
“Sekarang kita banyak sekali eselon I, II, III, IV. Yang III dan IV akan kita potong. Saya sudah perintahkan juga ke MenPANRB diganti dengan AI (Artificial Intelligence).”
Pernyataan Presiden Joko Widodo di acara 100 CEO Forum Kompas tersebut umurnya sudah lewat 5 tahun. Dalam periode tersebut, sudah banyak eselon III dan IV yang beralih ke jabatan fungsional. Pada rentang tersebut hadir pula jabatan-jabatan cenderung nisbi seperti Koordinator hingga Ketua Tim Kerja yang secara teknis di lapangan mendekati fungsi eselon III dan IV.
Sejak akhir tahun 2024, sejumlah struktur eselon III dan IV baru muncul di Kementerian/Lembaga yang mengalami pemisahan fungsi sesuai kebijakan Presiden Prabowo Subianto.
Sebatas AI Generatif
Banyak dinamika yang terjadi namun belum sampai digantikan AI. Bahkan kalau dilihat-lihat belum ada AI yang benar-benar menjadi rujukan bersama di birokrasi kita.
Penggunaan AI secara luas di birokrasi masih terbatas pada AI generatif. Sebagaimana kita ketahui bahwa AI generatif adalah tipe AI yang memproduksi material seperti teks dan/atau gambar berdasarkan prompt, seperti ChatGPT, Gemini, Copilot, maupun Claude.
Sejumlah ASN mulai menggunakan perangkat seperti fireflies.ai untuk notulen rapat maupun turboscribe.ai untuk transkripsi suara ke teks. Ada juga yang menggunakan perangkat-perangkat pembuatan presentasi.
Sayangnya, penggunaan AI generatif masih sering difokuskan pada output yang dihasilkan. Padahal sejatinya AI tidak serta merta tentang prompt dan pemanfaatan output dari prompt tersebut.
Pemanfaatan hasil AI mesti dilakukan secara bertanggung jawab. Itu sebabnya kampanye Responsible AI selalu menjadi elemen penting dalam berbagai kursus. Bahkan di sejumlah e-learning baik berbayar maupun tidak, Responsible AI justru menjadi materi yang disajikan di awal pembelajaran sebelum kemudian masuk ke teknisnya.
AI generatif pada dasarnya dapat digunakan untuk menyusun rancangan presentasi, mengedit dokumen untuk menata ulang bahasa, brainstorming ide-ide baru, mendukung pembelajaran yang terpersonalisasi, hingga membantu untuk coding.
Namun demikian, AI generatif hendaknya tidak digunakan sebagai sumber tunggal pengambilan keputusan penting, alat bantu memproses permasalahan pemangku kepentingan, hingga dipakai untuk membuat informasi yang tidak benar, membahayakan, dan tidak etis.
Belajar FASTER dari Kanada
Salah satu negara yang telah memberikan panduan AI yang bertanggung jawab untuk pegawai di pemerintahan adalah Kanada. Pedoman yang dapat diakses di sini bahkan juga diselaraskan dengan kode etik dan kode perilaku yang berlaku di sektor publik negara tersebut.
Dalam pedoman tersebut, diberikan larangan yang terang-benderang untuk tidak menginput informasi yang sifatnya personil, terklasifikasi, dan terproteksi pada perangkat AI generatif yang sifatnya publik. Edukasi semacam ini perlu terus digaungkan di birokrasi Indonesia mengingat sejatinya pekerjaan di pemerintahan sangat identik informasi yang terproteksi.
Pemerintah Kanada memiliki tips penggunaan AI yang bertanggung jawab berupa FASTER alias fair, accountable, secure, transparent, educated, dan relevant. Bahkan pada panduan tersebut telah tercantum Do dan Don’t dalam hal penggunaan AI.
Pada elemen Fair, dilarang untuk menggunakan output AI yang bias dan eksklusif. Untuk itu disarankan untuk menulis prompt dengan baik serta mengecek kembali output yang dihasilkan.
Dari sisi akuntabilitas, seorang ASN yang menggunakan AI hendaknya bertanggung jawab penuh pada seluruh hal yang dia siapkan dengan AI termasuk dengan melakukan review dan pengecekan copyright.
Pada sisi ini sangat tidak dianjurkan untuk menggunakan AI guna pekerjaan yang seharusnya diselesaikan oleh manusia.
Dari perspektif keamanan juga diarahkan kepada para pengguna untuk cermat dalam menggunakan data serta memahami terlebih dahulu syarat dan ketentuan dari suatu perangkat AI.
Dalam hal transparansi, pengguna didorong untuk terbuka kepada pimpinan bahwa suatu pekerjaan memang dibantu oleh AI dan dilarang untuk mengakui hasil kerja AI sebagai buah karya sendiri.
Pada elemen educated, pengguna didorong untuk mempelajari cara penggunaan AI generatif berikut kelemahan, kekuatan, dan risikonya. Tidak direkomendasikan untuk menggunakan AI membuat material yang kita sama sekali tidak miliki kepakarannya.
Serta dilarang pula untuk mengasumsikan bahwa keikutsertaan pada satu pelatihan sudah cukup. Pada aspek relevan, pengguna perlu memahami bahwa AI generatif bukanlah perangkat yang bisa melakukan semuanya serta dilarang untuk sepenuhnya bergantung pada AI generatif.
Epilog: AI untuk Mendukung, Bukan Menggantikan
Dalam berbagai kesempatan, saya mengalami sendiri betapa copas dari ChatGPT itu menyenangkan. Dalam suatu kelas writing IELTS yang terbuka dengan skema Google Docs saya sempat melihat rekan sekelas yang benar-benar copas hasil writing dari ChatGPT karena kelihatan jawaban awal dari mesin plus kekhasan pointer.
Pada kasus ini, les writing IELTS ‘kan agar kita bisa belajar menulis dengan band yang diinginkan, kalau pas belajar saja copas ChatGPT terus apa gunanya les? Esensinya jadi bukan bantuan AI untuk produktivitas, namun produktivitas kita yang tergantung pada AI.
Penting bagi pemangku kepentingan di Indonesia untuk membuat pedoman yang sejenis dengan integrasinya pada kode etik dan kode perilaku ASN. Penting pula bagi para ASN untuk senantiasa memperbaharui diri untuk mengikuti perkembangan AI.
Ada platform Government Transformation Academy (GTA) dari Digitalent Komdigi yang bisa digunakan plus ada banyak juga sumber-sumber lain. Toh sebenarnya belajar itu bukan soal 20 JP kan ya?
Ihwalnya, bukanlah tentang digantikan AI atau tidak, namun bagaimana memastikan bahwa AI memang digunakan untuk membantu manusia pada tugas-tugas repetitif sehingga manusia bisa fokus pada hal-hal yang lebih substansial dalam melakukan pelayanan kepada pemangku kepentingan internal dan masyarakat.
0 Comments