
“Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire.”
(William Butler Yeats)
Jika kita masih membayangkan pembelajaran aparatur sipil negara hanya sebatas pelatihan formal di ruang kelas, bisa jadi kita sedang tertinggal satu zaman. Dunia bergerak cepat dan birokrasi pun harus ikut bergerak.
Pembelajaran hari ini bukan lagi soal duduk, mencatat, lalu pulang. Hari ini, pembelajaran adalah proses yang hidup, dinamis, lintas kanal, dan melekat dalam pekerjaan sehari-hari.
Pada sejumlah instansi pemerintah, kebutuhan untuk meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) makin mendesak.
Tantangan kebijakan yang semakin kompleks,
ekspektasi publik yang meningkat, dan tuntutan layanan yang lebih adaptif membutuhkan SDM yang bukan hanya andal secara teknis, tetapi juga
reflektif dan terus belajar.
Belajar dari Lingkungan Kerja: Ekosistem, Bukan Sekadar Kelas
Hari ini, pendekatan pembelajaran semakin bergeser dari ruang-ruang kelas formal menuju ekosistem belajar yang menyatu dengan kehidupan kerja. Organisasi publik modern mulai meninggalkan asumsi lama bahwa belajar hanya terjadi saat pelatihan resmi berlangsung.
Sebaliknya, mereka mengadopsi pendekatan experiential learning yang lebih organik, salah satunya melalui model 70:20:10. Dalam kerangka ini, 70% pembelajaran terjadi melalui pengalaman langsung di tempat kerja, 20% melalui interaksi sosial seperti mentoring atau komunitas praktik, dan hanya 10% yang berasal dari pelatihan formal.
Charles Jennings, pencetus model ini, menjelaskan bahwa “formal learning accounts for only a small fraction of workplace learning. The majority—up to 90%—occurs informally through experience and social interaction” (Jennings, 2015).
Ini berarti bahwa proses belajar yang paling kuat justru berlangsung saat kita menjalani pekerjaan sehari-hari, ketika menghadapi tantangan baru, berkolaborasi lintas fungsi, atau menyelesaikan masalah nyata di lapangan.
Dengan cara pandang ini, kantor bukan lagi sekadar tempat menjalankan tugas administratif, tetapi berubah menjadi ruang belajar yang hidup. Setiap proyek menjadi peluang untuk eksperimen, setiap rekan kerja adalah sumber inspirasi, dan setiap kesalahan adalah bahan refleksi untuk tumbuh.
Ini adalah bentuk pembelajaran yang tidak kaku, tetapi dinamis dan kontekstual—yang membentuk kompetensi bukan lewat hafalan, melainkan melalui pemaknaan. Dan justru dalam ritme kerja sehari-hari inilah, pegawai ditantang untuk terus berkembang, belajar dari proses, dan memperkaya diri secara berkelanjutan.
Teknologi: Tulang Punggung Pembelajaran Masa Depan
Dalam membangun ekosistem pembelajaran di sektor publik, teknologi tidak lagi dapat dipandang sekadar sebagai pelengkap atau alat bantu. Ia telah menjadi infrastruktur utama yang menopang seluruh sistem pembelajaran modern.
Transformasi digital memungkinkan terciptanya sistem yang lebih adaptif, cerdas, dan personal—memberikan pengalaman belajar yang tidak seragam, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks individu pegawai.
OECD dalam laporannya The Learning Public Sector (2020) menekankan pentingnya perubahan pendekatan dalam pembelajaran digital. Bukan sekadar memindahkan materi kelas ke ranah daring, melainkan mendesain ulang cara belajar agar terintegrasi dalam aktivitas kerja sehari-hari.
Seperti dikatakan dalam laporan tersebut: “Digital learning in the public sector must be more than just transferring classroom content online. It should rethink how learning is embedded into daily work.”
Ini menandakan bahwa pembelajaran yang efektif bukan lagi tentang ruang dan waktu khusus, tetapi tentang bagaimana pengetahuan dapat diakses dan digunakan saat dibutuhkan, di tengah pekerjaan itu sendiri.
Dengan kehadiran Learning Management System (LMS) yang terintegrasi dengan data performa pegawai, organisasi kini memiliki kemampuan untuk merekomendasikan modul pelatihan secara real-time dan relevan.
Pegawai tidak perlu lagi menunggu pelatihan datang, melainkan sistem akan “menjemput” kebutuhan belajar mereka berdasarkan tugas, kinerja, atau proyek yang sedang dijalankan.
