajak akan mudah membuat laporan pajak tahunan untuk mencantumkan nilai pendapatan bunga tersebut. 

Keempat, saat ini sebenarnya pemotongan pajak karyawan sudah bisa masuk ke dalam sistem informasi perpajakan.

Bagi mereka yang hanya menjadi karyawan, mereka sudah bisa mempunyai laporan proforma pajak yang mencantumkan penghasilan dan potongan pajaknya selama setahun. Jika tidak ada pendapatan tambahan, mereka tinggal “klik” untuk mengirim laporan pajaknya.

Sayangnya, karena tidak disiplin di sisi pemberi kerja, banyak pemotongan pajak karyawan yang tidak akurat.

Aparat perpajakan mestinya bisa lebih fokus untuk meningkatkan disiplin pemberi kerja dengan kegiatan fasilitasi yang lebih intensif di semua kantor-kantor pajak. Jika perlu, aparat pajak bekerja sama dengan para mahasiswa untuk menjadi tenaga penggerak untuk pendisiplinan ini di lapangan. 

Dengan empat hal di atas, rasio pajak terhadap PDB kita bisa meningkat di masa datang. Tentunya, selain empat hal tersebut, harus terus dikembangkan inovasi lainnya dengan mendengar masukan dari masyarakat. 

Apakah Anda memiliki masukan?

4
0
Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Author

Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis. Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI). Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”. Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia). Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management. Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post