
“Tidak semua yang sibuk itu produktif, dan tidak semua yang produktif itu berdampak.”
Kalimat ini dilontarkan oleh seorang rekan saya, seorang ASN senior yang lebih dari dua dekade berkarya di bidang SDM Aparatur. Ia tidak hanya dikenal karena kepatuhannya pada prosedur, tetapi juga karena kepeduliannya yang tulus pada sesama pegawai.
Ucapannya sederhana, tapi menggelitik. Apakah selama ini kita memang benar-benar bekerja, atau hanya menjalani pekerjaan?
“Bekerja yang benar” dalam tulisan ini bukan sekadar tentang benar secara prosedural, melainkan tentang kebermaknaan pekerjaan. Ia mengajak kita meninjau ulang: apakah yang kita lakukan selaras dengan nilai, tujuan mulia, dan kebutuhan nyata di lapangan?
Sebagai ASN, khususnya yang berkecimpung di ranah pengelolaan kepegawaian, kita perlu sering merenung:
- Apakah saya sudah benar dalam bekerja.
- Dan, apakah saya bekerja untuk sesuatu yang benar?
Kedua pertanyaan ini sekilas mirip, tetapi sesungguhnya mengandung filosofi kerja yang berbeda. Yang satu bicara tentang kepatuhan, yang lain tentang kebermaknaan.
“Benar Bekerja”
Benar bekerja berbicara soal ketepatan dan kepatuhan terhadap sistem. Kita berbicara tentang SOP yang dijalankan, tenggat waktu yang ditepati, formulir yang diisi tanpa cela, serta laporan yang disusun dengan rapi.
Dalam lingkup kerja SDM, ini bisa terlihat saat menyelenggarakan pelatihan pegawai: seperti Jadwal tersusun presisi, Peserta diverifikasi ketat, Evaluasi dilakukan tepat waktu dan Anggaran dikelola dengan tertib.
Namun, ada satu jebakan di sini: rutinitas yang membutakan makna. Kita bisa saja larut dalam kesibukan administratif tanpa sadar bahwa kita kehilangan sisi kemanusiaannya.
“Saya dulu bangga karena laporan saya selalu tepat waktu,”
ujar seorang ASN muda dalam sebuah sesi mentoring. “Tapi saya sedih ketika tahu, peserta pelatihan menganggap kegiatan itu tidak berguna.”
“Bekerja yang Benar”
Berbeda dengan benar bekerja, bekerja yang benar lebih menyentuh jiwa dari pekerjaan itu sendiri. Ini bukan hanya tentang apa yang dikerjakan, tapi mengapa dan untuk siapa. Misalnya:
- Pertama, Menyelenggarakan pelatihan bukan hanya memenuhi kuota, tapi memastikan pelatihan tersebut relevan dan berdampak bagi peserta.
- Kedua, Dalam rekrutmen, tidak cukup sekadar mengikuti prosedur, tapi memastikan bahwa yang diterima adalah orang yang punya semangat melayani, bukan sekadar memenuhi syarat administratif.
- Ketiga, Dalam penilaian kinerja, bukan hanya angka, tapi bagaimana hasil itu bisa mendorong pengembangan pegawai secara nyata.
Bekerja dengan benar menuntut keberanian untuk berpikir lebih luas, bahkan terkadang melawan arus kenyamanan sistem.
Ketika Data dan Nurani Bertemu
Saya teringat seorang ASN bidang kepegawaian yang pernah saya temui saat kunjungan kerja. Ia bercerita bagaimana ia biasa memproses pensiun hanya berdasarkan data. Namun, sejak satu kejadian—saat seorang pegawai yang pensiun datang dan mengucapkan terima kasih karena didampingi secara manusiawi—ia mulai melihat pekerjaannya berbeda.
“Saya sadar, di balik data pensiun itu ada seseorang yang sedang memasuki fase hidup baru. Sejak saat itu, saya sempatkan menghubungi mereka, memberikan penjelasan, bahkan sekadar menyampaikan terima kasih atas pengabdian mereka.”
Bayangkan jika seorang ASN hanya fokus pada benar bekerja, maka ia mungkin efisien, tapi tidak memberi makna. Sebaliknya, jika hanya fokus pada bekerja yang benar, ia mungkin inspiratif, tetapi rawan tergelincir dalam ketidaktertiban.
Keseimbangan adalah kunci.
Karena ASN yang ideal bukan hanya rapi administrasinya,
tapi juga dalam hatinya.
Benar bekerja adalah fondasi, sementara bekerja yang benar adalah jiwa yang menghidupkannya. Sebagai ASN di bidang SDM Aparatur, kita bukan hanya pengelola dokumen, tetapi penggerak perubahan. Setiap kebijakan, pelatihan, atau penilaian yang kita lakukan berpengaruh pada ribuan pegawai dan, pada akhirnya, pada kualitas layanan publik.
1. Mulailah dengan Pertanyaan “Mengapa?” Sebelum mengerjakan tugas, tanyakan: Apa dampak positif dari pekerjaan ini bagi orang lain? Ini akan memberi kita arah.
2. Lihat Manusia di Balik Angka. Di balik file excel dan data pegawai, ada manusia dengan cerita. Jangan biarkan kita kehilangan sisi kemanusiaan dalam proses yang teknis.
3. Inovasi dengan Bijak. Tidak semua prosedur masih relevan. Terkadang, berani menyuarakan perbaikan adalah wujud tanggung jawab yang lebih tinggi.
4. Refleksi Diri Secara Berkala. Luangkan waktu setiap akhir pekan untuk bertanya:
“Apakah pekerjaanku hari ini sekadar tugas, atau benar-benar berdampak?”
Benar bekerja memberi kita struktur, tapi bekerja yang benar memberi kita jiwa. Sebagai ASN yang mengelola Kepegawaian, kita bukan hanya petugas administratif. Kita adalah penggerak perubahan, penjaga kualitas sumber daya manusia bangsa.
Mari kita jadikan pekerjaan kita sebagai ladang pahala, bukan sekadar rutinitas. Karena pada akhirnya, bukan hanya laporan yang dikenang, tapi nilai yang kita tanamkan.
“Bekerjalah dengan hati. Maka tak hanya tugas yang selesai, tetapi juga makna yang terabadikan.”
0 Comments