Lebih jauh lagi, teknologi mampu mengenali pola pembelajaran individu, gaya belajar yang dominan, bahkan menyarankan mentor lintas unit yang memiliki kesamaan pengalaman kerja, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih personal dan kontekstual.
Membangun Budaya Pembelajar Aktif
Kemajuan teknologi dan sistem pembelajaran digital memang membuka peluang besar untuk transformasi pengembangan SDM. Namun, secanggih apa pun perangkat yang digunakan, dampaknya akan minim jika tidak disertai perubahan budaya organisasi.
Di sinilah letak tantangan utama: bagaimana menggeser cara pandang pegawai dari sekadar penerima informasi menjadi pencari pengetahuan.
Budaya belajar yang selama ini pasif, hanya menunggu diklat atau instruksi atasan, harus digantikan dengan pola pikir pembelajar aktif, yang proaktif mencari ilmu, reflektif terhadap pengalaman, dan terbuka terhadap umpan balik.
Peter Senge, dalam bukunya The Fifth Discipline, menekankan pentingnya organisasi yang terus belajar. Ia menulis bahwa “a learning organization is one that is continuously expanding its capacity to create its future” (Senge, 1990).
Artinya, organisasi yang ingin tetap relevan dan tangguh di tengah perubahan zaman harus memiliki kemampuan untuk terus belajar, beradaptasi, dan membentuk masa depannya sendiri.
Dalam konteks birokrasi pemerintahan, semangat belajar ini
harus menjadi bagian dari DNA institusional, tidak hanya dimiliki oleh individu, tetapi tertanam dalam proses, struktur, dan nilai-nilai kerja kolektif.
Tanpa budaya belajar yang hidup, transformasi digital hanya akan
menjadi pajangan tanpa makna.
Menata Ulang Masa Depan SDM Pemerintah
Transformasi pembelajaran di instansi pemerintahan bukanlah proyek jangka pendek yang selesai dalam satu siklus anggaran. Ia adalah proses panjang yang menyentuh akar budaya kerja.
Mengubah cara pandang terhadap pembelajaran membutuhkan waktu dan konsistensi:
- dari sekadar pelatihan berbasis kuota menjadi pembelajaran berbasis kebutuhan nyata;
- dari pendekatan seragam menjadi personalisasi;
- dari belajar demi sertifikat menjadi belajar demi kinerja dan dampak.
Transformasi semacam ini menuntut kepemimpinan yang visioner dan ekosistem yang mendukung tumbuhnya pembelajar aktif di setiap level organisasi.
Namun perubahan ini tidak bisa berjalan sendiri. Dibutuhkan kolaborasi lintas unit, keselarasan antar bidang kepegawaian, teknologi informasi, dan pimpinan struktural.
Pembelajaran tidak boleh dilihat sebagai domain satu bidang tertentu, ia harus menjadi urusan semua pihak. Artinya, teknologi pembelajaran, sistem manajemen pengetahuan, hingga mekanisme umpan balik dari lapangan, harus terhubung dan saling menguatkan.
Ketika budaya belajar tumbuh di semua lini, barulah organisasi bisa disebut sebagai learning organization yang sesungguhnya.
Investasi teknologi menjadi faktor penting dalam membangun ekosistem ini. Tetapi teknologi hanyalah alat—tanpa semangat perubahan, ia akan menjadi platform kosong.
Maka, yang perlu dibangun bukan hanya sistem e-learning atau repositori pengetahuan, tetapi juga mindset para ASN bahwa belajar bukan lagi kegiatan tambahan, melainkan bagian dari cara bekerja. Peluang seperti microlearning, peer learning, mentoring lintas unit, hingga pembelajaran berbasis proyek harus dibuka seluas mungkin, lalu diperkuat dengan pengakuan dan insentif yang tepat.
Inilah saat yang tepat bagi setiap instansi pemerintahan untuk menata ulang pendekatan pengembangan SDM. Meninggalkan pola lama yang reaktif dan mulai membangun sistem yang proaktif, berkelanjutan, dan relevan.
Pemerintah yang tangguh di masa depan bukan yang paling besar atau paling banyak anggarannya, tetapi yang paling cepat belajar dan beradaptasi. Seperti kata Alvin Toffler, penulis dan futuris ternama:
“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”
0 Comments